Taipei, 7 Des. (CNA) Serikat buruh migran Indonesia menuntut pemerintah Taiwan membuat perubahan radikal dalam kebijakan pekerja migran, terutama terkait batasan masa kerja, yang dianggap tidak hanya melanggengkan eksploitasi tetapi juga diskriminasi, disampaikan dalam pawai akbar dua tahunan di Taipei, Minggu (7/12).
Kepada CNA, ketua Serikat Buruh Industri Manufaktur (SEBIMA), Ignas mengatakan, pembatasan masa kerja 12 sampai 14 tahun bukan hanya sekadar angka tetapi tidak manusiawi karena membatasi potensi pekerja dan mengabaikan kontribusi mereka pada Taiwan.
Menurut Ignas, masa 12 tahun bukanlah masa yang sebentar bagi seorang manusia untuk bekerja. Namun, ketika secara sosial mereka sudah menyatu dengan lingkungan Taiwan dan berkiprah di Taiwan, hak bekerja mereka di usia potensial ini mesti dirampas lewat pembatasan masa kerja.
"Faktor sosial ini yang tidak mudah ditinggalkan. Selain dari itu, terkait jenjang karir, sudah banyak yang mahir dengan dunia pekerjaan yang dijalani. Kenapa harus selesai hanya karena batasan masa kerja?" kata Ignas.
Menurut Ignas, batasan masa kerja ini juga menjadi masalah lain yang dihadapi pekerja migran, di luar masalah laten yang sampai saat ini masih sering terjadi seperti masalah agensi.
Selain itu pembatasan ini juga menunjukkan diskriminasi pada pekerja kerah biru yang membuat jurang pemisah makin besar antara pekerja kerah putih dan kerah biru, menurutnya.
"Ibaratnya habis manis sepah dibuang. Ini mengusik rasa ketidakadilan yang kami rasakan. Oleh karena itu perlu perubahan radikal dari pemerintah Taiwan," kata Ignas.
PTTM tidak sama dengan izin tinggal permanen
Fajar, ketua Serikat Buruh Industri Perawatan Taiwan (SBIPT) menyebut pada kenyataannya banyak rumah tangga Taiwan yang membutuhkan pertolongan perawat migran. Di sisi lain, perawat migran juga banyak yang sudah memiliki keterampilan dan kesiapan mental bekerja sebagai perawat, ujarnya.
Namun, kata Fajar, untuk mengisi kebutuhan ini, alih-alih menghapus batasan masa kerja, pemerintah Taiwan malah membuat program Pekerja Teknis Tingkat Menengah (PTTM) yang dinilai SBIPT masih eksploitatif dan diskriminatif.
Menurut Fajar, kontrol PTTM ada di majikan, sehingga seberapa besar pun pekerja migran hendak melanjutkan kerja di Taiwan melalui PTTM, tanpa kuota dari pemberi kerja, hal ini mustahil terjadi.
Di sini, ucapnya, ruang eksploitasi baru terbuka misalnya lewat negosiasi dengan gaji di bawah standar PTTM yakni NT$24.000 (Rp12,7 juta) asalkan pekerja migran tersebut bisa meloloskan keinginannya tetap bekerja di Taiwan.
"Belum lagi ada praktik jual beli sertifikat yang mana jadi celah bisnis baru bagi agensi," kata Fajar.
Fajar juga mengkritisi imajinasi yang berkembang di kalangan pekerja migran kalau PTTM adalah program naik level yang memungkinkan pekerja migran bisa mendapat izin tinggal permanen (APRC) di Taiwan.
Padahal, APRC bagi warga negara asing syaratnya sangat ketat seperti harus punya gaji dua kali dari upah minimum Taiwan, kata Fajar.
Untuk diketahui, Kementerian Ketenagakerjaan (MOL) menentukan upah minimum di Taiwan tahun depan naik menjadi NT$29.500 (Rp15,694 juta) dari yang di tahun ini NT$28.590.
"Tetapi APRC mustahil bagi PTTM karena gaji PRT di bawah upah minimum Taiwan," kata Fajar, sehingga SBIPT meminta agar pemerintah Taiwan "Tidak membuang pekerja migran."
Menciptakan pekerja tak berdokumen
Sekretaris Jenderal Forum Silaturahmi Pelaut Indonesia Pingtung Migrant Fishermen Union (FOSPI-PMFU) Ahmad Muzakir mengatakan, adanya batas masa kerja menciptakan pekerja tak berdokumen yang memaksakan diri tetap tinggal di Taiwan untuk memenuhi kebutuhannya sedangkan masa kerja sudah habis.
Sementara, sambung Muzakir, program PTTM yang digaungkan oleh pemerintah Taiwan tidak hanya menjadi ladang bisnis baru bagi agensi tetapi juga menimbulkan kesenjangan di kapal antara pekerja yang sudah PTTM dengan pekerja migran asing reguler.
"Kadang dalam satu gadak kapal ini yang PTTM terkadang merasa orang lama, gaji besar, padahal yang dikerjakan sama. Ini memecah pekerja juga," kata Muzakir.
Selain itu, kontrol majikan dan agensi terkait PTTM juga rentan eksploitasi dan manipulasi, sehingga tujuan baik program ini yang dicanangkan pemerintah tidak sampai ke pekerja, ujarnya. "Jadi inilah hal yang kita tuntut. Tadinya hendak PTTM dengan baik, tetapi malah masih banyak pungutan di belakangnya," kata Muzakir.
Sementara itu, berdasarkan siaran pers dari Migrant Empowerment Network in Taiwan (MENT), sebanyak 850.000 pekerja migran kerah biru di Taiwan menopang pekerjaan-pekerjaan penting dalam kehidupan sehari-hari yang sering kali tidak mau atau tidak mampu dikerjakan pekerja lokal, karena upah yang rendah, jam kerja yang panjang, dan beban kerja yang berat.
Namun "masa kerja tanpa batas" yang dinikmati pekerja migran kerah putih tetap tidak bisa diakses pekerja kerah biru, kata MENT.
Pada 30 April 2022, pemerintah memperkenalkan program PTTM yang mengubah status PMI tidak lagi dikenai batas masa kerja.
Selain itu, berdasarkan "Program Peningkatan Tenaga Kerja Transnasional" yang baru diumumkan MOL, mulai 2026, batas maksimum PTTM di sektor manufaktur akan dinaikkan dari 25 persen menjadi 100 persen, kata MENT.
Secara terang-terangan, langkah-langkah ini dimaksudkan untuk mencegah Taiwan menjadi sebuah "pusat pelatihan" skala besar, di mana pekerja migran mengasah keterampilan dan pengalaman tetapi terpaksa pergi karena batas masa kerja, lalu diserap negara lain, kata MENT.
Namun, MENT menilai semua langkah itu dibangun di atas fondasi kebijakan PTTM yang sangat bermasalah karena sepenuhnya bergantung pada keputusan majikan, bukan merupakan hak yang melekat pada pekerja. Hal ini menempatkan pekerja migran kerah biru, yang ingin terus bekerja di Taiwan dalam posisi yang sangat pasif, kata MENT.
"Aksi hari ini adalah momen ketika pekerja migran di seluruh Taiwan berdiri bersama untuk bersuara dan mengatakan kepada MOL: hentikan kebijakan yang membingungkan dan saling bertentangan ini," kata jaringan tersebut.
"Menghapus batas masa kerja bagi pekerja migran kerah biru bukan hanya satu-satunya cara yang sungguh-sungguh dapat mempertahankan pekerja, tetapi juga cara untuk memperbaiki kebijakan diskriminatif dan mengembalikan hak-hak dasar perburuhan bagi pekerja migran kerah biru," kata MENT.
Tanggapan MoL
Kementerian Ketenagakerjaan (MoL) Taiwan menegaskan komitmennya untuk memperbaiki pelaksanaan kebijakan terkait pekerja migran, dengan menyoroti adanya sejumlah aspek yang masih perlu ditingkatkan. Dalam pernyataannya, kementerian menyebut akan terus memperbarui regulasi dan menyempurnakan mekanisme agar kebijakan retensi pekerja asing terampil benar-benar meningkatkan kondisi kerja buruh migran serta membantu mereka bertransisi ke sistem imigrasi tenaga terampil.
Upaya perbaikan ini berjalan seiring dengan berbagai program yang telah dilaksanakan pemerintah sejak 2022. Melalui “Program Retensi Jangka Panjang bagi Pekerja Asing Terampil,” pemerintah berupaya mencegah dampak negatif dari penghapusan batas masa kerja, terutama bagi buruh migran berpengalaman yang sebelumnya sulit mengubah status keimigrasian mereka. Hingga November 2025, tercatat 60.000 pekerja migran telah berhasil beralih menjadi pekerja asing terampil, kata MoL.
Pemerintah juga memperkuat layanan rekrut langsung guna mengurangi beban finansial buruh migran. Mulai 2026, titik layanan baru dengan penerjemah dwibahasa akan dibuka untuk meningkatkan kualitas layanan pencocokan dan perpindahan kerja, kata MoL.
Selain itu, “Program Penguatan Tenaga Kerja Transnasional” yang akan efektif mulai Januari 2026 bertujuan memperluas retensi pekerja migran berpengalaman. Salah satu langkah penting adalah peningkatan kuota transisi dari 25% menjadi 100% bagi buruh migran manufaktur, memberikan peluang lebih besar bagi mereka untuk terus bekerja dan berkembang di Taiwan, kata MoL.
Selesai/JC