Oleh Zachary Lee dan Jason Cahyadi, reporter dan penulis staf CNA
Ketua Umum (Ketum) World Federation of Taiwan Alumni Associations (WFOTAA) asal Indonesia, Ijoh Du Long, menyarankan pemerintah Taiwan untuk memanfaatkan sumber daya asosiasi alumni di luar negeri dan menjadikan asosiasi tersebut sebagai sarana Kebijakan Baru ke Arah Selatan (NSP).
Lulusan National Taiwan University tersebut, yang akan mengakhiri masa jabatannya setelah WFOTAA mengadakan pemilihan ketum baru di Bali baru-baru ini, mengatakan ke depannya ia juga akan terus membantu promosi pendidikan Taiwan dan perekrutan mahasiswa untuk perguruan tinggi di negara tersebut.
Baca juga: Asosiasi alumni Taiwan dunia adakan pemilihan ketum baru di Bali
Ijoh, ketum periode ke-12 WFOTAA sekaligus ketum periode ke-9 Ikatan Citra Alumni Taiwan se-Indonesia (ICATI), baru-baru ini memberikan wawancara eksklusif kepada CNA, di mana ia membagikan pengalamannya selama menjabat.
Ia menjelaskan bahwa ICATI setiap tahunnya menyelenggarakan Pameran Pendidikan Taiwan Indonesia untuk mempromosikan pendidikan Taiwan kepada orang tua dan siswa di Indonesia.
Dalam beberapa tahun terakhir, ujar Ijoh, ia juga berupaya memperluas skala asosiasi alumni dengan mendirikan sejumlah cabang alumni universitas.
Menurutnya, sebelumnya terdapat sepuluh cabang regional dan sembilan cabang alumni universitas di bawah ICATI. Dalam tiga tahun terakhir, jumlah cabang alumni universitas meningkat menjadi 15.
"Banyak universitas Taiwan berharap dapat mendirikan cabang alumni di Indonesia," ujarnya.
Ijoh menekankan bahwa pendidikan tinggi Taiwan memiliki banyak keunggulan, dengan sebagian besar mahasiswa Indonesia yang belajar di sana mendapatkan peluang kerja yang baik setelah kembali ke negaranya.
"Utamanya karena mereka bisa berbahasa Mandarin, di (sektor industri) Indonesia sangat dibutuhkan orang yang mengerti Mandarin, yang dapat berkomunikasi (dalam Mandarin)," menurutnya.
Ijoh juga menyarankan agar siswa Indonesia memperkuat kemampuan bahasa Inggris mereka sejak SMA sebelum melanjutkan studi ke Taiwan. Dengan demikian, ditambah kemampuan berbahasa Mandarin, menurutnya, mereka akan lebih mudah mendapatkan pekerjaan di Indonesia.
Di sisi lain, Ijoh juga menyoroti masalah yang pernah terjadi, di mana ada mahasiswa Indonesia yang malah dijadikan pekerja saat datang ke Taiwan. Menurutnya, hal ini membuat beberapa orang tua dan siswa merasa tertipu.
Ia menyerukan agar universitas lebih transparan dalam perekrutan dan menjelaskan kurikulum secara detail, terutama jika program tersebut termasuk magang di pabrik, bukan hanya mata kuliah akademis.
Mengenai hubungan Taiwan dan Indonesia, Ijoh percaya bahwa prospek pengembangan Indonesia sangat baik, dengan pertumbuhan ekonomi yang stabil.
Oleh karena itu, menurutnya, Taiwan dan Indonesia dapat meningkatkan interaksi secara lebih aktif di berbagai bidang.
Ia juga menyarankan pemerintah Taiwan untuk memanfaatkan sumber daya asosiasi alumni guna mempererat hubungan kedua negara. Sebagai contoh, “Dalam Kebijakan Baru ke Arah Selatan, pemerintah Taiwan seharusnya memanfaatkan alumni Taiwan.”
Karena para alumni ini memahami budaya Taiwan dengan baik, menurut Ijoh, mereka dapat menjadi jembatan, yang tidak hanya di bidang pendidikan, tetapi juga di sektor perdagangan dan industri.
Sebagai pengusaha di bidang baja, ia mencatat bahwa untuk melindungi sumber daya alamnya, Indonesia mulai mengurangi ekspor bahan mentah dan meningkatkan pengembangan industri di hilir.
Langkah ini membuka peluang besar bagi usaha kecil dan menengah Taiwan di Indonesia, menurut Ijoh.
Ia juga mencatat bahwa pemerintah Indonesia menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen dalam lima tahun mendatang, yang memerlukan banyak investasi asing.
Untuk itu, Ijoh menyarankan agar usaha kecil dan menengah di Taiwan yang bergerak di industri manufaktur mempertimbangkan untuk berkembang di Indonesia.
Ia juga menyarankan generasi muda Taiwan yang ingin melanjutkan bisnis keluarga atau memulai usaha baru agar mempertimbangkan Indonesia.
Namun, ia tidak merekomendasikan bekerja di perusahaan lokal Indonesia, mengingat rata-rata gaji yang relatif lebih rendah.
Ijoh juga menekankan pentingnya sumber daya kuat dari asosiasi alumni Taiwan di luar negeri, dan mendorong pemerintah serta perusahaan Taiwan untuk memperkuat koneksi dengan asosiasi ini.
"Bagi usaha kecil Taiwan yang ingin berkembang ke luar negeri, jendela terbaik adalah asosiasi alumni Taiwan, karena kami memiliki sistem organisasi yang baik, serta sumber daya dan jaringan yang luas," ujarnya.
Selesai/IF