Oleh Jason Cahyadi dan Muhammad Irfan, penulis staf CNA
Menyusul terungkapnya kabar bahwa kerusuhan Mei 1998 di Indonesia disertai kekerasan hingga pemerkosaan, dunia internasional menyampaikan berbagai protes. Salah satunya dari Taiwan, di mana sejumlah lembaga negaranya melontarkan kecaman dan desakan agar pemerintah Indonesia bertanggung jawab.
Baca bagian sebelumnya: Mei 1998: Demonstrasi di Taiwan dan kunjungan delegasi ke Indonesia
Laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (RI) mencatat 13-15 Mei 1998 menjadi tiga hari terburuk yang merekam berbagai kerusuhan. Salah satu aspek paling mencolok adalah banyaknya laporan tentang pemerkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa.
Namun, kabar ini baru terdengar dunia internasional beberapa waktu kemudian melalui laporan berbagai pihak. Segera setelah telinga dunia mendengar, beragam respons berdatangan. Taiwan menjadi salah satu yang menyampaikan seruan kecaman.
Seruan
Pada 26 Juli 1998, Yuan Kontrol, lembaga pengawas pemerintah Taiwan, meminta Kementerian Luar Negeri (MOFA) menyelidiki laporan bahwa ratusan wanita Tionghoa diperkosa, disiksa, hingga dibunuh selama kerusuhan Mei Indonesia.
Keesokan harinya, kelompok perempuan Taiwan yang didampingi sejumlah legislator mendatangi Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI) di Taipei, menyerahkan petisi protes terhadap pemerintah RI yang mereka duga telah menutup mata terhadap kejadian itu.
Wakil Kepala KDEI saat itu, Ahmed Bey Sofwan mengatakan pemerintah RI telah membentuk tim khusus, namun ketidakstabilan situasi menyulitkan penyelidikan.
Kelompok tersebut meminta pemerintah RI mengambil langkah-langkah efektif untuk menghentikan kekerasan, membantu korban yang ingin ke Taiwan untuk perawatan medis, dan menghubungi kelompok perempuan internasional untuk meminta bantuan bagi korban.
Kelompok itu juga mengunjungi MOFA. Di sana, Wakil Menteri Luar Negeri Wu Tzu-dan (吳子丹) mengatakan kementerian telah menginstruksikan staf di Jakarta untuk menyelidiki laporan, mencari kompensasi bagi terduga korban, dan memastikan insiden serupa tidak terjadi lagi.
Pada 28 Juli, Majelis Nasional memutuskan untuk memprotes Indonesia melalui sebuah mosi yang didukung seluruh orang yang hadir dalam rapat, baik dari partai penguasa maupun oposisi.
Mosi itu menyerukan kepada pemerintah RI untuk menghentikan kekerasan terhadap etnis Tionghoa serta mengecam Jakarta yang mereka anggap tidak hanya gagal melindungi komunitas Tionghoa, tetapi juga mendukung kerusuhan massa.
Selain mendesak pemerintah Taiwan untuk menuntut kompensasi dan permintaan maaf dari Indonesia melalui saluran diplomatik, Majelis juga menyerukan kepada Taipei untuk segera memberikan bantuan kepada para warga Tionghoa Indonesia.
Pada 29 Juli, Majelis Nasional mengesahkan sebuah rancangan resolusi yang mengecam tindakan kekerasan itu. Para anggota meminta pemerintah Taiwan menyatakan Indonesia sebagai wilayah kerusuhan dan menghentikan perjalanan wisatawan ke sana.
Mereka juga mendesak komunitas internasional mengecam kekejaman para perusuh, meminta permintaan maaf dari pemerintah RI, mendesak agar para pelaku dihukum berat, serta mencari bantuan global.
Mereka pun menyarankan Taipei menghentikan bantuan kepada Jakarta, serta memberikan dukungan kepada pengusaha Taiwan di Indonesia dan mengevakuasi orang Tionghoa dari daerah kerusuhan.
Senada dengan itu, sejumlah pemimpin asosiasi bisnis Taiwan menyerukan agar para pengusaha lokal menghentikan bisnis mereka di Indonesia, untuk mendesak Jakarta mengambil langkah-langkah perlindungan.
Juga pada 29 Juli, Partai Baru Taiwan menggelar protes di KDEI, menuntut pemerintah RI meminta maaf secara terbuka kepada perempuan Tionghoa yang menjadi korban, memberikan kompensasi, dan menghukum para perusuh.
Sekelompok perwakilan Partai Baru di Majelis Nasional juga membentuk aliansi, yang bergabung dengan kelompok-kelompok Tionghoa mancanegara untuk membantu perempuan korban kekerasan.
Sementara itu, seorang juru bicara Taipei Women's Rescue Foundation mengatakan bukti menunjukkan bahwa hampir 200 gadis dan perempuan etnis Tionghoa diperkosa para perusuh, beberapa di antaranya bahkan dibunuh.
Kelompok-kelompok hak perempuan Taiwan juga meluncurkan kampanye tanda tangan untuk meminta dukungan global bagi perjuangan perempuan Tionghoa yang menjadi korban.
Modern Women's Foundation meminta kelompok-kelompok sipil yang dapat menawarkan layanan medis atau tempat perlindungan untuk korban kekerasan untuk menghubungi yayasan tersebut.
"Orang lokal yang bisa berbahasa Indonesia juga dipersilakan untuk menghubungi kami," kata juru bicara yayasan tersebut, menambahkan bahwa mereka akan membantu korban untuk menerima perawatan medis di Taiwan.
Sembilan perwakilan kelompok hak perempuan Taiwan kemudian pergi ke Indonesia pada 2 Agustus untuk melakukan perjalanan empat hari, dengan upaya menemui beberapa korban. Mereka sempat bertemu Menteri Negara Peranan Wanita Indonesia Tuty Alawiyah.
Dalam sebuah kegiatan dengar pendapat publik yang didorong legislator pada 13 Agustus, seorang profesor di National Chengchi University yang juga warga Tionghoa Indonesia menyarankan agar perayaan Hari Nasional Republik Tiongkok (ROC, nama resmi Taiwan) di Indonesia dibatalkan sebagai protes.
Pada 24 Agustus, pejabat Asosiasi Tionghoa-Indonesia di ROC meminta pemerintah Taiwan melonggarkan pembatasan visa bagi perempuan muda Indonesia keturunan Tionghoa, menyediakan tempat perlindungan bagi mereka.
Gayung bersambut
Pada 29 Juli, Menteri Luar Negeri (Menlu) Jason Hu (胡志強) mengecam kekejaman yang dilakukan para perusuh, mengatakan bahwa Taiwan sangat prihatin terhadap penderitaan perempuan etnis Tionghoa yang diperkosa dan disiksa.
Hu lebih lanjut mengatakan bahwa Kementerian Luar Negeri (MOFA) telah mengarahkan Kantor Perwakilan Taiwan di Indonesia (TETO) untuk membantu menemukan korban dan mendorong mereka melaporkan aksi para perusuh.
"Kami telah meminta khusus kepada pemerintah Indonesia untuk memberikan perlindungan kepada semua korban yang dengan berani tampil untuk memberikan kesaksian mengenai kekejaman yang mereka alami," kata Hu.
Hu mengatakan bahwa Taipei akan memberikan segala kemudahan dan bantuan kepada perempuan etnis Tionghoa yang menjadi korban dan ingin datang ke Taiwan untuk perawatan.
Perdana Menteri Vincent Siew (蕭萬長) juga mengungkapkan keprihatinan serius atas kekerasan itu, serta menyatakan harapannya agar pemerintah RI segera mengumumkan hasil penyelidikannya terhadap kerusuhan dan mencegah kejadian serupa terjadi lagi.
Perwakilan Taiwan di Indonesia Lu Pao-sun (陸寶蓀), dalam wawacara dengan CNA, mengatakan bahwa kantornya telah mengambil inisiatif untuk menyelidiki laporan pemerkosaan dan kekerasaan.
Pada 31 Juli, seorang juru bicara stasiun televisi Taiwan, Chinese Travel Television, bekerja sama dengan sejumlah seniman dan semua programnya, mendesak masyarakat untuk tidak bepergian ke atau membeli produk asal Indonesia.
Senada dengan itu, seorang presenter televisi terkenal dari program perjalanan populer di Taiwan "Around the World", mengimbau publik untuk tidak bepergian ke Indonesia sebagai bentuk protes.
Pada 31 Juli, satuan tugas lintas kementerian Taiwan merumuskan resolusi yang mendesak pemerintah RI melanjutkan penyelidikan dan segera mengumumkan hasilnya untuk menghukum para pelaku.
Taipei juga akan menuntut agar Jakarta secara efektif melindungi keselamatan pribadi dan kepemilikan properti etnis Tionghoa dan pengusaha Taiwan di sana, menurut resolusi itu.
Resolusi juga memutuskan TETO akan terus menyelidiki kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan Tionghoa untuk memberikan bantuan serta meningkatkan kontak dengan komunitas Tionghoa untuk mengantisipasi kemungkinan kekerasan lebih lanjut.
Selesai/JA