KILAS BALIK /100 Tahun Kepergian Sun Yat-sen: Dipuji Sukarno hingga bertemu Tan Malaka

12/03/2025 20:46(Diperbaharui 13/03/2025 00:34)

Untuk mengaktivasi layanantext-to-speech, mohon setujui kebijakan privasi di bawah ini terlebih dahulu

Bapak pendiri Republik Tiongkok, Sun Yat-sen. (Sumber Foto : National Dr. Sun Yat-sen Memorial Hall)
Bapak pendiri Republik Tiongkok, Sun Yat-sen. (Sumber Foto : National Dr. Sun Yat-sen Memorial Hall)

Oleh Jason Cahyadi, reporter staf CNA

Tepat 100 tahun lalu, pada 12 Maret, bapak pendiri Republik Tiongkok Sun Yat-sen (孫中山) mengembuskan napas terakhirnya. Perjuangan seorang nasionalis Tionghoa itu turut menyulut pergerakan kemerdekaan Indonesia. Sejumlah tokoh Indonesia punya singgungan dengan Sun: Menginspirasi Sukarno, berkesan buat Tan Malaka, hingga dikenang Musso.

Pada akhir abad ke-19, di saat perlawanan Indonesia terhadap Belanda mulai bangkit, Sun telah memulai pergerakan revolusi terhadap Dinasti Qing untuk membentuk sebuah republik. Bukan perjuangan singkat, sejumlah pemberontakan gagal dalam dua dekade, sementara Sun mesti mengasingkan diri belasan tahun.

Hasil manis baru terlihat ketika Revolusi Xinhai, yang dimulai dari Pemberontakan Wuchang pada 10 Oktober 1911, menuntun pendirian Republik Tiongkok (ROC) pada 1912. Sun terpilih menjadi presiden pemerintahan sementaranya.

Napas perjuangan Sun di Tiongkok ini bertiup hingga ke nusantara. Sosok revolusioner seperti Tan Malaka secara khusus mengagumi Sun hingga pernah membaca buku yang ditulisnya, "San Min Chu I" (三民主義), dilansir Tempo.

Tionghoa perantauan di Jakarta merayakan Hari Nasional ke-44 ROC pada 10 Oktober 1955. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)
Tionghoa perantauan di Jakarta merayakan Hari Nasional ke-44 ROC pada 10 Oktober 1955. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)

Tan menganggap Sun punya kelihaian analisis yang tinggi, kemampuan yang sangat baik, dan merupakan pembicara ulung. Pejuang kelahiran Sumatera Barat itu juga memuji Sun atas kekonsistenan kata dan tindakannya serta ketabahannya menghadapi kegagalan selama perjuangannya.

Tan memang punya garis hidup yang cukup mirip dengan Sun. Dalam perjuangannya untuk Indonesia, ia sempat hidup dalam pengasingan setelah ditangkap di Bandung pada 1922 dan tidak diperbolehkan menginjakkan kaki di Indonesia hingga Belanda dikalahkan Jepang dua dekade kemudian.

Tan Malaka berjumpa dengan Sun Yat-sen

Tak hanya mengagumi Sun, Tan juga pernah bertemu muka dengan bapak ROC ini. Pada musim dingin 1923, Tan menetap di Kanton, pusat gerakan revolusi Tiongkok. Tak lama setelah tiba, ia mengunjungi Sun di kediamannya di tepian Sungai Pearl.

"Berjumpa orang revolusioner di Rusia adalah perkara biasa saja. Tapi berjumpakan revolusioner besar di Asia adalah perkara istimewa," tulis Tan dalam buku "Dari Penjara ke Penjara", mengenang pertemuan itu.

Tan sangat terkesan dengan perjumpaan itu. Mereka membicarakan banyak hal, termasuk perjuangan Indonesia melawan Belanda. Setiap harinya ia bepergian untuk membina hubungan dengan para rekan Sun hingga orang-orang komunis di Kanton.

Saat di Kanton ini lah, Tan menulis salah satu karya pentingnya, "Naar de Republiek Indonesia" (Menuju Republik Indonesia), di mana ia mengonsepkan negara Indonesia merdeka berbentuk republik -- yang akhirnya membuatnya dijuluki sebagai Bapak Republik Indonesia.

Inspirasi Sun Yat-sen untuk Sukarno

Tak hanya dikagumi Tan, Sun, yang menjunjung paham nasionalisme, juga mengilhami Sukarno. Ia membangkitkan semangat kebangsaan dalam diri proklamator Republik Indonesia (RI) itu.

Presiden pertama Republik Indonesia, Sukarno (mengenakan peci), mengunjungi sebuah pameran lukisan Tionghoa. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)
Presiden pertama Republik Indonesia, Sukarno (mengenakan peci), mengunjungi sebuah pameran lukisan Tionghoa. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)

Pada rapat BPUPKI di 1 Juni 1945, Sukarno mengaku bahwa dahulu ia tidak berpaham kebangsaan karena dipengaruhi guru sekolah menengahnya di Surabaya, yang mengatakan manusia tidak dibeda-bedakan berdasarkan bangsa.

"Tetapi pada tahun 1918, Alhamdulillah, ada orang lain yang memperingatkan saya -- ialah Dr. Sun Yat-sen! Di dalam tulisannya 'San Min Chu I'... Dalam hati saya sejak itu tertanamlah rasa kebangsaan," ujar Sukarno dalam pidatonya.

"Maka oleh karena itu, jikalau seluruh bangsa Tionghoa menganggap Dr. Sun Yat-sen sebagai penganjurnya, yakinlah, bahwa Bung Karno juga seorang Indonesia yang dengan perasaan hormat-sehormat-hormatnya merasa berterima kasih kepada Dr. Sun Yat-sen," tambahnya.

Sebelumnya, dalam surat kabar Fadjar Asia pada 18 Agustus 1928, Sukarno menuliskan bahwa Sun, di antara tokoh lainnya, telah mengilhaminya konsep nasionalisme ke-Timuran.

"Ia bukanlah nasionalisme yang timbul dari kesombongan bangsa belaka. Ia adalah nasionalisme yang lebar, nasionalisme yang timbul daripada pengetahuan atas susunan dunia dan riwayat. Nasionalisme kita ialah suatu nasionalisme, yang menerima rasa-hidupnya sebagai suatu wahyu, dan menjalankan rasa-hidupnya itu sebagai suatu bakti," tulisnya.

Sukarno pun sempat mengiyakan bahwa ia pernah merayakan kemerdekaan kaum nasionalis Tiongkok. "Pesta perayaan itu memang sudah terjadi. Kaum Indonesia memang sudah ikut merayakan kemenangannya fihak nasionalis di Tiongkok," tulisnya dalam surat kabar "Suluh Indonesia Muda" pada 1928.

Tionghoa perantauan di Indonesia menyambut delegasi ROC untuk sebuah konferensi PBB. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)
Tionghoa perantauan di Indonesia menyambut delegasi ROC untuk sebuah konferensi PBB. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)

Dalam rapat 1 Juni 1945 yang bertujuan membahas dasar negara RI yang akan didirikan, Sukarno mengatakan, meski ROC baru berdiri pada 1912, rancangan dasarnya sudah dibangun sejak 1885.

"Di dalam tahun 1912 Sun Yat-sen mendirikan negara Tiongkok merdeka, tetapi weltanschauung (pandangan hidup)-nya telah dalam tahun 1885, kalau saya tidak salah, dipikirkan, dirancangkan," kata Sukarno, yang kemudian menanyakan, "Kita hendak mendirikan negara Indonesia merdeka di atas weltanschauung apa?"

Di pidato itu, Sukarno menjelaskan gagasan tentang Pancasila yang akhirnya dijadikan dasar negara RI yang diproklamasikan merdeka pada 17 Agustus 1945.

Pada pidato hari kemerdekaan di tahun 1959, Sukarno juga mengutip kata-kata Sun bahwa "Rintangan yang paling besar bagi demokrasi datang dari mereka yang menganjurkan demokrasi-politik tanpa batas, tetapi juga dari mereka yang tidak berani lagi menganjurkan demokrasi."

Tak hanya di kalangan elite, di akar rumput, tepatnya di Surakarta, ada Barisan Pemberontak Tionghoa yang "Menjunjung tinggi asas yang diwariskan oleh Dr. Sun Yat-sen, bapak dari Republik Tiongkok... dan menurut [kepada] peraturan dari pemerintah Republik Indonesia," dilansir Historia.

Tionghoa perantauan di Jakarta merayakan Hari Nasional ke-44 ROC pada 10 Oktober 1955. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)
Tionghoa perantauan di Jakarta merayakan Hari Nasional ke-44 ROC pada 10 Oktober 1955. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)

Sun Yat-sen dalam kenangan

Sun wafat 100 tahun lalu, pada 12 Maret 1925 di Beijing, ketika Tan masih berada di Kanton. Kabar itu tersebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Sekitar pertengahan April 1925, sebuah peringatan kedukaan diadakan di gedung Soe Po Sia, Surabaya untuk mengantar kepergian Sun. Salah satu pejuang kemerdekaan Indonesia, Munawar Musso, turut hadir, dilansir BandungBergerak.id.

Di sana, Musso berpidato memuji Sun, meskipun ia memancing kontroversi seiring ia tidak meminta izin untuk angkat bicara, menurut surat kabar Soeara Publiek 13 April 1925 yang dikutip Arief Djati.

"Salah satu temen kita, yaitu kita punya kaum, pernah bertemu sama Dr. Sun Yat-sen dan sudah pernah berjabat tangan sama itu orang yang gagah berani, cuma sayang saya sendiri tidak bisa ketemu Dr. Sun Yat-sen. Apabila saya bisa ketemu sama dia saya suka cium kakinya ini dokter yang mulia," ujarnya.

Sementara itu, Sukarno pada 1928 pernah menuliskan, "Wafatnya Dr. Sun Yat-sen tak luputlah mengabungkan pula hati kita (bangsa Indonesia) yang merasakannya sebagai kehi­langan pemimpin sendiri."

Pemindahan peti mati Sun Yat-sen dari Beijing ke Nanjing pada upacara pemakaman resmi yang dilakukan pada 1929. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)
Pemindahan peti mati Sun Yat-sen dari Beijing ke Nanjing pada upacara pemakaman resmi yang dilakukan pada 1929. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)

Pasca kepergian Sun, ROC dihujani berbagai tantangan, mulai dari harus menempuh Ekspedisi ke Utara untuk menyatukan wilayahnya, bertempur untuk melawan agresi Jepang, hingga perang saudara dengan Partai Komunis Tiongkok (CCP).

Pada 1949, CCP berhasil menguasai daratan utama Tiongkok, membuat Kuomintang (KMT), partai nasionalis yang didirikan Sun, terpaksa memindahkan pusat pemerintahan ROC ke Taipei. Sejak saat itu, negara berbendera langit biru, mentari putih, dan tanah merah itu hanya berdiri di wilayah Taiwan.

Indonesia, yang perjuangannya pernah dipengaruhi Sun, kini tidak menjalin hubungan diplomatik dengan ROC. Tidak ada kedutaan besar yang mewakili Jakarta di Taipei, begitu juga sebaliknya. Hanya ada kantor dagang masing-masing pihak.

Di Taiwan, bertepatan dengan 100 tahun kepergian Sun, pada Rabu (12/3), Ketua KMT Eric Chu (朱立倫) beserta para pejabat partai lainnya mengunjungi National Dr. Sun Yat-sen Memorial Hall. Chu mewakili partai untuk meletakkan karangan bunga dan memberikan penghormatan dengan membungkuk di hadapan patung Sun.

Ketua Kuomintang Eric Chu di National Dr. Sun Yat-sen Memorial Hall hari Rabu. (Sumber Foto : CNA, 12 Maret 2025)
Ketua Kuomintang Eric Chu di National Dr. Sun Yat-sen Memorial Hall hari Rabu. (Sumber Foto : CNA, 12 Maret 2025)

Dalam sebuah konser peringatan, Chu dalam pidatonya mengatakan bawa para pengikut Sun selalu mengenang jasanya, di mana ia telah mendirikan ROC yang memberikan kebebasan dan demokrasi bagi rakyatnya, serta mewujudkan cita-cita pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat.

Sementara itu, "San Min Chu I" yang diperjuangkan Sun terus diwariskan dari generasi ke generasi, dengan nilai demokrasi dan kebebasan, yang merupakan inti dari salah satu prinsipnya, telah menjadi nilai-nilai fundamental yang paling dijunjung Taiwan saat ini, ujar Chu.

Konstitusi yang hingga kini digunakan di Taiwan, menurut pembukaannya, ditetapkan "Sesuai ajaran yang diwariskan Dr. Sun Yat-sen dalam mendirikan Republik Tiongkok." Pasal 1 Ayat 1-nya menyebutkan negara "Didirikan berdasarkan 'San Min Chu I'."

Selesai/IF

How mattresses could solve hunger
0:00
/
0:00
Kami menghargai privasi Anda.
Fokus Taiwan (CNA) menggunakan teknologi pelacakan untuk memberikan pengalaman membaca yang lebih baik, namun juga menghormati privasi pembaca. Klik di sini untuk mengetahui lebih lanjut tentang kebijakan privasi Fokus Taiwan. Jika Anda menutup tautan ini, berarti Anda setuju dengan kebijakan ini.
Diterjemahkan oleh AI, disunting oleh editor Indonesia profesional.