Oleh Mira Luxita, staf reporter CNA
Organisasi Pantura (Pantai Utara Jawa) bukan hanya sebutan untuk singkatan nama daerah saja, organisasi orang Indonesia di Taiwan yang sudah aktif selama 15 tahun ini kerap aktif menyumbangkan dana untuk membangun masjid di setiap kabupaten di Jawa Barat. Selain itu, Pantura juga dikenal membantu pekerja migran Indonesia (PMI) yang mempunyai masalah ketenagakerjaan ataupun yang sakit. Berikut wawancara CNA bersama kedua aktivis Pantura.
Pantura aktif membangun masjid di setiap kabupaten
Pantura, organisasi yang sudah aktif selama 15 tahun di Taiwan ini dipelopori salah satunya oleh Iwan. Pria yang akrab disapa dengan nama kang Sule ini menuturkan pada CNA bahwa dirinya sudah di Taiwan lebih dari 11 tahun, dan aktif di pantura selama delapan tahun. Lain lagi ceritanya dengan Ari Suparjo. Aktivis Pantura yang akrab dipanggil Parjo dari Subang, Jawa Barat, ini meski baru satu tahun di Pantura, tetapi telah banyak juga bergabung memberikan program – program positif untuk organisasi tersebut.
Kedua aktivis tersebut menuturkan bahwa terbentukanya Pantura berasal dari teman-teman yang nongkrong di stasiun dan toko-toko Indonesia, dan kebetulan semuanya berasal dari wilayah Pantura.
“Teman-teman yang nongkrong di sana yah diberi wadah untuk ditampung di suatu organisasi namanya Pantura,” ujar Kang Sule.
“Ada banyak program positif yang dihasilkan seperti membangun beberapa masjid di daerah Pantura di Cirebon, Indramayu dan Subang. Kami menargetkan ada satu musala di satu kabupaten yang dibangun Pantura,” Ujar Suparjo.
Selain itu, organisasi Pantura juga aktif membantu rekan-rekan PMI yang ada masalah seperti sakit, kecelakaan kerja dan bidang ketenagakerjaan. Untuk bidang ketenagakerjaan, mereka juga banyak membantu PMI yang mempunyai masalah dengan pasien, majikan dan agensi. Mereka mengaku dibantu oleh SBIPT, GANAS, SEBIMA dan TIWA.
Saat ditanya hal apa yang paling berkesan saat membantu PMI yang sekarang masih diingat, Kang Sule menjabarkan bahwa dulu mereka pernah membantu PMI yang sakit hingga koma di ICU. Mereka pun menggalang dana untuk membantu biaya rumah sakit PMI hingga biaya kepulangan PMI tersebut, hingga pulang ke Indonesia.
“Kami juga sering memberi donasi untuk bencana alam di Indonesia. Penggalangan dana di tanah air terutama pada bulan Februari – Maret, sering terjadi bencana seperti Banjir, tanah longsor dan lain-lain karena cuaca hujan,” ujar Kang Sule.
Saat ditanya ada berapa orang yang tergabung di dalam Pantura, Parjo mengatakan bahwa sebenarnya ada 6 organisasi induk yang bersatu dengan Pantura. Dari 6 organisasi ini, menaungi banyak organisasi kecil atau organisasi kedaerahan yang lain. Secara tidak langsung mengkoordinir banyak organisasi ada sekitar ribuan PMI jumlahnya, menurut keterangan Parjo.
Kejadian perkelahian PMI di Taichung dan Chiayi
Kepala Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI) di Taipei, Arif Sulistiyo, Minggu (24/8) sore pernah melakukan pembinaan terhadap panitia penyelenggara sebuah kegiatan hiburan di Chiayi yang berujung ricuh, di mana ia menegaskan seluruh komunitas Indonesia di Taiwan tidak lagi boleh menggelar acara sejenis.
Pertemuan tersebut digelar tepat sepekan setelah insiden keributan dalam acara yang digagas komunitas pekerja migran Indonesia (PMI) Wiralodra pada 17 Agustus, yang ramai diberitakan di media sosial oleh para PMI di Taiwan, menurut rilis pers KDEI.
Menanggapi keributan yang kembali terjadi, Arif menekankan bahwa ke depannya seluruh organisasi atau komunitas Indonesia di Taiwan tidak lagi diperkenankan menyelenggarakan konser atau kegiatan hiburan seperti dangdutan.
Langkah ini diambil karena pertimbangan keamanan, mengingat peristiwa semacam itu berulang kali mencoreng nama baik Indonesia di Taiwan dan mengganggu ketertiban umum di Taiwan, kata Arif.
Arif juga mengingatkan bahwa pelaku perkelahian tidak akan luput dari sanksi pemulangan. Ia mencontohkan kasus lain di Taichung pada hari yang sama, dengan para PMI yang terlibat sedang diproses pemulangannya ke tanah air.
Baca berita sebelumnya https://indonesia.focustaiwan.tw/society/202508275011
Ditanya mengenai pendapatnya tentang kericuhan yang terjadi pada bulan lalu, aktivis Pantura ini menyesalkan terjadinya perkelahian.
“Harapan kami, pak Arif Kepala KDEI memberikan tindakan tegas ke depannya jika ada pelanggaran semacam ini lagi. Kejadian kemarin di Taichung juga terjadi di salah satu bar karena mabuk,” ujar Parjo.
“Kami sebenarnya sebagai aktivis yang sering juga mengadakan acara atau kegiatan di luar juga sering mengingatkan teman-teman PMI agar datang ke acara dengan tertib, tidak membawa minuman keras dan menghindari perkelahian. Kami menghimbau saat acara dan juga melalui brosur-brosur dan media sosial yang ada. Namun tetap saja perkelahian itu ada,” sambut Kang Sule.
Parjo juga menegaskan bahwa dalam hal itu wajar jika pak Arif memberikan ketegasan seperti ancaman deportasi dan hukuman pidana.
“Mudah-mudahan ke depannya tidak ada lagi. Bapak Kepala KDEI mengeluarkan ketegasan seperti itu karena sudah sering terjadi. Jika sering ada kejadian seperti ini, orang Taiwan akan berpikir masyarakat Indonesia sering membuat rusuh. Meskipun orang Indonesia terkenal sebagai orang yang rajin dalam bekerja, tetapi kelakuan negatifnya itu loh yang sering dibawa ke Taiwan, akan merusak citra kita,” sambung Parjo.
“Semua itu kembali pada diri kita masing-masing. Kalau ada acara dan melihat teman-teman yang minum atau mabuk-mabukan, kita juga harus mengontrol diri kita agar tidak terpengaruh dengan keadaan sekitar,” tanggap Kang Sule.
Terlalu banyak acara PMI, bagaimana menurut aktivis?
Saat ditanya mengenai komentar netizen mengenai banyaknya acara yang diselenggarakan oleh organisasi-organisasi di Taiwan, Pantura menyikapinya dengan berpikir positif bahwa kegiatan tersebut untuk menghibur PMI.
“Kalau sekarang itu kembali lagi pada kita yah. Terlalu banyak juga organisasi yang ingin mengadakan acara sendiri-sendiri. Jadi saya minta pada KDEI untuk bisa memberikan izin yang lebih diperketat lagi, misalkan yang mau mengadakan acara harus izin KDEI terlebih dahulu, jadi seperti itu agar meminimalisir kejadian perkelahian,” tegas Parjo.
Untuk menanggulangi keributan antar PMI, selain menghimbau dengan memberikan peringatan pada brosur-brosur online dan juga media sosial, saat acara juga diperingatkan untuk tidak membawa atribut atau bendera-bendara milik organisasi. Selain itu juga berkoordinasi dengan kepolisian setempat untuk menjaga keamanan sekitar 4-5 polisi taiwan yang berjaga-jaga, menurut keterangan Kang Sule.
“Sebelum masuk tempat acara juga dilakukan pengecekan untuk tidak boleh membawa miras. Namun kadang-kadang juga terlewatkan, banyak yang kebobolan banyak juga yang membawa miras,” ungkapnya.
“Kalau saya melihat, banyak beban pikiran di pekerjaan dan masalah keluarga dari rekan-rekan PMI, yang akhirnya dibawa hingga acara. Tolong hargai teman-teman yang mengadakan acara. Besar biaya yang digunakan untuk mengadakan acara minimal NT$500.000 (Rp272,675,280) itu uang hasil urunan teman-teman PMI juga jadi yah tolong hargai. Kelebihan biaya juga untuk disumbangkan,” kata Parjo.
Keduanya pun berpesan agar para PMI tetap menjaga kemanan dan tidak melakukan perkelahian dan keributan, jika ingin acara hiburan tetap ada.
“Jangan bikin keributan. Hargai para panitia yang telah meluangkan waktu, tenaga, materi, pikiran untuk persiapan membuat acara. Persiapannya itu lama loh, ada 4-6 bulan. Hargailah penyelenggara atau panitia agar ke depannya lebih lancar lagi kalau mau mengadakan acara,” ungkap Kang Sule.
“Tujuan organisasi untuk mengadakan acara itu untuk menghibur. Jangan merusaknya dengan urusan pribadi ke acara organisasi. Kami panitia capek loh setelah acara bersihkan sampah-sampah dan lain sebagainya. Ya itu sih sudah resiko tidak apa-apa, tetapi jangan mencoreng kepercayaan orang Taiwan dengan perilaku negatif,” ujar Parjo mengakhiri wawancara.
Selesai/IF