WAWANCARA /PBHI tentang metode advokasi, solidaritas penegakan HAM Asia, dan peran diaspora

14/12/2025 18:13(Diperbaharui 14/12/2025 18:13)

Untuk mengaktivasi layanantext-to-speech, mohon setujui kebijakan privasi di bawah ini terlebih dahulu

Ketua PBHI, Julius Ibrani (kiri) berbincang dengan CNA di Taipei, pekan lalu. (Sumber foto: CNA)
Ketua PBHI, Julius Ibrani (kiri) berbincang dengan CNA di Taipei, pekan lalu. (Sumber foto: CNA)

Oleh Muhammad Irfan, staf reporter CNA

Julius Ibrani lantang menyebut bahwa penghargaan yang organisasinya dapat di Asia Democracy and Human Rights Award 2025 di Taipei, Rabu (10/12) adalah penghargaan milik semua korban dan pejuang Hak Asasi Manusia (HAM) yang berani, bukan hanya milik Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) saja, penghargaan yang harus dibayar dengan penguatan advokasi, peningkatan pelindungan, dan lebih lantang berbicara dengan perspektif korban.

“Ketika pertama kali dapat email, tentu kami senang sekali. Tetapi setelah itu, kami sadar bahwa ini artinya kami harus berbuat lebih banyak, lebih punya banyak energi, dan lebih bisa mengekspansi kerja kita untuk advokasi karena kepercayaan yang diberikan melalui penghargaan ini,” kata Julius, Ketua PBHI yang menerima penghargaan tersebut dari Taiwan Foundation of Democracy, dalam wawancara khusus dengan CNA, Kamis (11/12).

Lulusan Hukum Universitas Indonesia yang telah bekerja hampir dua dekade di bidang advokasi publik ini menyebut di tengah tantangan demokrasi dan ruang publik yang makin menyempit belakangan, para advokat publik harus memikirkan sejumlah metode baru yang bisa melampaui zaman. Di PBHI, kata Julius, pihaknya sadar untuk tidak melakukan apa yang telah kelompok lain lakukan dalam advokasi melainkan mencari bentuk lain agar dukungan hukum untuk publik yang dicederai haknya memiliki lebih banyak jalan.

“Advokasi harus dicari bentuk lain agar lebih punya banyak senjata untuk satu tujuan advokasi daripada bergerak di isu yang sama, tapi masing-masing. Selain itu kami lihat ada banyak yang tidak di-cover,” ucap dia. 

Hal ini salah satunya dengan mengembangkan narasi yang mungkin terkesan tidak arus utama tetapi mampu menyentuh sisi humanis, dekat dengan wacana publik, dan punya keterikatan dengan masyarakat, kata Julius.

Ia mengambil satu contoh saat PBHI dengan sejumlah lembaga bantuan hukum dan swadaya masyarakat lain di Indonesia mendampingi kasus Septia Dwi Pertiwi, buruh perempuan yang dikriminalisasi dengan menggunakan UU No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pada akhir 2024 lalu.

Menurut Julius, kala itu, tim kuasa hukum menggarisbawahi hak dasar Septia yang dicederai karena proses tuntutan tersebut yakni hak dia untuk menikah yang saat itu rencana pernikahannya hampir gagal, dan kebutuhan Septia untuk segera memiliki momongan setelah menikah. Pada Januari 2025, Septia dinyatakan lepas dari semua tuntutan.

“Dan ini ternyata memengaruhi polisi, jaksanya juga, dan hakim. Kami engage ke kelompok perempuan, ke kelompok buruh (untuk mengawal narasi tersebut). Di Indonesia, (Septia) dituntut karena pencemaran nama baik, yang mana memang ada Undang Undangnya. Tetapi kami tidak bisa cuma ribut di UU itu,” kata Julius.

Kreasi bersama

Ketua PBHI, Julius Ibrani dalam forum Taiwan Foundation of Democracy di Taipei. (Sumber foto: CNA)
Ketua PBHI, Julius Ibrani dalam forum Taiwan Foundation of Democracy di Taipei. (Sumber foto: CNA)

Selain itu, Julius juga menekankan pentingnya metode kreasi bersama dengan pembuat kebijakan. Ia menilai, selama 10 tahun gerakan advokasi publik dengan pendekatan yang kontra dengan pembuat kebijakan kerap kali menjauhkan para aktivis dengan informasi dari dalam yang sejatinya mereka butuhkan. 

Oleh karena itu, pendekatan yang Julius sebut sebagai ko-kreasi ini dianggap relevan dan efektif mendorong terjadinya kebijakan bantuan hukum, perubahan kebijakan internal di TNI-Polri, hingga restorative justice di Kejaksaan. 

“Tetapi konsekuensinya, ketika kita sedang melobi let it be inside the forum, jadi melakukan pendekatan resistance. Karena seringkali di Indonesia ini masih budaya personal, padahal kita bicara kebijakan,” ucap dia.

Kendati demikian, Julius mafhum, pendekatan ko-kreasi rentan dengan “pembajakan” yang dilakukan otoritas untuk menjauhkan aktivis dengan gerakannya. Hal ini, kata Julius ia rasakan saat pemerintahan Presiden Joko Widodo di mana banyak aktivis yang masuk ke lingkaran Istana untuk mengisi tim-tim di Paket Kebijakan yang diinisiasi rezim presiden RI ketujuh itu.

Namun di tengah proses, Julius sadar kalau masuknya sejumlah aktivis ke ring satu pemerintahan menciptakan kesenjangan antara realitas yang terjadi di lapangan dengan kebijakan “yang diperjuangkan dari dalam”. Dan ini, sambung Julius, adalah cara bagaimana otoritas "menjinakkan" aktivis dengan menciptakan kelompok elit baru.

“Ya ini adalah salah satu cara untuk mematikan gerakan masyarakat sipil. Ambil kepala NGO-nya yang butuh panggung lebih dengan batik yang nyaman, beri SK, dan ini adalah sebuah kemewahan. Beberapa orang kemudian sudah enggak di lapangan, tidak speak up pada isu-isu sensitif dan ketika, “lu bicara di luar, gue di dalam”, this is the gap!,” kata Julius.

Oleh karena itu sebagai pengingat untuk PBHI, Julius berupaya untuk terus berkomitmen jika fungsi penegakan hukum dan pelindungan HAM harus tetap jadi fokus siapapun delegasinya. 

“Sebagai manusia biasa, saya harus bilang itu sangat menggoda. Tetapi (godaan) itu akan putus, hapus ketika kita terus bergandengan tangan dengan korban, melihat dan mendengarkan korban, dan terus bersama jejaring (aktivis HAM),” kata Julius.

Solidaritas global dan peran diaspora

Ketua PBHI, Julius Ibrani (kanan) dalam forum Taiwan Foundation of Democracy di Taipei, akhir pekan lalu. (Sumber foto: CNA)
Ketua PBHI, Julius Ibrani (kanan) dalam forum Taiwan Foundation of Democracy di Taipei, akhir pekan lalu. (Sumber foto: CNA)

Julius menilai perjuangan membersamai korban pelanggaran HAM dan penegakan demokrasi tidak lepas dari solidaritas regional bahkan global. Kesadaran tersebut, kata Julius, muncul pada dirinya, utamanya pada tahun 2012-2013 saat Indonesia kebanjiran pengungsi dari Myanmar kala Junta Militer di negara Asia Tenggara tersebut mulai bergerak melakukan represi pada etnis Rohingya.

Saat itu, ia dan jaringan advokasi publik di Indonesia mulai menganalisis isu pengungsi ini dan menemukan bahwa masuknya pengungsi Myanmar ke Indonesia karena ada dukungan dari Australia yang mencegah para pengungsi ini masuk ke wilayah benua Kanguru itu. Padahal, kata Julius, Australia punya tanggung jawaban konstitusional karena sudah meratifikasi konvensi tentang pelindungan pengungsi.

“Tetapi seolah mereka bikin tembok dengan membiayai imigrasi dan lain sebagainya. Advokasi ini tidak hanya bisa dilakukan oleh Indonesia tapi harus bekerja sama dengan pihak-pihak luar yang bisa memengaruhi kebijakan. Sejak saat itu kami menemukan metode advokasi baru dengan mencari siapa pihak di luar negeri yang bisa bekerja sama di bidang advokasi ini,” kata Julius.

Terkait dengan peran diaspora, Julius beranggapan bahwa pemuda Indonesia yang ada di luar negeri juga bisa jadi pusat dari gerakan sosial untuk penjadi resonan isu yang terjadi di Indonesia di luar negeri dan menjadi wakil untuk berjejaring dengan organisasi lokal di masing-masing negara. 

“Ini yang kami sampaikan bahwa setiap individu harus jadi simpul pemicu. Kalau enggak ada yang memicu enggak ada movement itu. Memang tidak mudah, tapi ini yang harus kita create. Makanya kalau mereka bisa jadi pemicu gerakan sosial di luar negeri, ketika mengalami ancaman jadi ada satu mekanisme perlindungan dan advokasi yang sama dengan di Jakarta,” ucap dia.

Selesai/JA

How mattresses could solve hunger
0:00
/
0:00
Kami menghargai privasi Anda.
Fokus Taiwan (CNA) menggunakan teknologi pelacakan untuk memberikan pengalaman membaca yang lebih baik, namun juga menghormati privasi pembaca. Klik di sini untuk mengetahui lebih lanjut tentang kebijakan privasi Fokus Taiwan. Jika Anda menutup tautan ini, berarti Anda setuju dengan kebijakan ini.
Diterjemahkan oleh AI, disunting oleh editor Indonesia profesional.