Taipei, 31 Okt. (CNA) Kebijakan terbaru Yuan Eksekutif (Kabinet Taiwan) untuk mengizinkan lebih banyak pekerja migran dengan syarat tertentu guna mengatasi kekurangan sumber daya manusia lokal telah dikritik kelompok buruh, yang mempertanyakan apakah program ini akan membantu mengatasi upah rendah dan kendala sistemik yang dihadapi.
Dengan mengutip tantangan demografis -- tingkat kelahiran yang rendah, populasi menua, dan kekurangan tenaga kerja terampil -- Kabinet pada Kamis (30/10) menyetujui serangkaian peraturan yang memungkinkan produsen untuk mempekerjakan pekerja migran tambahan di luar kuota yang ada, serta mengizinkan sektor perhotelan dan pelabuhan untuk merekrut pekerja migran.
Untuk mempekerjakan satu pekerja migran tambahan di luar kuota tetap yang dialokasikan untuk sebuah usaha, pemberi kerja harus menaikkan gaji bulanan karyawan lokal sebesar NT$2.000 (Rp1,083 juta) dan menjaga jumlah perekrutan tersebut di bawah 10 persen dari total tenaga kerja mereka, menurut rencana yang diusulkan Kementerian Ketenagakerjaan (MOL).
Juga termasuk dalam rencana ini adalah penghapusan aturan yang saat ini memungkinkan pemberi kerja mempertahankan hingga 25 persen pekerja migran mereka sebagai Pekerja Teknis Tingkat Menengah (PTTM), sambil tetap mempertahankan batas maksimum jumlah pekerja asing tidak lebih dari 50 persen dari total tenaga kerja perusahaan.
Menanggapi rencana tersebut, Sekretaris Jenderal Taiwan Labor Front Yang Shu-wei (楊書瑋) mengatakan pemerintah seharusnya menilai situasi dan penyebab kekurangan tenaga kerja yang sebenarnya, bukan sekadar melonggarkan pembatasan perekrutan pekerja asing.
"Apakah industri benar-benar menghadapi kekurangan tenaga kerja, atau hanya karena pemberi kerja mencari tenaga kerja yang lebih murah?" kata Yang dalam wawancara telepon dengan CNA.
Mengingat pekerja migran biasanya dibayar upah minimum NT$28.590 -- tidak termasuk pengasuh yang tinggal di tempat kerja yang tidak tercakup dalam Undang-Undang Standar Ketenagakerjaan -- mengizinkan lebih banyak perekrutan pekerja migran sementara hanya menaikkan gaji pekerja lokal akan menghasilkan kesenjangan upah yang lebih besar untuk pekerjaan yang sama hanya berdasarkan kebangsaan, kata Yang.
Yang juga menyoroti bahwa jumlah pekerja migran di Taiwan telah tumbuh pesat sejak pandemi COVID-19, melampaui 850.000 pada akhir September -- meningkat 110.000 dari dua tahun lalu -- namun pemerintah belum menetapkan batas perekrutan tahunan seperti yang diwajibkan dalam Undang-Undang Layanan Ketenagakerjaan.
Secara terpisah, Grace Huang (黃姿華), sekretaris jenderal Domestic Caretaker Union yang berbasis di Taoyuan, mengatakan rencana Kabinet untuk mencabut batas 25 persen bagi pemberi kerja dalam mengklasifikasikan ulang pekerja migran sebagai PTTM tidak akan memberikan manfaat yang berarti bagi mereka.
Menurut data MOL, 22.283 pekerja migran di sektor manufaktur dan konstruksi telah diklasifikasikan ulang sebagai PTTM, mewakili 4,15 persen pekerja migran di sektor tersebut, sementara 33.413 perawat diklasifikasikan ulang, yang merupakan 14,88 persen pekerja migran di sektor keperawatan.
"Proporsi pekerja migran yang diklasifikasikan ulang sebagai terampil tingkat menengah sangat rendah karena pemberi kerja masih enggan membayar upah lebih tinggi, terutama karena mereka masih bisa merekrut pekerja migran dengan upah lebih rendah," kata Huang.
Jika industri tidak membutuhkan proporsi lebih tinggi dari PTTM, tidak jelas mengapa pemerintah mengusulkan kebijakan ini, tambahnya.
Dalam siaran pers pada hari Kamis, Migrants Empowerment Network in Taiwan menyebut kebijakan re-klasifikasi pekerja sebagai PTTM sebagai penipuan atas nama perbaikan kondisi kerja yang menutupi masalah upah rendah dan kendala sistemik yang telah lama dihadapi pekerja migran.
Salah satu kendala sistemik adalah pekerja migran tidak dapat dengan bebas berganti pemberi kerja kecuali dalam keadaan tertentu yang diizinkan MOL, yang meningkatkan kerentanan mereka terhadap eksploitasi, kata Huang.
Ia mencatat bahwa persetujuan Kabinet atas langkah-langkah ini mungkin didorong tekanan dari industri yang ingin merekrut lebih banyak pekerja migran.
Selain itu, Kabinet telah menyetujui rencana untuk mendirikan pusat rekrutmen di negara asal pekerja migran, dengan tujuan memperkuat perekrutan langsung pekerja melalui perjanjian antarpemerintah.
Huang mengatakan kebijakan ini kemungkinan merupakan respons terhadap kritik Amerika Serikat terkait kerja paksa, dengan mengutip Giant Manufacturing Co. Ltd., yang produksi di Taiwannya diblokir bea cukai AS karena kekhawatiran kerja paksa, termasuk biaya agensi tenaga kerja berlebihan yang dibebankan kepada pekerja migran.
Ia mendesak pemerintah untuk menetapkan target yang jelas untuk program ini, bukan sekadar menjadikannya pengumuman simbolis.
Selesai/JC