Taipei, 26 Okt. (CNA) Seruan dukungan untuk Palestina dan pekerja migran turut bergema di parade LGBT+ di Taipei pada Sabtu (25/10) dan pawai transgender sehari sebelumnya yang secara total dihadiri ratusan ribu orang, dengan peserta mengatakan kebebasan semua orang turut terancam selama ada penindasan di mana pun.
Selama kegiatan, diteriakkan slogan "Dukung Palestina, dukung transgender, dukung hak gender; bersatu, terhubung, dan beragam" hingga "Merdeka, merdeka, Palestina; tolak, tolak, genosida," sementara sejumlah bendera Palestina dan spanduk yang mendukung mereka dibentangkan.
National Taiwan University (NTU) Labor Club, salah satu peserta kegiatan Jumat dan Sabtu, dalam sebuah unggahan media sosial menyerukan kepada masyarakat untuk memberi perhatian terhadap situasi golongan yang tertindas, termasuk komunitas transgender, rakyat Palestina, pekerja migran, dan kelompok hak-hak gender.
"Karena di mana pun ada penindasan, kebebasan kita semua ikut terancam," kata NTU Labor. "Transgender, komunitas LGBTQ+, perempuan, rakyat Palestina, dan semua yang tertindas harus saling bersolidaritas untuk memperjuangkan kebebasan dan martabat bersama, bukannya saling dipisahkan atau terpecah belah."
Hanya ketika semua komunitas beragam bersatu dan beraliansi, kata kelompok mahasiswa tersebut, "Kekuatan perlawanan terbesar dapat tercipta."
Tidak hanya untuk Palestina, selama kegiatan, slogan dukungan kepada para pekerja migran di Taiwan juga turut terdengar, termasuk dari Migrante Taiwan, yang meneriakkan "Hak pekerja migran adalah hak manusia."
Dalam sebuah pernyataan, kelompok migran asal Filipina tersebut mengatakan, "Para pekerja migran LGBTQ+ masih menghadapi kesenjangan yang serius," seiring "Taiwan masih belum memiliki undang-undang antidiskriminasi yang komprehensif," terutama bagi tenaga kerja asing.
"Struktur ekonomi memperparah kerentanan ini," kata mereka, mencatat pekerja migran umumnya menerima upah minimum yang kemudian juga dipotong sejumlah biaya, seperti untuk agensi hingga asrama, sementara mereka harus menghadapi berbagai permasalahan hak ketenagakerjaan di tempat kerja.
"Kita perlu bersatu dalam perjuangan kita. Seiring Taiwan juga menghadapi tantangan dalam menegaskan kedaulatannya dan ancaman dari Tiongkok, penting bagi kita untuk berdiri bersama melawan seluruh kekuatan global yang korup. Hari ini, mari kita berbaris bukan hanya untuk kebebasan dan hak-hak kita sendiri, tetapi untuk pembebasan dan keadilan bagi semua," kata mereka.
Sekitar 150.000 orang menghadiri Taiwan Pride edisi ke-23 pada Sabtu, yang dimulai di luar Balai Kota Taipei dan mengarah ke dua rute melalui distrik Xinyi dan Da'an di ibu kota.
Dalam sebuah wawancara sebelum acara, Simon Tai (戴佑勳), ketua Taiwan Rainbow Civil Action Association, mengatakan kepada CNA bahwa tema tahun ini, "Melampaui Tautan: Lebih dari Klik", bertujuan untuk menyoroti bagaimana algoritma dan diskursus daring membentuk persepsi publik terhadap isu gender.
Tai mencatat bahwa selama setahun terakhir telah terjadi reaksi global yang berbau negatif terhadap keberagaman, kesetaraan, dan inklusi (DEI), dan ia berharap ketika orang-orang mendiskusikan isu LGBT+ secara daring, mereka dapat berusaha untuk benar-benar memahami perbedaan dan melampaui prasangka.
Peserta yang tetap hadir meski hujan termasuk peserta pertama kali Lady Gagita (32), seorang drag queen asal Filipina. Di partisipasi pertamanya ini, ia mengungkapkan perasaan senangnya melihat kostum warna-warni dan drag queen di mana-mana, memuji acara tersebut karena menunjukkan "Cinta yang tumpah-ruah."
Pada 2019, Taiwan melegalkan pernikahan sesama jenis, menjadi negara pertama di Asia yang melakukannya sekaligus menjadi tonggak sejarah yang dibanggakan banyak warganya, termasuk seorang teknisi teater, Ryu (啊攸) (30).
Terkait reaksi global terhadap DEI, Ryu, yang menuturkan kepada CNA bahwa ia biseksual, mengatakan mungkin ini saat yang tepat untuk menilai tingkat penerimaan publik, "Karena jika kita mendorong terlalu cepat dan memicu reaksi balik, itu bukan hasil yang ingin kita lihat."
Sebelumnya, pada Jumat malam, sekitar 3.000 orang berbaris di jalan-jalan Taipei pada Taiwan Trans March 2025 untuk menunjukkan dukungan bagi komunitas transgender, menurut penyelenggara, Taiwan Tongzhi (LGBTQ+) Hotline Association.
Dengan tema "Hancurkan Prasangka, Bersinarlah Keberagaman", pawai dimulai di Taman Peringatan Perdamaian 228, menuju ke barat mengelilingi sebagian distrik perbelanjaan Ximending dan kembali lagi ke taman.
Berbaris di bawah hujan yang turun sesekali, para peserta melambaikan bendera transgender dan pelangi, menyerukan kepada pemerintah Taiwan untuk menghapus persyaratan operasi wajib untuk mengubah penanda gender di Kartu Tanda Penduduk. Banyak juga yang meneriakkan bahwa transfobia harus menyingkir.
Po, seorang pria transgender dan relawan di Tongzhi Hotline, mengatakan kepada CNA bahwa pawai ini penting karena merupakan salah satu dari sedikit acara yang berpusat pada transgender, memungkinkan komunitas tersebut melihat banyak orang mendukung dan bersedia membela mereka, yang membantu minoritas merasa tidak sendirian.
June Chua, pendiri satu-satunya tempat penampungan LBTQ+ untuk komunitas transgender tunawisma dan individu dengan HIV positif di Singapura, mengatakan bahwa kelompok minoritas ini sering kali tersembunyi, karena mereka tidak merasa aman untuk mengungkapkan kebutuhan mereka.
Dalam pernyataan pers, Tongzhi Hotline mengatakan pawai Jumat sangat berarti pada 2025, di tengah kemunduran hak-hak transgender di seluruh dunia tahun ini.
(Oleh Sunny Lai, Wu Kuan-hsien, dan Jason Cahyadi)
Selesai/ML