ANALISIS /Pakar: WNI dan pemerintah RI harus cermati situasi Taiwan di tengah latihan militer Tiongkok

30/12/2025 21:15(Diperbaharui 30/12/2025 22:15)

Untuk mengaktivasi layanantext-to-speech, mohon setujui kebijakan privasi di bawah ini terlebih dahulu

Taipei, 30 Des. (CNA) Latihan militer Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) Tiongkok di sekitar Taiwan dalam dua hari terakhir perlu dicermati baik oleh warga negara Indonesia (WNI) di Taiwan maupun oleh pemerintah Republik Indonesia (RI), kata dua pakar hubungan internasional asal Indonesia yang berbasis di Taipei pada Selasa (30/12).

PLA hari Senin mengumumkan latihan gabungan di sekitar Taiwan, dengan sandi "Misi Keadilan 2025", sebagai "Peringatan keras kepada kekuatan separatis 'kemerdekaan Taiwan'." Komando Palagan Timur PLA juga mengumumkan latihan tembakan langsung di perairan dan wilayah udara sekitar Taiwan pada Selasa.

Mengomentari ini, Ismah Rustam, dosen dan pakar hubungan internasional di Universitas Mataram, kepada CNA mengatakan pengiriman buku Panduan Keamanan Publik Nasional Taiwan yang telah diperbarui dalam bahasa Mandarin dan Inggris oleh pemerintah Taiwan beberapa waktu lalu sudah menjadi sinyal bagaimana masyarakat, baik lokal maupun pendatang, harus meningkatkan ketahanan.

"Artinya ini berarti perlu untuk dibaca oleh semua warga baik lokal dan pendatang. Menurut saya ini sudah sesuai dengan prosedur di mana kita perlu meningkatkan kewaspadaan semua masyarakat," kata kandidat doktoral dari National Cheng Chi University (NCCU) tersebut.

"Selama ini Taiwan sudah mengedukasi warganya untuk mempersiapkan bencana alam misalnya mitigasi gempa, sehingga penting juga untuk mengedukasi dalam kesiapsiagaan agresi militer," kata Ismah.

Namun, kesiapsiagaan ini tentu bukan hanya untuk mereka yang tinggal di Taiwan, termasuk banyaknya warga negara Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), mengingat posisi strategis Taiwan bagi kawasan, misalnya wilayahnya yang dekat dengan sejumlah anggota ASEAN.

Oleh karena itu, Ismah menilai, ASEAN, khususnya Indonesia, perlu responsif terhadap setiap peristiwa yang terjadi di Taiwan. Menurutnya, Jakarta sendiri punya peran yang strategis sebagai mediator dengan prinsip politik luar negeri yang bebas aktif dimaknai sebagai posisi netral. 

Hal ini penting mengingat latihan "Misi Keadilan 2025" disebut tidak hanya untuk memperingatkan "gerakan kemerdekaan Taiwan", tetapi juga pihak luar yang dianggap campur tangan, "Karena sebelumnya ada berita Amerika Serikat (AS) menjual senjata kepada Taiwan dan pernyataan terkait Taiwan dari Perdana Menteri Jepang yang baru," ujarnya.

"Maka Indonesia sebagai negara netral yang enggak ada kepentingan strategis mestinya bisa memainkan peran misal memfasilitasi dialog melalui mekanisme ASEAN tadi ... Ditambah lagi, Indonesia juga adalah mitra dagang yang penting bagi Tiongkok dan Taiwan," ujarnya.

Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi pada November mengatakan serangan Tiongkok terhadap Taiwan akan menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup Jepang dan dapat membenarkan respons militer dari Tokyo. Sementara itu, pemerintahan Presiden AS Donald Trump pada 17 Desember mengumumkan penjualan senjata senilai $11,1 miliar (Rp5,94 triliun) ke Taiwan, paket terbesar di sepanjang sejarah.

Ismah Rustam, pakar hubungan internasional dari Universitas Mataram, Indonesia. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)
Ismah Rustam, pakar hubungan internasional dari Universitas Mataram, Indonesia. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)

Ismah juga mengatakan ia optimistis ASEAN adalah satu kekuatan kawasan yang paling stabil saat ini, seiring meski ada friksi internal di dalamnya, para anggota organisasi tersebut adalah pihak-pihak yang bisa menjaga stabilitas kawasan dan bekerja sama dengan baik pada negara mana pun. 

Ia juga mengatakan dirinya yakin pihak pemerintah RI di Taiwan -- yang diwakili Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI) di Taipei -- telah berusaha membangun komunikasi dengan rekanan, dengan representasi pemerintah negara-negara Asia Tenggara di Taipei dan menyiapkan strategi mitigasi untuk masyarakat.

"Mungkin kita bisa tunggu ya nanti langkah-langkah dari pemerintah kita. Dan sebagai WNI pun perlu saling dukung dan tetap tenang. Jika mempunyai informasi atau pertanyaan apapun berkaitan dengan keamanan WNI kita bisa kontak KDEI Taipei sebagai representasi pemerintah Indonesia di Taiwan serta tidak menyebarkan berita-berita hoaks tentunya ya," kata Ismah.

Sementara itu, Aswin Lin, peneliti pascadoktoral asal Indonesia di Taiwan Foundation for Democracy, mengatakan kepada CNA bahwa WNI di Taiwan tidak boleh lengah di tengah diluncurkannya latihan militer Tiongkok.

"Misalkan dari KDEI, [kalau ada] imbauan lapor diri, ya lapor diri," agar tidak mempersulit situasi jika terjadi skenario terburuk, tambahnya.

Di sisi lain, kata Aswin, KDEI harus meningkatkan kewaspadaan WNI di Taiwan, "Karena politik di Taiwan sangat tidak stabil. Kita tidak tahu apa yang terjadi sampai 2028," pemilihan presiden dan legislatif berikutnya.

KDEI seharusnya juga memberikan rekomendasi ke Jakarta tentang apa saja yang diperlukan untuk evakuasi, yang harus dilakukan bukan hanya ketika terjadi invasi, melainkan juga blokade dan karantina, kata Aswin. Hal ini diperlukan agar pemerintah RI bisa melakukan persiapan secara preventif, ujarnya.

"Seiring berjalannya waktu, kita enggak tahu kapan seseorang membuat keputusan yang bisa membuat setiap orang di kawasan berada dalam situasi berat," kata lulusan doktoral dari NCCU tersebut.

Ia juga mengatakan KDEI sebaiknya melakukan sensus termutakhir WNI di Taiwan, dan menyebarkan informasi tentang bagaimana mekanismenya jika terjadi situasi krisis.

Di sisi lain, dalam menengahi konflik Taipei dan Beijing, menurut Aswin, pemerintah RI akan cukup sulit bergerak karena Indonesia sudah bergabung dalam organisasi BRICS dan punya banyak kepentingan, termasuk sedari pemerintahan-pemerintahan terdahulu.

Isu Taiwan juga bisa membuat hubungan Jakarta dan Beijing runyam, sehingga cara maksimum yang bisa dilakukan pemerintah RI adalah memberi imbauan agar persoalan diselesaikan dengan damai, ujarnya.

Aswin juga mengatakan latihan militer ini tidak mengagetkan, karena Tiongkok akan mersespons keras apa pun yang dianggap melanggar masalah internalnya, termasuk akuisisi senjata terbaru AS serta pernyataan Takaichi, "Di mana Jepang sampai detik ini belum ada permintaan maaf yang, dalam tanda kutip, tulus."

Ditambah lagi, kata Aswin, Tiongkok punya aspirasi geopolitik tersendiri, yang membuat mereka merasa tidak cukup untuk melakukan latihan gabungan di Laut Bohai -- perpanjangan paling barat laut dan terdalam dari Laut Kuning di pantai timur Tiongkok.

Latihan militer, yang juga menjadi cara melatih disiplin dan kesiapan seiring PLA tidak pernah berperang sejak 1979, akan menjadi sebuah kenormalan baru karena Tiongkok sangat tegas terhadap isu Taiwan, kata Aswin.

Secara khusus, kata Aswin, hal ini akan terus berlanjut selama Presiden Lai Ching-te (賴清德) belum menghilangkan "label pejuang kemerdekaan", di mana latihan akan menjadi "instrumen hukuman", menurutnya.

Taiwan sendiri harus memastikan kesiapannya, mulai dari kualitas wajib militer hingga kualitas pengadaan, seperti anggaran yang digunakan secara bijaksana, tambahnya.

(Oleh Muhammad Irfan dan Jason Cahyadi)

Selesai/

How mattresses could solve hunger
0:00
/
0:00
Kami menghargai privasi Anda.
Fokus Taiwan (CNA) menggunakan teknologi pelacakan untuk memberikan pengalaman membaca yang lebih baik, namun juga menghormati privasi pembaca. Klik di sini untuk mengetahui lebih lanjut tentang kebijakan privasi Fokus Taiwan. Jika Anda menutup tautan ini, berarti Anda setuju dengan kebijakan ini.
Diterjemahkan oleh AI, disunting oleh editor Indonesia profesional.