Taipei, 3 Okt. (CNA) Direktorat Jenderal Perikanan (FA) menyatakan bahwa pemilik kapal yang membuat sejumlah Anak Buah Kapal (ABK) migran Indonesia tetap berada di kapal saat Taifun Krathon melanda bisa didenda hingga NT250.000 (Rp120.591.132).
Seperti yang diberitakan CNA hari Rabu menjelang taifun Khraton datang, beberapa ABK di Donggang, Pingtung masih tetap berada di kapal untuk menjaga agar tali tidak terputus dari kapal karena angin kencang yang dibawa taifun.
Baca berita sebelumnya di https://indonesia.focustaiwan.tw/society/202410025008
“Pagi ini anginnya gede (besar) ngeri banget. Kebanyakan teman-teman masih berada di kapal. Kondisi sudah darurat seperti ini bagaimana mau dievakuasi, sudah terlambat. Mau tidak mau tetap bertahan di kapal,” ujar Muzakir, Ketua Forum Silaturahmi Pelaut Indonesia (FOSPI) kepada CNA pada pukul 10.39 pagi hari Kamis (3/10).
Kepada CNA, Muzakir mengungkapkan bahwa ada banyak, hingga ribuan, ABK yang masih berada di kapal saat taifun melanda.
“Rata-rata semua pada di kapal. Jumlahnya ada ribuan ABK, baik ABK LG (ABK yang bekerja pada kapal-kapal long line) dan ABK nelayan migran (jarak dekat). Ada banyak kapal CT 2 dan 3 (kapal jarak dekat di bawah 100 ton) dan juga CT 4 dan 5 (kapal jarak jauh di atas 100 ton), semuanya tetap bersandar di pelabuhan Donggang,” ungkap Muzakir kepada CNA Kamis pagi.
Pada pukul 4.47 sore Kamis, Muzakir mengatakan kepada CNA bahwa di sana telah terjadi pemadaman listrik, yang juga menyebabkan keterbatasan sarana komunikasi.
Sementara itu, Muslimin, seorang nelayan migran, mengungkapkan kepada CNA bahwa ia bersama dua rekan ABK Indonesia lainnya tetap tinggal di kapal di sebuah pelabuhan Cijin, Kaohsiung, selama taifun melanda.
Pada sekitar pukul 10.31 pagi Kamis, Muslimin mengatakan bahwa angin kencang membuatnya sempat khawatir dan takut saat berada di kapal.
“Saat saya mau pergi ke toilet, saya takut berjalan. Toilet ada di belakang kapal. Saat menuju ke sana, kapal sempat terombang-ambing, mengerikan sekali,” ujar Muslimin kepada CNA.
Menurut pengamatan Muslimin, ada banyak kapal CT3 kapal kecil di bawah 100 ton seperti kapalnya yang sedang bersandar di pelabuhan tersebut, dan terlihat beberapa ABK juga berjaga-jaga di kapal.
Muslimin menambahkan bahwa ia tak bisa tidur nyenyak semalaman karena harus sesekali waktu terbangun untuk mengecek tali kapal dan memerhatikan kapalnya agar tidak bertabrakan dengan kapal lain yang sedang bersandar.
Muslimin juga mengatakan bahwa majikannya hanya datang sekali sehari, pada pukul 6 sore, untuk mengecek keadaannya dan memberikan bahan makanan. Muslimin dan teman-temannya tetap memasak di kapal menjelang taifun untuk makan mereka.
Panduan FA mengenai “Prinsip penanganan Kapal Perikanan yang Masuk Pelabuhan dan ABK untuk Menghindari Angin Saat Taifun” menyebutkan bahwa untuk kapal penangkap ikan di atas 100 ton, harus ada awak kapal yang cukup untuk tinggal di atas kapal dan memperkuat operasi penambatan.
Namun, menurut panduan tersebut, jika kekuatan angin topan meningkat, pusat tanggap bencana pemerintah setempat harus menilai apakah awak kapal mesti pergi ke darat untuk berlindung, dan perintah untuk berlindung ke darat harus dikeluarkan kapten.
Untuk kapal penangkap ikan sedang dan kecil dengan berat 100 ton ke bawah, semua anggota awak harus pergi ke darat untuk berlindung dari taifun, menurut panduan tersebut.
Hsueh Po-yuan (薛博元), Kepala Divisi Tenaga Kerja FA, mengatakan kepada CNA, berdasarkan Undang-Undang Pencegahan dan Perlindungan Bencana, pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengeluarkan perintah evakuasi bagi awak kapal jika terjadi bencana alam.
Setelah perintah tersebut diberikan, kata Hsueh, pemilik kapal harus membawa awak kapal mereka ke tempat penampungan.
Pemilik kapal yang kedapatan tidak mematuhi perintah tersebut akan didenda NT$50.000 hingga NT$250.000 oleh pemerintah daerah, kata Hsueh.
Namun, Hsieh Chun-yi (謝俊億), pejabat di Kantor Manajemen Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pingtung, mengatakan ada kesulitan dalam menegakkan aturan tersebut, yang membuat lembaganya berada dalam "teka-teki."
Saat diberitahu CNA tentang situasi di Donggang Kamis pagi, Hsieh mengatakan pemerintah daerah pada Rabu telah memerintahkan semua kapal penangkap ikan di daerah itu untuk mengevakuasi seluruh awaknya.
Namun, ketika dihubungi lagi pada pukul 14.30, Hsieh mengatakan lembaganya telah mengizinkan ABK migran untuk tetap berada di kapal meskipun Taifun Krathon telah mendarat di Distrik Siaogang, Kaohsiung pada pukul 12.40.
Setelah lembaganya menghubungi Asosiasi Tuna Longline Taiwan dan asosiasi perikanan terkait lainnya di daerah tersebut, kelompok-kelompok tersebut menyatakan kekhawatiran yang serius atas putusnya tali tambat, kata Hsieh kepada CNA.
“Tidak hanya awak migran, tetapi juga pemilik kapal Taiwan mereka juga tetap berada di kapal,” imbuh Hsieh.
“Angin dan hujan masih sangat kencang, dan mereka sangat khawatir,” kata Hsieh. “Jika tali putus, kapal akan hanyut dan bertabrakan dengan kapal lain yang ditambatkan di dekatnya, terutama saat terjadi topan ketika pelabuhan perikanan lebih padat dari biasanya.”
Hsieh mengatakan ditjennya mengakui bahwa awak kapal harus diizinkan pergi ke darat berdasarkan pertimbangan kemanusiaan, dan lembaganya akan berkonsultasi dengan FA dan asosiasi perikanan untuk menjajaki kemungkinan merevisi aturan yang relevan guna mengatasi “keadaan khusus” semacam ini dengan lebih baik.
Sementara itu, Kadir, analis bidang ketenagakerjaan KDEI, mengungkapkan kepada CNA bahwa pihaknya sudah dua kali menyampaikan imbauan agar tetap waspada demi keselamatan sebagai prioritas dalam menghadapi Taifun.
“ABK nelayan dapat menyampaikan ke majikan kalau ini memang beresiko. Hal ini tentunya berpotensi mengabaikan keselamatan ABK nelayan, bahkan dapat melanggar standar keselamatan kerja,” ujarnya.
Kadir mengusulkan agar majikan mempertimbangkan metode alternatif seperti sistem pemantauan otomatis atau teknologi CCTV untuk memantau kondisi kapal dari jarak aman serta pemilik kapal agar memperbanyak atau memperkuat jumlah tali penghubung atau pengikat kapal ke dermaga untuk memastikan keamanan kapal juga.
Dalam kondisi khusus, Kadir menekankan bahwa merujuk Amandemen Standar Penilaian Rencana Layanan Perawatan Pekerja Migran WDA, akomodasi ABK nelayan harus diikuti ketika pemerintah di semua tingkatan menerapkan langkah-langkah tanggap bencana, berdasarkan Undang-Undang Penanggulangan dan Penyelamatan Bencana.
Misalnya, perintah evakuasi dikeluarkan dimana kapal penangkap ikan berada, pekerja migran harus bekerja sama dengan pemerintah daerah atau pemberi kerja untuk tempat pemukiman sementara yang direncanakan, ujar Kadir.
Tempat pemukiman sementara yang disiapkan pemberi kerja harus memiliki tempat istirahat yang layak, fasilitas sanitasi, dan persediaan makanan yang memadai, ujar Kadir.
(Oleh Miralux dan Sean Lin)
Selesai/JC