Oleh Teng Pei-ju dan Muhammad Irfan, reporter staf CNA
Setelah kelompok pertama tahanan politik dikirim ke Green Island pada Mei 1951, ribuan lainnya menyusul selama tiga dekade berikutnya, dipenjara di sebuah pos kecil di lepas pantai tenggara Taiwan.
Sama seperti mereka yang menghadapi Teror Putih di daratan Taiwan, para narapidana yang ditahan di Pusat Koreksi Kehidupan Baru pulau itu -- dan kemudian di Oasis Villa -- mengalami penyiksaan dan kerja paksa, di samping kondisi hidup yang keras dan serba kekurangan akibat keterbatasan alam.
Kompleks penjara di pulau seluas 15 kilometer persegi yang menghadap Samudra Pasifik itu merupakan tempat yang suram dan terisolasi, terputus dari pulau utama, meskipun namanya penuh harapan seperti "oasis" dan "kehidupan baru".
Pengasingan paksa -- baik secara spasial maupun psikologis -- yang dialami para tahanan politik di sana menjadi tema sentral Green Island Biennale 2025, yang diadakan di tempat yang sejak 2018 telah diubah menjadi taman peringatan yang terbuka untuk umum.
Namun, hukuman yang diberlakukan secara geografis itu bukanlah hal yang unik di sana.
Sepanjang sejarah modern, ini tetap menjadi alat kontrol otoriter yang berulang, membuang individu ke pinggiran masyarakat, namun tetap cukup dekat untuk menjadi peringatan keras bagi yang lain.
Pameran kali ini, menurut kurator utama Nobuo Takamori, melihat melampaui Taiwan untuk mengeksplorasi situs-situs pengasingan lain dan sejarah kelamnya seperti yang dilihat melalui mata para seniman dari Taiwan dan luar negeri.
Pulau-pulau keheningan
"You Betrayed the Party Just When You Should Have Helped It" adalah proyek oleh seniman Andreja Kulunčić tentang kamp tahanan yang ditinggalkan di Goli Otok -- yang dikenal dalam bahasa Inggris sebagai Naked Island -- di negara asalnya, Kroasia.
Lebih dari 800 wanita ditahan di Goli Otok, dituduh oleh rezim Josip Broz Tito memiliki hubungan dengan faksi-faksi yang bersekutu dengan Soviet di bawah Joseph Stalin, pada waktu yang hampir bersamaan dengan pengiriman tahanan politik ke Green Island pada 1950-an.
Penelitian ekstensif Kulunčić mengungkap perlakuan brutal terhadap wanita yang ditahan di Goli Otok, termasuk dipaksa mengangkut batu naik turun bukit berulang kali tanpa tujuan praktis -- sebuah latihan hukuman yang dirancang untuk melemahkan mereka secara fisik dan psikologis.
Pengalaman seperti itu mencerminkan pengalaman para tahanan Green Island, yang diperintahkan mengumpulkan batu karang untuk membangun tempat kurungan mereka sendiri.
Melalui video dan gambar, seniman Kroasia ini menghidupkan kembali percakapan yang telah lama dibungkam tentang para wanita di Goli Otok, di mana permukiman yang rusak itu tetap menjadi saksi penderitaan dan kenangan traumatis mereka.
Lanskap trauma
Pulau-pulau pinggiran yang pernah digunakan untuk memenjarakan pembangkang politik terus membawa jejak penderitaan lama setelah para tahanan pergi -- sebuah kehadiran yang membekas dan memikat seniman Taiwan Liu Yun-yi (劉芸怡).
Dalam karyanya, "Island Lexicon: Mapping Possible Paths for the Return of Absent Memories," Liu memadukan lanskap Green Island di Taiwan dan Côn Sơn di Vietnam, mempertemukan reruntuhan penjara dan lanskap yang diubah secara artifisial untuk membangkitkan masa lalu yang menghantui kedua pulau dan transformasinya seiring waktu.
Batas kabur antara kedua lokasi itu disengaja: mereka begitu terjalin dalam gambar dan patung Liu sehingga penonton hampir tidak bisa membedakan pulau mana yang mereka lihat.
Kedua pulau itu kini menjadi tujuan wisata populer, dikenal karena keindahan alam dan aktivitas airnya.
Green Island sendiri menyambut sekitar 40.000 pengunjung setiap bulan selama musim puncak -- 10 kali lipat jumlah penduduknya -- dan banyak dari mereka, mengenakan perlengkapan selam atau berkonvoi skuter, dengan santai melewati kompleks penjara lama di bawah terik matahari.
Namun di balik daya tarik pemandangan, dan meskipun ada upaya pelestarian di taman peringatan, sel-sel penjara tetap dipenuhi kesuraman dan nuansa angkernya tetap terasa bahkan di siang hari.
Penjara Côn Đảo di pulau Vietnam, tempat individu yang dianggap ancaman oleh penjajah Prancis dipenjara dan disiksa sejak 1860-an hingga abad ke-20, bahkan lebih suram, kata Liu.
"Kandang harimau" yang terkenal, dibangun oleh Prancis dan kemudian digunakan oleh pemerintah Vietnam Selatan yang didukung Barat untuk menjejalkan tahanan politik ke dalam sel-sel kecil, tetap menjadi pengingat mengerikan dari apa yang banyak digambarkan sebagai "Neraka di bumi".
Gema dari Pulau Hijau lain
Di seberang Selat Taiwan terdapat Green Island lain, atau Tsing Chau (青洲) dalam bahasa Kanton, di Hong Kong, tepat di lepas pantai barat laut Pulau Hong Kong, terlihat dengan mata telanjang.
Seniman Hong Kong Michelle Lee (李可穎) mengangkat sejarah pulau ini dalam karya instalasi videonya, "A Cold Wind Blows," untuk menggema Green Island Taiwan, mengeksplorasi keterasingan dan kesendirian mereka yang pernah ditahan di kedua pulau terpencil itu.
Selama dua dekade, mulai tahun 1970-an, Green Island-nya Hong Kong ini menampung dan menahan pengungsi Vietnam yang melarikan diri dari negara asal mereka dengan perahu karena alasan ekonomi dan politik di kamp terbuka dan kemudian tertutup.
Di salah satu sel kecil berlantai kayu di Oasis Villa yang dialihfungsikan sebagai ruang pameran untuk biennale, Lee membangun kerangka perahu yang disematkan dengan benda-benda, seperti penjepit selang yang digunakan narapidana di Green Island Taiwan untuk memotong buah dari pohon saat musim panas yang terik.
Detail-detail ini berbicara tentang ketahanan yang ditunjukkan oleh para tahanan politik Taiwan dan pengungsi perahu Vietnam saat mereka bertahan dengan segala keterbatasan.
Semangat seperti itu juga terlihat dalam karya seniman Indonesia Angga Cipta, "Gempa Langit (Skyquake)," sebuah karya multimedia yang berpusat pada penulis Indonesia Pramoedya Ananta Toer --yang juga pernah dipenjara di Green Island-nya Indonesia, Pulau Buru-- dan seniman Taiwan Ou Yang Wen (歐陽文).
Keduanya terus berkarya melalui tulisan dan fotografi sebagai bentuk perlawanan selama masa pemenjaraan mereka yang berlangsung selama satu dekade.
Bagi Takamori, kepala kurator biennale, menampilkan karya internasional adalah tentang membangun jembatan antara memori lokal dan wacana hak asasi manusia global.
Koneksi lintas batas ini juga membantu menceritakan sejarah Taiwan tentang Teror Putih -- periode represi politik di bawah pemerintahan otoriter Kuomintang (KMT) dari 1949 hingga 1992 -- kepada audiens asing maupun domestik.
"Seolah-olah kami menceritakan kisah negara lain," kata kurator itu, "tetapi pada kenyataannya, melalui kisah mereka, kami menceritakan kisah kami sendiri."
Pameran ini akan berlangsung hingga 21 September dan gratis untuk umum.
Selesai/ML