Oleh Jason Cahyadi, penulis staf CNA
Seorang prajurit kolonial Jepang yang hilang di hutan Pulau Morotai, Suniuo, baru ditemukan 30 tahun setelah Perang Dunia II usai. Penduduk Asli Taiwan itu akhirnya pulang ke tanah asalnya pada Januari 1975, di bulan terakhir kalender Tionghoa, menjelang Tahun Baru Imlek.
Penemuan
Pada pertengahan 1974, seorang warga Pulau Morotai datang ke kator polisi, melaporkan bahwa ada prajurit Jepang tua yang hidup di hutan hujan tropis kaki Pegunungan Galoka. Laporan itu diteruskan hingga ke Jakarta, yang kemudian menghubungi Kedutaan Besar Jepang.
Suniuo sendiri telah diumumkan meninggal oleh pemerintah Jepang pada Maret 1945, tak lama setelah pulau yang ada di Maluku Utara itu ditaklukkan Sekutu pada September tahun sebelumnya dalam Pertempuran Morotai.
Pada awal November 1974, Kedutaan Besar Jepang meminta bantuan pemerintah Indonesia untuk mengorganisasi sebuah misi pencarian.
Tim dari TNI-AU berangkat pada 18 Desember. Sehari setelahnya, mereka menemukan gubuk persembunyian Suniuo yang sedang ditinggalkan. Mereka bersembunyi hingga berhasil menemui pria tersebut setelah kembali, di mana ia hanya berpakaian baju dari karung goni.
Melalui terjemahan seorang anggota tim yang fasih berbahasa Jepang, Suniuo mengaku ia bersembunyi karena takut ditangkap, seiring ia beranggapan Morotai masih dikuasai Sekutu, karena sering melihat pesawat-pesawat yang disangkanya milik Amerika Serikat -- yang sebenarnya dipunyai TNI-AU.
Suniuo pun diterbangkan ke Jakarta. Jepang mengumumkan penemuannya pada 27 Desember, sebelum ia akhirnya memilih untuk dipulangkan ke Taiwan.
Pulang
Suniuo tiba di Bandara Songshan, Taipei pada 8 Januari 1975 sore, dengan sejumlah pejabat dan hampir seratus wartawan menunggu kedatangannya.
Meski disambut meriah saat kembali ke Taiwan, pria dari suku Amis kelahiran Taitung itu mesti menghadapi kenyataan bahwa kampung halamannya sudah sangat berubah.
Saat itu, Taiwan tidak lagi dijajah Kekaisaran Jepang, melainkan telah menjadi bagian dari Republik Tiongkok (ROC). Orang tua Suniuo telah tiada, hanya ada dua kakak perempuannya yang tersisa. Putranya, yang masih bayi ketika ia pergi, telah menjadi ayah dari empat anak, dan istrinya telah menikah lagi.
Saat menaiki mobil dari Bandara Songshan, Suniuo menyapa istrinya, kemudian langsung bertanya mengapa ia menikah lagi dan menyatakan ia menolak untuk tinggal bersama.
Beberapa waktu setelah kepulangan itu terjadi, suami baru dari istri Suniuo mengalah. Pria yang telah pergi 30 tahun itu pun melangsungkan pernikahan ulang dengan cinta lamanya di rumah baru mereka.
Penghargaan?
Sebagai seorang prajurit, Suniuo selayaknya mendapatkan bayaran. Kendati demikian, statusnya membuat keadaan menjadi rumit.
Meskipun Suniuo masuk Angkatan Darat Kekaisaran Jepang dengan cara direkrut, secara formal ia berstatus sebagai anggota unit sukarelawan, yang membuatnya tidak punya hak pensiun atau tunjangan. Ia juga berasal dari Taiwan, bukan Jepang.
Akhirnya, setelah "bertugas" selama 30 tahun, pemerintah Jepang hanya memberikan Suniuo sekitar NT$7.000. Namun, setelah pers gempar, mereka akhirnya memberikan dana yang lebih besar, sekitar NT$380.000.
Di sisi lain, di sebuah halaman dari dokumen arsip di Academia Historica, pada tanggal yang sama dengan kepulangan Suniuo, tertulis sebuah kalimat: "Presiden Chiang Kai-shek (蔣中正) memberikan perhatian khusus kepada para veteran dengan memberikan uang penghargaan untuk Tahun Baru Imlek."
"Lee Kuang-hui (李光輝), yang telah berjuang sendirian selama 30 tahun di hutan Pulau Morotai, Indonesia, kembali ke tanah airnya," lanjut tulisan yang dikategorikan ke dalam benda peninggalan Chiang tersebut.
Lee Kuang-hui adalah nama yang diberikan kepada Suniuo, yang juga memegang nama Attun Palalin dan Teruo Nakamura. Pada saat itu, kebijakan pemerintah ROC menetapkan semua orang dari suku Penduduk Asli wajib mengganti namanya ke bahasa Mandarin.
Academia Historica, lembaga penelitian sejarah negara ROC, mengatakan kepada CNA bahwa kedua kalimat itu adalah gabungan dua laporan berita yang ditulis pengelola data Chiang pada masa itu.
Akhir kisah
Meskipun kisahnya sempat menghebohkan, Suniuo cenderung bergerak menjauh dari dunia lamanya itu.
Pada Februari 1975, saat veteran Jepang lainnya mengundang Suniuo ikut serta dalam sebuah pertemuan peringatan, ia menolak karena takut kenangannya yang menyakitkan akan bangkit.
Ia juga pernah mengeluh bahwa setiap hari banyak orang dari berbagai tempat datang untuk mengunjunginya, menjadikannya seperti objek wisata yang harus didatangi dengan bus tur. Bahkan, ada yang datang untuk mengetuk pintunya di tengah malam. Hal ini membuatnya merasa jenuh.
Pada 25 Juli 1976, pada hari peresmian rumah barunya, Suniuo menyumbangkan NT$100.000 untuk beasiswa bagi anak-anak dari suku Penduduk Asli yang membutuhkan.
Dua tahun kemudian, Suniuo bekerja di Ami Cultural Village di Hualien, di mana ia bertugas untuk menyapa para wisatawan yang datang dari jauh.
Setelah kurang dari lima tahun tinggal di dunia modern, Sunio menghembuskan napas terakhir di kediamannya pada 15 Juni 1979, karena kanker paru-paru.
Sepeninggalan Suniuo, Pemerintah Kabupaten Pulau Morotai membangun sebuah monumen dirinya di Desa Dehegila.
"Seorang suku asli Taiwan ... sebagai pasukan khusus Takasago IV yang terkenal sebagai pasukan khusus perang gerilya untuk mempertahankan kepulauan Morotai dari gempuran tentara Sekutu," sebuah tulisan dalam tinta emas terukir di monumen itu.
Selesai/JA