Taipei, 1 Nov. (CNA) Perubahan situasi politik di Asia dalam beberapa tahun terakhir yang dianggap mengancam Hak Asasi Manusia (HAM) perlu direspons oleh Taiwan dengan menjalin kerjasama yang konkret dengan pembela HAM di kawasan Asia, Asia Citizen Future Week (ACFW2024) digagas sebagai forum yang bertujuan untuk mengonsolidasikan hubungan antara Taiwan dan masyarakat sipil Asia Tenggara.
Leah Lin, direktur Asia Citizen Future Association (ACFA) yang menggagas forum ini mengatakan lewat forum dan asosiasi ini, pihaknya berfokus pada pembangunan infrastruktur yang memfasilitasi kolaborasi antara masyarakat sipil di Taiwan dan Asia Tenggara.
Berbeda dengan organisasi internasional yang cenderung memberikan hibah mendesak jangka pendek dan bantuan relokasi individu, ACFA punya misi menghubungkan masyarakat sipil di antara Taiwan dan Asia Tenggara dan untuk mengembangkan kapasitas dan strategi untuk mempertahankan ruang sipil.
“Kami percaya bahwa dukungan yang diperlukan untuk dialog lintas masyarakat sipil dan hubungan yang teratur adalah yang menghasilkan pengetahuan dan tindakan untuk perlawanan, dan tindakan yang konstan membutuhkan ketahanan,” kata Lin.
Taiwan ambil bagian
Sebagai salah satu negara demokratis di Asia, Taiwan harus ambil bagian pada perubahan konstelasi politik di Asia yang membungkam ruang-ruang sipil tadi.
Bangkok dan Hong Kong, kata Lin, pernah menjadi pusat regional yang penting bagi organisasi masyarakat sipil di Asia Timur dan Tenggara di mana organisasi akar rumput, aktivis, yayasan internasional, dan organisasi nonpemerintah internasional (INGO) melakukan semua jenis advokasi, pelatihan, debat, jaringan, dan kolaborasi untuk berbagai isu di pusat-pusat ini.
Namun saat ini, publik masih berduka atas pertumpahan darah dan krisis di Hong Kong danpada saat yang, Bangkok yang pernah dianggap sebagai ibu kota LSM Asia Tenggara, justru menjadi hutan belantara yang berbahaya bagi pencari suaka, pembela hak asasi manusia, pembangkang, dan LSM.
Prosesnya cepat dari tanda-tanda awal kemerosotan ruang sipil hingga penutupan totalnya.
“Kita telah melihat menjamurnya kontrol politik dan sosial, dengan pembenaran keamanan nasional, kesehatan publik, pembangunan, dan sebagainya, yang merasuki kehidupan kita sehari-hari yang membuat praktik hak asasi manusia menjadi mahal. Pelanggaran pidana berat tidak lagi hanya diperuntukkan bagi para pemimpin gerakan sosial terkemuka atau pembangkang politik, tetapi kelangsungan hidup organisasi masyarakat sipil (CSO) sendiri dipertaruhkan,” kata Lin.
Merespons hal ini, Lin menilai perlunya Taiwan memberikan dukungan yang diperlukan untuk kelangsungan hidup CSO untuk menghadapi kemerosotan ruang sipil regional. Dalam konteks Taiwan pihaknya telah melakukan sejumlah poyek penelitian di antaranya "Meneliti Aksesibilitas Taiwan bagi CSO dari Asia Tenggara" dan laporan penelitian "Menjelajahi Peran Taiwan di Tengah Krisis Penutupan Ruang Sipil di Asia Tenggara".
“Laporan ini juga merupakan respons kami terhadap pertanyaan mendesak: 'peran apa yang dapat dimainkan Taiwan di tengah krisis penutupan ruang sipil di Asia Tenggara?',” kata Lin.
Libatkan banyak aktivis HAM
Lin menambahkan, di tahun 2023 lalu, ACFA menyelenggarakan Pekan Masyarakat Sipil Taiwan dan Asia Tenggara. Dalam forum tatap muka satu hari itu, ACFA mengundang lebih dari 70 peserta dari 40 organisasi dan entitas yang terlibat untuk bertukar perspektif dan pengalaman dengan masyarakat sipil dan pemangku kepentingan di kawasan tersebut dan Taiwan untuk mengembangkan strategi dan menciptakan kolaborasi guna bersama-sama mempertahankan ruang sipil di kawasan tersebut.
Tahun ini, forum bertujuan untuk mengonsolidasikan hubungan antara Taiwan dan masyarakat sipil Asia Tenggara, serta membangun platform untuk meningkatkan dialog, pertukaran, dan mengembangkan kolaborasi serta strategi.
Selama forum pada tanggal 31 Oktober ini, sebuah laporan tentang hak atas kebebasan berserikat di Filipina, Malaysia, Indonesia, dan Thailand, yang dibuat oleh sebuah koalisi yang dikoordinasikan oleh ACFA dengan 9 CSO Asia Tenggara lainnya juga akan diluncurkan.
Dari Indonesia
Dalam forum satu hari itu, sejumlah aktivis dari Indonesia terlibat dalam berbagai panel. Rizky Fariza Affian, staf advokasi internasional Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) misalnya melaporkan kemunduran demokrasi Indonesia dan kebebasan sipil dalam 10 tahun terakhir imbas dari kepemimpinan yang hanya fokus pada pembangunan infrastruktur.
Sementara itu Fatia Maulidiyanti, Direktur FIDH (International Federation for Human Rights) memaparkan pengalamannya saat diperkarakan oleh Luhut Binsar Pandjaitan yang saat itu Menteri Koordinasi Bidang Kemaritiman dan Investasi Republik Indonesia atas kritik yang ia sampaikan bersama koleganya Haris Azhar. Fatia juga mencatat sejumlah masukan untuk Taiwan jika hendak menjadi tempat suaka bagi para pejuang HAM di Asia.
Sementara itu turut serta juga Ni Putu Candra Dewi dari Bumi Setara dan Yuyun Wahyuningrum dari ASEAN Parlementarians for Human Rights pada panel tentang dampak pemilu pada masyarakat dan ruang sipil.
Masih di forum yang sama, KontraS juga menggagas forum diskusi tentang kekerasan negara dan HAM di Asia Tenggara dan Taiwan dengan fokus pada isu hukuman mati. Pada forum ini hadir Alviani Sabilah dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan serta pembicara dari Taiwan dari Taiwan Association for Human Rights.
Semula acara ini dijadwalkan berlangsung tatap muka. Namun karena taifun, acara digelar secara daring.
Selesai/ ML