Oleh Mira Luxita, reporter staf CNA
Nasib nahas menimpa seorang pekerja migran Indonesia (PMI) setelah ia melakukan siaran langsung di media sosialnya bersama salah satu pemengaruh (influencer) yang berdomisili di Indonesia. Agensi menggugatnya atas dugaan pencemaran nama baik, setelah ia menuduh mereka menelantarkannya pasca kecelakaan, ujar Fajar, ketua Gabungan Tenaga Kerja Bersolidaritas (GANAS) kepada CNA.
Kejadian bermula pada akhir 2024 lalu, ketika PMI yang bekerja di sektor perawat orang tua di salah satu kota wilayah Taiwan utara ini mengalami kecelakaan saat ia membeli makanan. Sebuah mobil menabraknya dan ia dilarikan di rumah sakit untuk menjalani perawatan.
Parahnya, kondisi PMI tersebut tidak memungkinkan berjalan seperti orang normal, bahkan ia harus mendapat bantuan untuk mengeluarkan air kencing dengan selang, menurut keterangan Fajar.
Setelah diperbolehkan pulang, ia tidak mau kembali ke rumah majikannya, dengan alasan ingin tinggal bersama pacarnya dan dirawat di rumah kontrakan sang kekasih.
Ia melaporkan hal tersebut pada agensinya, yang kemudian memintanya menandatangani surat pernyataan bahwa ia tak mau tinggal di tempat agensi maupun rumah majikan, dan dengan keinginan sendiri meminta tinggal di luar.
Selang beberapa waktu setelah dirawat, PMI tersebut melakukan kontak dengan seorang pemengaruh di Indonesia untuk melakukan siaran langsung bersama, di mana ia menyindir bahwa agensinya menelantarkannya dan tidak bertanggung jawab. Padahal, agensinya turut membantu memperpanjang Asuransi Kesehatan Nasional (NHI) miliknya agar dapat dipakai untuk berobat, tutur Fajar.
Tak terima dengan pernyataan PMI tersebut, sang agensinya pun menggugatnya ke pengadilan atas tuntutan pencemaran nama baik. “Si PMI ini kemudian menghubungi kami dan meminta pendampingan GANAS. Kami pun membantu semaksimal mungkin,” ujar Fajar.
Di tengah penyelidikan, pihak pengadilan sempat menyelidiki bahwa PMI yang bersangkutan ternyata telah mendapat sejumlah uang sekitar NT$50.000 (Rp27,3 juta) dari berbagai organisasi perkumpulan orang Indonesia untuk membantu pengobatannya.
Pihak pengadilan kemudian meminta agar ia dapat menghubungi orang-orang yang memberinya uang itu sebagai saksi di pengadilan bahwa ia memang sakit dan memerlukan uang donasi, kata Fajar.
“Saya sudah menghubungi orang-orang yang memberikan bantuan untuk jadi saksi, tetapi mereka semua menolaknya,” ujar Fajar.
Namun, Fajar dan organisasinya tetap mendampinginya di pengadilan. PMI tersebut dinyatakan bersalah. Pengacara yang diminta Fajar dan kawan-kawan organisasi membantunya meminta naik banding, namun PMI tersebut tetap diputuskan bersalah. Fajar tetap mengajukan naik banding.
“Singkat cerita, dikarenakan kita sering minta naik banding, mungkin agensinya merasa kerepotan sehingga mereka mencabut tuntutannya, alhamdulilah,” ujar Fajar.
PMI tersebut diserahkan kepada shelter (rumah singgah) Hsinchu Migrants and Immigrants Service Center (HMISC) untuk tinggal di sana sementara dicarikan majikan baru.
Beberapa waktu kemudian, PMI tersebut sudah mendapatkan majikan baru di Kota Hsinchu. Ia menjaga seorang lansia. Namun, beberapa bulan kemudian, Fajar mendengar kabar dari majikannya yang melapor pada HMISC bahwa PMI tersebut kabur.
“Sebelum kabur, kepada majikan ia minta pulang ke Indonesia dengan alasan ingin menikah. Majikan tidak setuju mengingat ada kontrak kerja yang harus dipatuhi. Selang beberapa hari ia kabur, hingga saat ini, kami tak tahu dia ada dimana sekarang,” ujar Fajar.
Dari kasus ini, Fajar berpesan agar PMI harus memahami aturan ketenagakerjaan, sehingga tidak mengambil jalur pintas dengan mempublikasikan masalahnya di sosial media bahkan melakukan siaran langsung. Fajar menilai bahwa hal tersebut bukanlah penyelesaian, melainkan menambah masalah.
“Maka kami himbau agar kawan-kawan jika bermasalah, konsultasilah ke pihak yang mengetahui hukum dengan baik yang memang bertujuan prioritas dan murni untuk hak pekerja migran, bukan hanya untuk konten semata,” tegasnya menambahkan.
Selesai/JC