Taipei, 25 Okt. (CNA) Lembaga pengawas pemerintah Taiwan telah mengkritik Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Penghu dan Kementerian Ketenagakerjaan (MOL) atas sebuah kasus pada 2022 di mana tiga anak buah kapal (ABK) migran Indonesia mengalami kekerasan dari majikannya dan, setelah berpindah kerja, dituntut ganti rugi.
Anggota Yuan Kontrol Wang Mei-yu (王美玉) dan Wang Yu-ling (王幼玲) dalam rilis pers hari Jumat (24/10) menyatakan bahwa pada Desember 2022, tiga ABK migran Indonesia mengadukan majikan mereka berulang kali melakukan kekerasan fisik, sehingga mereka memilih meninggalkan kapal demi menyelamatkan diri.
Sang majikan kemudian setuju tanpa syarat untuk membiarkan ketiganya berpindah ke pemberi kerja lain, namun pada Maret 2023 menuduh mereka melakukan mogok kerja tanpa alasan yang sah, menurut anggota Yuan Kontrol.
Ia pun mengklaim hal ini menyebabkan kapal tidak bisa melaut pada musim ikan tenggiri, sehingga mengalami kerugian bisnis, dan menuntut ganti rugi NT$80.000 (Rp43 juta) untuk masing-masing orang, menurut para anggota.
Menurut anggota Yuan Kontrol, kasus ini akhirnya dimediasi Pengadilan Perburuhan Pengadilan Distrik Kaohsiung, dan ketiga ABK tersebut diwajibkan membayar kompensasi sebesar NT$50.000 per orang kepada majikan.
"Saya dipukul dan ditendang majikan, tetapi justru saya yang harus membayar ganti rugi kepada dia," keluh ABK dikutip rilis pers.
Berdasarkan hasil penyelidikan, menurut anggota Yuan Kontrol, hampir semua ABK yang pernah dipekerjakan majikan tersebut pernah menghubungi saluran siaga 1955 MOL untuk melaporkan kekerasan dengan pola yang serupa, menunjukkan bahwa tindakan itu bukan kejadian tunggal.
Namun, setiap kasus selalu ditutup dengan alasan majikan telah mengizinkan pekerja pindah kerja, sementara pemberi kerja tersebut tetap diizinkan mempekerjakan ABK baru, dan tindakan kekerasan terus berulang tanpa ada penindakan efektif, menurut anggota Yuan Kontrol.
Majikan itu juga kerap melanggar ketentuan ketenagakerjaan dan perikanan, termasuk tidak mendaftarkan asuransi tenaga kerja, tidak melaporkan perubahan awak kapal, serta tetap membawa ABK melaut setelah masa kontrak resmi berakhir, namun ia tidak pernah ditindak atas itu, kata anggota Yuan Kontrol.
Atas kasus ini, kata anggota Yuan Kontrol, mereka menilai Pemkab Penghu lalai karena gagal menjalankan kewajiban verifikasi saat menerima pengaduan, seiring ketiga ABK tersebut malah digugat dan kalah di pengadilan setelah melaporkan kekerasan.
Pemkab Penghu selama ini sering menutup kasus dengan alasan kurang bukti atau karena pekerja sudah mendapat penampungan, tanpa menyelidiki kebenaran dan melakukan pengawasan yang memadai, sehingga kekerasan terus berulang, kata anggota Yuan Kontrol.
Sementara itu, kata anggota lembaga pengawas pemerintah Taiwan tersebut, MOL juga lalai seiring mekanisme pengawasan dan pemeriksaan gagal berfungsi.
Layanan pengaduan 1955 MOL memiliki kelemahan sistemik dalam pencatatan, identifikasi risiko, dan penerusan informasi, sehingga kondisi sulit para pekerja migran sering diabaikan dan perlindungan menjadi sekadar formalitas, menurut anggota Yuan Kontrol.
Karena itu, kata Yuan Kontrol, mereka telah memberikan teguran resmi kepada Pemkab Penghu dan MOL, dengan perintah untuk meninjau dan memperbaiki kekurangan mereka.
Selain itu, hasil investigasi juga menemukan bahwa meskipun majikan mengklaim kapal tidak bisa melaut karena mogok kerja, ternyata kapal tersebut tetap beroperasi dan bahkan mengajukan permohonan subsidi kompensasi masa tidak melaut.
Oleh karena itu, laporan kasus ini juga ditembuskan ke Direktorat Jenderal Perikanan, serta kepada Yuan Yudikatif dan Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia di Taipei untuk dijadikan referensi.
(Oleh Lai Yu-chen dan Jason Cahyadi)
Selesai/IF