Oleh Mira Luxita, reporter staf CNA
Sempat ramai di beranda media sosial, akun @king_uyakuya mengunggah ucapan terima kasih kepada berbagai pihak atas bantuan penggalangan dana untuk jenazah Eka Fitri, Pekerja Migran Indonesia Overstay (PMIO) dari Taiwan yang baru dipulangkan ke Banyuwangi, Indonesia pada 14 Desember lalu.
Fajar, Ketua GANAS Community pernah menyampaikan rilis persnya kepada CNA, mengatakan bahwa ia tergelitik dengan pernyataan pemilik akun, Surya Utama (Uya Kuya), yang mengatakan pemulangan jenazah PMIO dengan bantuan dana pemerintah itu "Bohong besar."
Ia mengungkapkan bahwa GANAS Community sudah beberapa kali mengawal pemulangan jenazah PMIO juga dari Taiwan.
Awalnya, Bidang Pelindungan warga Negara Indonesia (PWNI) memang meminta biaya tersebut ke keluarga, yang kemudian melapor melalui organisasi kedaerahan atau informasi dari PMI perseorangan dan GANAS lanjutkan ke Pemerintah RI dalam hal ini Kementerian Luar Negeri (Kemlu) melalui jaringan organisasinya, ujarnya.
Untuk mendapatkan jawaban mengenai perihal biaya pemulangan jenazah bagi PMI nonprosedural atau PMIO, CNA melakukan wawancara eksklusif bersama Direktur Pelindungan Warga Negara Indonesia (WNI) Kemlu RI, Judha Nugraha, pada Rabu 3 Februari di Jakarta.
Judha mengungkapkan bahwa cara penanganan PMIO yang meninggal dunia sama dengan PMI resmi, di mana langkah pertamanya adalah mencari siapa pihak yang bertanggung jawab.
Namun, ujarnya, semua data PMI resmi tercatat, sehingga lebih mudah untuk menghubungi pihak majikan atau agensinya, dan mereka memiliki asuransi dan sebagainya.
Sementara itu, kata Judha, penanganan PMI nonprosedural atau PMIO akan jauh lebih lama dan rumit karena pihaknya dan perwakilan RI sulit untuk mencari data dan siapa penanggung jawabnya.
“Kita harus pahami, bahwa menjadi PMI nonprosedural atau PMIO itu ada resikonya. Nah, menjadi pekerja ilegal itu bukan dipaksa. Memang ada kasus yang pekerja ilegal, dikarenakan kasus TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang). Namun ada juga yang secara sadar memang ingin melanggar. Misal, sudah tahu kontrak kerjanya habis, tidak mau kembali pulang malah sengaja jadi pekerja overstay,” ujarnya.
Untuk menjawab pertanyaan apakah pengiriman jenazah WNI bisa dibiayai negara, Judha mengungkapkan bahwa hal tersebut harus sesuai dalam konteks yang mengacu pada prinsip.
“Dalam mengeluarkan anggaran Rp1 itu adalah uang negara, bukan milik pribadi, jadi kami harus pertanggungjawabkan,” ujar Judha.
“Kalau kami salah prosedur, nanti kami yang akan ditanya. Aturannya kami harus mencari siapa yang bertanggung jawab dulu,” ungkap Judha yang pernah bertugas di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kuala Lumpur.
“Kalau kami tiba-tiba harus menjamin semua pekerja atau PMIO atau WNI nonprosedural dibiayai oleh negara, kita yang nantinya akan bermasalah karena harus mempertanggungjawabkan setiap pengeluaran negara,” tambahnya.
Judha menekankan bahwa negara tidak membeda-bedakan dan tetap memberikan pelindungan, tetapi WNI nonprosedural atau PMIO akan sulit dibantu, karena status mereka sudah tidak terlindungi secara hukum di negara setempat.
Ia juga mencatat bahwa anggaran pemerintah memiliki batasan, dan mengatakan beberapa PMI resmi pernah mengutarakan kepada pihaknya bahwa mereka sudah mengikuti aturan tetapi tidak mendapat pelindungan, sementara yang nonprosedural dilindungi.
“Kita harus melihat konteks yang resmi juga, jangan sampai ada ungkapan bahwa justru yang melanggar hukum malah mendapat perlakuan yang istimewa,” ungkap Judha
Jumlah WNI yang meninggal di luar negeri banyak, dan mayoritas meninggal karena sakit bukan karena menjadi korban kekerasan, catatnya.
“Sebagai contoh, saya pernah bekerja di KBRI Kuala Lumpur. Dalam setahun, anggaran untuk kepulangan jenazah hanya 50 orang saja, tetapi jumlah WNI yang meninggal di wilayah Kuala Lumpur dan sekitarnya saja sekitar 1.000 orang. Nah, kita harus memiliki prioritas,” ia mengatakan.
“Prioritas untuk korban TPPO karena sudah tertulis dalam UU nomor 21 tahun 2007 kasus korban TPPO dibiayai oleh negara. Kedua, korban kriminal di negara penempatan. Meskipun jika WNI tersebut nonprosedural atau PMIO, tetap akan kami carikan anggaran, karena ini korban prioritas,” jelasnya.
Bagi WNI nonprosedural atau PMIO yang bukan termasuk korban prioritas, Judha mendorong warga negara untuk bergotong royong. Menurutnya, pelindungan bukan hanya tanggung jawab pemerintah, melainkan kewajiban bersama.
“Jika ada donasi atau donatur yang mau sama-sama membantu, ayo silakan, selama tidak ada embel-embel atau kepentingan lain di belakangnya,” ungkap Judha.
Ia mencontohkan bahwa penggalangan donasi tersebut tidak hanya terjadi di Taiwan saja, melainkan di negara-negara penempatan lainnya seperti Korea, Jepang, hingga Kamboja.
Perwakilan RI di negera penempatan tetap membantu, tetapi hanya hal-hal yang berkaitan dengan biaya penyimpanan jenazah di rumah sakit, dokumen-dokumen yang diperlukan, tidak seluruhnya biaya ditanggung negara, kata Judha mencontohkan.
“Misalnya yang terjadi di Kamboja. Ada WNI nonprosedural yang meninggal karena sakit, bukan akibat kasus TPPO atau kriminalitas. Nah biaya pemulangan jenazah itu dari keluarganya. Perwakilan RI hanya membiayai kebutuhan lokal seperti biaya penyimpanan jenazah di rumah sakit,” ujarnya.
“Jika yang meninggal WNI nonprosedural karena sakit, bukan menjadi korban, ketika ada yang membantu ya kita tidak bisa melarang. Kalau mau membantu silahkan, dan ini tidak perlu diperdebatkan di masyarakat,” ungkapnya mengakhiri wawancara.
Selesai/JC