Taipei, 3 Des. (CNA) Lima puluh pekerja migran Indonesia (PMI) terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh sebuah pabrik bakso di Taichung akibat kebijakan pengurangan karyawan, dengan sebagian besar dari mereka bekerja di bawah tiga tahun, bahkan ada yang baru tiba satu bulan di Taiwan, menurut rilis pers Gabungan Tenaga Kerja Bersolidaritas (GANAS).
Menurut pengakuan Fajar, ketua GANAS, fenomena PHK massal ini bukan kejadian tunggal. Sejak perang dagang Amerika Serikat–Tiongkok memicu kenaikan tarif impor, banyak pabrik menghadapi tekanan produksi dan mulai memangkas tenaga kerja, dan PMI menjadi pihak yang paling rentan terdampak, ujarnya.
Undang-Undang Standar Ketenagakerjaan Taiwan memungkinkan pemberi kerja memutus kontrak pekerja jika usaha mereka mengalami kerugian operasional atau penyusutan.
Menurut GANAS, beberapa orang yang terdampak dalam PHK tersebut melaporkan kasus mereka pada organisasi tersebut di kantor sekretariatnya di Taipei pada 15 November dan diterima oleh Fajar.
Pada keesokan harinya, kata GANAS, organisasi tersebut dan Serikat Buruh Industri Manufaktur (SEBIMA) melaporkan kasus ini ke Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI) di Taipei dan diterima Kadir, analis bidang ketenagakerjaannya.
Kepada CNA, Fajar mengatakan tuntutannya atas kasus ini adalah agar pemerintah dan Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) mencarikan pekerjaan baru bagi PMI yang di-PHK sebelum tiga tahun, serta untuk P3MI mengembalikan biaya penempatan berlebih (overcharging) kepada korban.
Fajar juga menuntut agar biaya mes tetap ditanggung majikan hingga PMI mendapatkan pekerjaan baru, dan membantu proses izin PMI agar tetap berlaku hingga empat bulan untuk proses pencarian kerja. Apabila PHK dilakukan, korban harus diberikan pesangon sesuai aturan yang berlaku, tambahnya.
"Kami sedang berjuang untuk mengusahakan pengembalian biaya overcharging PMI tersebut. Saat ini P3MI-nya sudah merespons, tetapi kami juga minta pertanggung agensi agar tidak membebani pada biaya mes. Bahkan sepeser pun tidak boleh ditarik dari PMI," ujar Fajar.
Saat dihubungi CNA, Kadir membenarkan pihak GANAS dan SEBIMA sudah melaporkan kasus tersebut padanya dan saat ini sedang dalam proses klarifikasi.
Sementara itu, Feri, salah PMI yang terkena PHK, menuturkan kepada CNA bahwa ia mulai bekerja di pabrik tersebut tanggal 1 Oktober, dan sudah diberhentikan pada akhir November lalu. Menurutnya, perusahaan hanya memberikan pesangon NT$4.700 (Rp2,488 juta), sementara ia sudah membayar biaya pekerjaan (job) ke P3MI sebesar Rp 87 juta.
Menurut Sistem Pensiun Ketenagakerjaan Lama Taiwan, pekerja migran berhak menerima pesangon sebesar hasil kali berapa tahun ia telah bekerja di badan usaha tersebut dengan gaji per bulannya.
Kasus lain pun dialami Hadi (nama samaran). Kepada CNA, ia mengatakan majikannya melakukan PHK kepada enam PMI yang bekerja di sektor konstruksi Chiayi.
Hadi mengatakan ia mulai bekerja pada Februari dan akan diberhentikan per 1 Januari mendatang oleh pemberi kerjanya yang mengklaim masa kontraknya telah habis, meski perjanjian kerja (PK) tertulis di kontrak menyebut durasi kerjanya satu tahun, tujuh bulan, dan 20 hari.
Jika terbukti, hal ini melanggar hukum Taiwan. Namun, Hadi mengatakan ia tidak melaporkan kasusnya kepada pihak berwenang.
Hadi juga mengatakan ia masih memiliki utang karena telah membayar biaya job kepada P3MI sebesar Rp40 juta. "Jika P3MI tidak bisa memberikan penggantian job, maka hal ini akan saya laporkan pada KDEI," ujarnya.
Selesai/JC