Oleh Mira Luxita, reporter staf CNA
Nita Mutmainah, purna pekerja migran Indonesia (PMI) yang pernah bekerja di pabrik tekstil di Daxi Taoyuan, kini kembali datang ke Taiwan dengan status sebagai pelajar. Nita yang dikenal sebagai penyanyi yang kerap menjadi langganan juara kompetisi menyanyi, ternyata punya keinginan sebagai aktivis pembela hak-hak PMI, ungkapnya saat diwawancarai CNA pada Minggu (24/11).
Menjadi PMI pilihan, bekerja di Taiwan gratis
Pada Februari 2020, Nita datang ke Taiwan sebagai PMI yang bekerja di salah satu pabrik di Taoyuan. Setelah satu kontrak, ia akhirnya pulang ke tanah air dan memutuskan untuk kembali ke Taiwan menjadi pelajar.
Kini Nita sudah dua tahun menjalani statusnya sebagai pelajar, dan ternyata ia tak lupa dengan pengalamannya sebagai PMI, terbukti ia menuturkan keinginannya kepada CNA untuk menjadi seorang aktivis pembela hak kaum buruh.
Sebelum kerja di Taiwan, Nita sempat bekerja di bank. Pada waktu senggangnya, ia melihat ada iklan yang beredar di media sosial mengenai tawaran bekerja di luar negeri tanpa biaya dari Badan Perlindungan pekerja Migran (BP2MI), tutur Nita yang berasal dari Makassar ini.
“Waktu itu saya hanya iseng-iseng mencoba daftar, malah akhirnya diterima,” ujarnya. “Awalnya saya ragu karena takut kalau itu penipuan. Setelah diselidiki memang itu program pemerintah namanya SP2T (Special Placement Program to Taiwan). Dari ratusan pendaftar, hanya enam orang yang terpilih. Kebanyakan mereka semua lulusan sarjana,” tambah Nita mengomentari.
Setelah pengumuman diterima, Nita diwawancarai langsung oleh pengguna atau majikan, bahkan sempat juga diwawancarai Pusat Layanan Perekrutan Langsung (DHSC).
“Jadi memang tidak ada calo. Ada beberapa pengecekan dokumen seperti latar belakang, ijazah, potensi, dan juga tes fisik yang dapat dilihat dari kamera. Prosesnya lumayan panjang karena banyak tahap, tetapi setelah lolos semua, prosesnya singkat ke Taiwan,” tutur Nita yang mengenyam pendidikan di jurusan media ini.
“Semua dibayarin gratis. Misal, medical check up, biaya Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), biaya pesawat hingga biaya sekecil apapun tetap diganti. Lima belas hari setelah masuk kerja, uang penggantian tersebut sudah masuk ke rekening,” sambung Nita.
“Saya sangat beryukur dan beruntung menjadi PMI dari hasil rekrutmen SP2T dan tidak membayar apapun. Namun saat datang ke Taiwan dan membaur dengan teman-teman, saya sangat sedih karena baru tahu kalau datang ke Taiwan, mereka harus membayar biaya Rp40 juta bahkan sampai ada yang Rp80 juta,” ujar Nita yang memiliki 17 piala lomba menyanyi di Taiwan.
Nita menuturkan pada CNA bahwa program pemerintah seperti SP2T hendaknya bisa diteruskan secara menyeluruh, jadi tidak hanya untuk satu atau dua pabrik saja.
“Saya ingin teman-teman PMI juga merasakan seperti yang saya rasakan. Banyak di antara mereka yang pinjam uang terlebih dahulu sebelum datang ke Taiwan karena harus membayar yang dinamakan beli job (pekerjaan) dan lainnya. Saya ingin tidak ada lagi jual beli job untuk teman-teman PMI,” tuturnya prihatin.
Berprestasi di bidang tarik suara, raih 17 piala di Taiwan
Saat ditanya CNA mengenai bakat menyanyinya, Nita menuturkan bahwa potensinya menurun dari sang ayah. Sejak tinggal di Indonesia, ia sudah kerap kali menyanyi. Kariernya tak hanya sebagai pekerja kantoran, melainkan juga sebagai penyanyi kafe atau biduan di acara pernikahan.
“Saat datang ke Taiwan, saya sendiri yang mencari kesempatan seperti perlombaan menyanyi. Awalnya saya mencoba mengikuti beberapa lomba skala untuk PMI, dan mendapat juara 2 dan ikut lagi tahun depannya mendapat juara 1,” ungkap Nita yang akrab dipanggil dengan sapaan Musicta.
“Tak hanya itu saja, saya juga mencoba ikut lomba menyanyi skala umum eh ternyata juara 1. Setelah itu banyak koneksi kenalan dari teman-teman orang Taiwan yang memperkenalkan saya dengan lomba lain. Saya juga pernah mengikuti suatu acara besar lomba menyanyi di Taoyuan,” tutur Nita.
“Awalnya penyaringan finalis dilakukan dengan cara menyanyi online, kemudian terpilih menjadi perwakilan untuk distrik. Bagi yang mendapat juara 1, 2, 3 diberi kesempatan untuk mengikuti final di pusatnya di Kota Taoyuan bersaing dengan pemenang lomba di distrik yang lain se-Taiwan,” ungkapnya.
“Finalis pada saat itu ada sekitar 120 orang dan saat itu saya satu-satunya orang asing. Saya tak menyangka akhirnya dapat juara juara 1,” ujar Nita yang berkuliah di Ming Chuan University Shilin Taipei.
Ia pun menuturkan bahwa total perlombaan yang ia menangkan ada sekitar 17 lomba, 14 di antaranya juara 1 dan sisanya juara 2 atau 3.
Sebagai pelajar yang rindu aktif membela hak-hak PMI
Kepada CNA, Nita mengungkapkan keinginannya untuk datang kembali ke Taiwan sebagai pelajar.
Sebelumnya ia tidak ada rencana, hanya saja menargetkan harus menyelesaikan kontrak satu kali saja dan kembali ke Indonesia.
Namun, saat ia mengikuti beberapa kontes menyanyi dan bertemu banyak teman-teman orang Taiwan, mereka menganjurkannya untuk kuliah lagi di Taiwan. Dari situlah impian tersebut dimulai.
“Lima bulan sebelum kontrak saya habis, saya cari-cari tahu sendiri lewat internet bagaimana cara kuliah di sini, kemudian saya mencari informasi dari teman-teman yang juga kuliah di sini,” ungkap Nita.
Sebelum memutuskan datang ke Taiwan lagi, ia harus menghitung perencanaan biaya-biaya yang akan dikeluarkan nanti saat datang kembali menjadi pelajar. Ia juga mengatakan bahwa memiliki tabungan yang cukup, adalah kunci untuk melaksanakan rencana tersebut.
“Sebagai pelajar, saya juga diizinkan untuk kerja part time di sini, tetapi hanya terbatas selama 20 jam seminggu,” tambahnya.
Ketika ditanya mengenai pesan-pesannya bagi teman-teman PMI, Nita menyemangati rekan-rekan PMI untuk tetap bekerja dengan giat dan sabar. Apapun impiannya, jika ada niat pasti ada jalan terbuka, ungkap Nita yang pernah mengisi penampilan di acara Pesta Rakyat KDEI bulan Agustus lalu.
“Saat melihat demo yang di dekat kantor CNA, hati saya terharu melihat usaha teman-teman PMI yang memperjuangkan hak-haknya. Nah, jika kita ingin mendapat keadilan, saya pikir kita bisa berjuang bersama-sama yah.” Telaahnya.
Nita yang pernah punya pengalaman sebagai PMI sektor formal yang bekerja di pabrik, merasakan bahwa hak-haknya seperti cuti, libur, gaji yang sesuai standar sudah terpenuhi, tetapi melihat teman-teman sektor informal seperti PRT dan perawat orang tua hatinya sedih, tutur Nita.
“Banyak terjadi eksploitasi bagi rekan-rekan informal. Saya mendukung teman-teman organisasi atau aktivis yang membela hak-hak pekerja migran sektor informal, kalau bisa saya juga ada keinginan untuk gabung dengan organisasi tersebut,” ungkapnya.
Nita berkomentar bahwa teman-teman PMI di Taiwan juga turut menyumbang perekonomian di Taiwan.
“Dengan hadirnya teman-teman PMI, bukan sebagai beban bagi Taiwan melainkan penyumbang ekonomi juga, bahkan membantu perputaran ekonomi di Taiwan. Namun banyak di antara mereka yang mendapat eksploitasi dan diskriminasi. Saya berpesan agar teman-teman tetap semangat, sabar, dan mengingat tujuan awal bekerja di Taiwan,” tutup Nita mengakhiri wawancara.
Selesai/JC