FEATURE /"Mahalnya" menjadi ibu: Perjuangan pekerja migran hamil di Taiwan

19/06/2025 21:24(Diperbaharui 19/06/2025 23:10)

Untuk mengaktivasi layanantext-to-speech, mohon setujui kebijakan privasi di bawah ini terlebih dahulu

Seorang ibu migran menggendong bayinya yang baru lahir, menemukan kekuatan di tengah ketidakpastian jauh dari tanah air. (Sumber Foto : CNA)
Seorang ibu migran menggendong bayinya yang baru lahir, menemukan kekuatan di tengah ketidakpastian jauh dari tanah air. (Sumber Foto : CNA)

Oleh Sean Lin dan Jason Cahyadi, reporter staf CNA

[Catatan editor: Ini adalah bagian kedua dari seri yang membahas tantangan kesehatan dan pekerjaan yang dihadapi pekerja migran, baik yang legal maupun tanpa dokumen, di Taiwan yang sedang hamil atau membesarkan anak, serta permasalahan kesehatan yang dialami anak-anak mereka.]

Ketika seorang perempuan Indonesia bernama Ratih hamil tahun lalu, ia mengira akan tetap melanjutkan pekerjaannya di sebuah pabrik di New Taipei sebelum mengambil cuti melahirkan, sebagaimana diatur hukum.

Namun, ketika usia kehamilannya menginjak lima bulan, pihak pemberi kerja dan agensi tenaga kerja memberitahunya bahwa mereka memutuskan, demi kebaikannya, agar ia kembali ke Indonesia untuk melahirkan, meskipun atasan langsungnya telah menyetujui cuti melahirkannya.

Mereka akhirnya berhasil menekan Ratih untuk mengundurkan diri, tetapi dokumen resmi yang diserahkan ke otoritas tenaga kerja setempat menyatakan bahwa ia mengundurkan diri secara sukarela, yang melemahkan posisi hukumnya.

Kasus ini kemudian dibawa ke proses arbitrasi, dan pihak pabrik setuju untuk membayar uang pesangon kepada Ratih. Namun, hidupnya sudah terlanjur terguncang. Ia terpaksa pindah ke tempat penampungan pekerja migran yang dikelola Serve the People Association (SPA) di Taoyuan, dan masih tinggal di sana setelah melahirkan.

Tekanan majikan

Kisah Ratih merupakan contoh umum dari tekanan yang dihadapi pekerja migran yang sedang hamil, serta kesulitan mereka dalam melawan sistem yang jelas tidak berpihak pada mereka, meskipun hukum sering kali mendukung.

Undang-Undang (UU) Kesetaraan Gender dalam Pekerjaan dan UU Standar Ketenagakerjaan jelas menyatakan pekerja hamil seperti Ratih tidak boleh diberhentikan dan berhak atas cuti melahirkan delapan pekan. Namun, pasal itu sulit ditegakkan, sehingga diskriminasi terhadap perempuan ini terus berlangsung.

"Kalau mereka orang Taiwan, mereka tidak akan kesulitan mendapatkan cuti melahirkan," kata Lina, salah satu koordinator tempat penampungan yang menangani berbagai tanggung jawab.

Untuk pekerja migran, pemberi kerja dan agensi cenderung menghindari tanggung jawab hukum dengan mendorong mereka di pertengahan masa kehamilan agar mencapai kesepakatan bersama untuk memutus kontrak kerja, kata Lina.

Kebanyakan pekerja migran menyetujui kesepakatan seperti ini karena mereka tidak ingin menghadapi masalah yang mungkin timbul jika menolak, terutama dari agensi tenaga kerja mereka, tambahnya.

Putus kerja

Seorang perempuan Indonesia lainnya, Seri, yang bekerja di fasilitas perawatan jangka panjang, menghadapi tekanan serupa saat hamil, sehingga ia akhirnya tinggal di tempat penampungan yang sama dengan Ratih.

"Di panti itu kan kita kerja berat, karena mengangkat-angkat lansia, jadi mereka menyarankan untuk pulang atau saya harus lahiran di Taiwan ... tetapi mereka tidak bisa melanjutkan kontrak karena di panti," kata Seri.

Menurut Lina, kasus Seri menggambarkan bahwa perawat, terutama yang bekerja sendiri di rumah pribadi, mungkin adalah kelompok migran paling rentan saat mereka hamil.

Karena mereka biasanya hanya merawat satu orang yang sakit, kontrak mereka hampir selalu diputus begitu majikan menganggap mereka tidak mampu lagi menjalankan tugas, ujar Lina.

Apa pun jenis pekerjaan yang dilakukan pekerja migran hamil, kehilangan pekerjaan secara ilegal merupakan fenomena yang semakin umum terjadi di Taiwan.

Pada 2022, Yuan Kontrol, lembaga pengawas tertinggi pemerintah Taiwan, mengecam Kementerian Ketenagakerjaan (MOL) karena persentase pekerja migran hamil yang harus memutus kontrak kerja naik tajam menjadi 66,1 persen pada 2021, dari sekitar 40 persen pada 2019.

Lembaga tersebut juga menemukan bahwa dari 13.521 pekerja migran yang melahirkan di Taiwan sebelum kembali ke negara asal dari 2018 hingga 2021, sebanyak 8.010 harus terlebih dahulu memutus kontrak kerja mereka.

Praktik ini melanggar Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (CEDAW) dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang telah diadopsi Taiwan ke hukum dalam negerinya pada 2012.

Konvensi ini melarang pemecatan pekerja perempuan karena alasan kehamilan atau cuti melahirkan, kata pernyataan Yuan Kontrol.

Dua pekerja migran memeluk anak-anak mereka di sebuah organisasi nirlaba di Taoyuan. (Sumber Foto : CNA)
Dua pekerja migran memeluk anak-anak mereka di sebuah organisasi nirlaba di Taoyuan. (Sumber Foto : CNA)

Konsekuensi nyata

Sebagian orang mungkin berpendapat bahwa situasi ini tidak terlalu serius, mengingat kehamilan adalah salah satu dari sedikit kondisi yang memungkinkan pekerja migran mencari majikan baru sebelum kontrak mereka berakhir, asalkan pemutusan kontrak dilakukan atas kesepakatan bersama.

Pekerja migran hamil diberi masa tenggang hingga 180 hari setelah melahirkan untuk mencari pekerjaan baru. Setelah itu, jika tetap menganggur, mereka harus kembali ke negara asal.

Namun, menurut Lina, pemutusan kontrak kerja menjerumuskan mereka ke dalam kondisi sulit, seperti kehilangan tempat tinggal yang stabil dan rentan dikenai "biaya agensi" yang sangat mahal untuk mendapatkan kontrak baru, meskipun biaya semacam itu dilarang hukum.

Respons yang cukup kuat?

Untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi pekerja migran hamil, MOL menghabiskan sebagian besar tahun 2024 untuk menyusun "Pedoman Perlindungan Hak Pekerja Migran Perempuan dan Anak".

Pada Mei 2024, MOL menyatakan mereka akan memperluas subsidi melahirkan bagi pekerja migran sektor informal dengan memasukkan kebijakan tersebut dalam pedoman, yang diperuntukkan bagi pekerja yang tercakup dalam UU Standar Ketenagakerjaan.

Namun, rencana ini menuai kritik dari masyarakat Taiwan dan akhirnya dibatalkan.

Saat pedoman akhirnya dirilis pada 6 Januari 2025, isinya hanya merupakan kompilasi aturan dan sumber daya yang sudah ada sebelumnya, seperti informasi mengenai tempat pekerja migran dapat membaca tentang pengendalian kelahiran dan memperoleh pil kontrasepsi.

Pedoman itu juga menjelaskan jenis cuti yang berhak diperoleh ibu hamil atau yang baru melahirkan, dan secara eksplisit menyatakan pemberi kerja tidak boleh menjadikan kehamilan sebagai alasan untuk memecat pegawai.

Namun, pedoman ini tidak mencantumkan mekanisme penegakan hukum atau hukuman bagi pelanggar.

Hsiao Yicai (蕭以采), direktur tempat penampungan SPA, cukup skeptis terhadap efektivitas pedoman yang hanya berupa kompilasi aturan yang sudah ada dalam membantu pekerja migran hamil.

"Masalah sebenarnya adalah bahwa langkah-langkah ini sulit ditegakkan karena banyak pekerja migran hamil tidak mengetahui keberadaan aturan ini, sehingga mereka rentan dieksploitasi."

"Atau mungkin mereka tahu, tapi takut memperjuangkan hak mereka setelah mendapat ancaman dari agen tenaga kerja," kata Hsiao.

Selesai/ML

How mattresses could solve hunger
0:00
/
0:00
Kami menghargai privasi Anda.
Fokus Taiwan (CNA) menggunakan teknologi pelacakan untuk memberikan pengalaman membaca yang lebih baik, namun juga menghormati privasi pembaca. Klik di sini untuk mengetahui lebih lanjut tentang kebijakan privasi Fokus Taiwan. Jika Anda menutup tautan ini, berarti Anda setuju dengan kebijakan ini.
Diterjemahkan oleh AI, disunting oleh editor Indonesia profesional.