Taipei, 24 Sep. (CNA) Proses revisi Undang-Undang (UU) Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) harus melibatkan pekerja migran, keluarga, serikat pekerja, dan seluruh pemangku kepentingan, agar setiap pasal benar-benar mencerminkan kebutuhan di lapangan, kata Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menanggapi masuknya amandemen UU tersebut ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2026.
SBMI menyebut revisi UU PPMI adalah momentum krusial dalam membangun tata kelola migrasi yang adil, transparan, dan bebas dari praktik eksploitatif untuk mengukuhkan dan memperkuat perlindungan bagi jutaan pekerja migran Indonesia (PMI) sesuai standar hak asasi manusia (HAM) internasional, bukan justru melemahkan.
"Pelindungan wajib dijamin dan diberikan secara komprehensif kepada setiap PMI dan anggota keluarganya, mencakup pelindungan atas hak-hak sipil dan politik, ekonomi, sosial, dan budaya," kata SBMI.
Oleh karena itu, masukan dari berbagai pihak harus didengar dan dijadikan landasan keputusan, sehingga revisi ini bisa menjadi titik balik yang menutup celah impunitas, memperkuat perlindungan, dan menegaskan keberpihakan negara kepada PMI, kata SBMI.
Beberapa hal yang jadi fokus jaringan di antaranya adalah biaya penempatan yang selama ini kerap menjadi titik eksploitasi karena tidak transparan dan menimbulkan potensi pemungutan berlebihan.
Untuk itu, revisi UU PPMI perlu memastikan bahwa biaya penempatan, khususnya untuk kebutuhan pribadi Calon PMI (CPMI) diatur secara jelas dan ketat agar tidak menjadi celah praktik pembebanan yang tidak adil, kata SBMI.
"Prinsip keberpihakan kepada pekerja migran harus ditegaskan, dengan perlindungan eksplisit dari praktik biaya berlebihan," kata serikat tersebut.
Pemerintah harus memastikan pemberian pelatihan atau vokasi gratis kepada CPMI agar memastikan tidak adanya pemungutan berlebihan, kata SBMI, seraya menuntut diciptakannya mekanisme penuntutan ganti rugi yang mudah diakses PMI dan keluarganya.
Jaringan juga mendesak agar norma pelindungan bagi pembela hak PMI sesuai dengan standar pembela HAM dimasukkan secara eksplisit dalam revisi UU PPMI.
Lain dari itu penggunaan diksi "pengampunan" terhadap PMI nonprosedural yang mengemuka dalam rancangan revisi UU ini menimbulkan masalah serius yang memberi kesan seolah-olah yang bersangkutan melakukan kesalahan dan harus "diampuni", kata jaringan.
Menurut SBMI, diksi yang digunakan untuk tujuan pendataan ini tidak hanya menstigmatisasi PMI, tetapi juga berpotensi memberi pemakluman kepada pihak-pihak yang justru memberangkatkan pekerja migran secara nonprosedural.
Dengan demikian, istilah yang digunakan harus merefleksikan pendekatan pelindungan dan keadilan, bukan pendekatan yang menyalahkan pekerja migran, kata SBMI.
Poin berikutnya adalah rencana dibentuknya Badan Layanan Umum (BLU) Penempatan yang harus jelas peran, fungsi, dan akuntabilitasnya dalam proses penempatan untuk mencegah potensi penyalahgunaan dan memastikan pelayanan yang transparan dan berpihak kepada PMI dan keluarganya.
"Kami menolak ketentuan pengampunan. Karena, bisa menjadi celah bagi impunitas pelaku kejahatan terhadap PMI. Pendistribusian informasi peluang kerja, fasilitasi perselisihan/ advokasi/ bantuan hukum, dan potensi pengampunan/amnesti yang diberikan kepada Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) harus dikaji ulang untuk memastikan tidak ada konflik kepentingan dan tetap mengedepankan hak dan pelindungan PMI serta keluarganya," tegas SBMI.
SBMI melanjutkan, Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) wajib mendiskusikan sejumlah ketentuan dalam rancangan UU PPMI yang berpotensi menimbulkan ambiguitas, diantaranya pengaturan mengenai pekerjaan dengan ketentuan tertentu seperti praktik pemagangan.
Soalnya, pemagangan kerap dijadikan kedok atas perekrutan pekerja dengan upah murah dan disalahgunakan dengan mengabaikan hak-hak pekerja yang justru mempraktikkan perbudakan modern, kata SBMI.
Meskipun pemagang adalah pekerja, pemagangan bukan masuk dalam kategori "pekerja" sehingga menjadi keluar dari kategori pekerja migran sebagaimana diatur dalam Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (ICRMW), kata SBMI.
"Kami mendesak DPR dan Pemerintah untuk memastikan bahwa setiap perubahan yang dilakukan bertujuan untuk mengukuhkan perlindungan. Jaringan Advokasi Kawal Revisi UU PPMI menyoroti urgensi untuk mempertahankan dan memperkuat norma-norma pelindungan yang sudah ada dan baik," kata SBMI.
"Maka, penting untuk memastikan akses terhadap keadilan, jaminan sosial, dan proses reintegrasi yang aman dan bermartabat, serta memastikan layanan bagi kesejahteraan PMI dan keluarganya yang transparan dan akuntabel," kata SBMI.
Selesai/JC