Bisakah gugatan perdata 8 ABK migran Indonesia ke pemilik kapal gedor hukum Taiwan?

19/11/2025 17:31(Diperbaharui 19/11/2025 20:15)

Untuk mengaktivasi layanantext-to-speech, mohon setujui kebijakan privasi di bawah ini terlebih dahulu

Delapan anak buah kapal migran Indonesia dan yang lainnya di Pengadilan Distrik Pingtung hari Selasa. (Sumber Foto : CNA, 19 November 2025)
Delapan anak buah kapal migran Indonesia dan yang lainnya di Pengadilan Distrik Pingtung hari Selasa. (Sumber Foto : CNA, 19 November 2025)

Taipei, 19 Nov. (CNA) Aktivis dan akademisi menanggapi gugatan perdata delapan anak buah kapal (ABK) migran Indonesia terhadap majikan mereka yang pernah menunggak gaji, yang telah memicu perdebatan tentang area abu-abu dalam penerapan Undang-Undang (UU) Standar Ketenagakerjaan Taiwan.

Sempat lebih dari setahun tak digaji, delapan ABK Indonesia yang pernah bekerja di kapal perikanan laut jauh "You-Fu" menggugat pemilik perahu, meminta pembayaran selisih upah agar sesuai dengan gaji minimum yang diatur undang-undang Taiwan.

Baca juga: Lebih dari setahun tak digaji, ABK Indonesia di kapal Taiwan terpaksa hidupi keluarga dengan utang

Lima ABK hadir di sidang kedua gugatan di Pengadilan Distrik Pingtung pada Selasa (18/11), semuanya telah berpindah pekerjaan menjadi buruh tani atau pekerja pabrik karena mengalami penunggakan gaji jangka panjang dan lingkungan kerja yang buruk.

Mereka sepakat mengatakan gugatan ini bukan hanya untuk kepentingan mereka sendiri, tetapi juga agar lewat jalur hukum mereka dapat memperjuangkan hak para ABK asing di sektor perikanan laut lepas Taiwan.

Salah satu dari mereka, Matthew, mengatakan pengalaman bekerja di kapal cukup traumatis. Bekerja 12 jam tanpa henti menjadi hal lumrah, dan selama melaut ia tidur sangat sedikit serta terus-menerus kelelahan.

Matthew juga bercerita ia di atas kapal pernah terjadi kerusakan fasilitas penyulingan air laut sehingga tidak dapat sepenuhnya diubah menjadi air tawar. Selain itu, karena kapal logistik tidak datang, mereka selama satu bulan kekurangan bahan bakar dan bumbu, sehingga makanan hanya direbus saja, ujarnya.

Ini juga bukan pertama kalinya ia mengalami penunggakan gaji, kata Matthew, setelah sebelumnya ia pernah tidak dibayar selama delapan bulan saat bekerja di kapal Tiongkok. Dua pengalaman berturut-turut itu membuatnya enggan kembali bekerja di laut, tambahnya.

Kasus ini langka, karena merupakan gugatan perdata yang diajukan langsung pekerja migran di sektor perikanan laut lepas Taiwan, dan putusannya berpotensi memengaruhi standar upah ABK asing yang direkrut dari luar negeri serta mendorong reformasi sistem perekrutan, sehingga menarik perhatian aktivis dan ahli hukum.

Peneliti senior Taiwan Association for Human Rights Shih Yi-hsiang (施逸翔), yang hadir mengamati jalannya sidang, menyatakan organisasinya sejak lama menyerukan penghapusan sistem "dua jalur perekrutan" -- rekrutmen luar negeri dan dalam negeri -- untuk ABK asing yang bekerja di kapal Taiwan.

Perekrutan luar negeri, yang umum untuk perikanan laut jauh, berada di bawah wewenang Direktorat Jenderal Perikanan (FA), tunduk pada Regulasi tentang Izin dan Tata Cara Penggunaan ABK Asing di Luar Negeri dengan upah dasar US$550 (Rp9,194 juta).

Sementara itu, rekrutmen dalam negeri, biasanya untuk nelayan migran pesisir, diatasi Kementerian Ketenagakerjaan (MOL) dan berdasar pada UU Standar Ketenagakerjaan, dengan hak atas upah minimum Taiwan -- NT$28.590 (Rp15,3 juta) untuk tahun 2025.

Menurut Shih, hukum Taiwan seharusnya berlaku pada setiap orang yang bekerja di kapal berbendera Republik Tiongkok (ROC). Terlebih dalam kasus ini, kata Shih, kontrak ditandatangani di Taiwan sebelum mereka diberangkatkan ke Samoa untuk melakukan penangkapan ikan.

Shih mengatakan ia berharap hakim meninjau kondisi para ABK dengan cermat dan mengadili kasus ini berdasarkan hukum yang berlaku di Taiwan.

Sementara itu, Chiu Yu-fan (邱羽凡), lektor kepala Fakultas Hukum National Yang Ming Chiao Tung University, mengatakan satu-satunya alasan seorang pekerja di Taiwan tidak tunduk pada UU Standar Ketenagakerjaan adalah jika MOL secara resmi mengumumkan pengecualiannya sesuai prosedur hukum, tetapi kementerian belum pernah mengeluarkan pengumuman seperti itu.

Setelah sidang pertama pada Agustus, Pengadilan Distrik Pingtung mengirim surat ke MOL pada September, menanyakan apakah ABK laut jauh di kapal yang terdaftar di Taiwan dicakup dalam UU Standar Ketenagakerjaan, yang dijawab tidak.

Terkait hal ini, Chiu mengatakan ia menilai MOL hanya memberikan kesimpulan tanpa menjelaskan alasan pengecualiannya. Mengingat ini menyangkut hak-hak banyak ABK di sektor perikanan laut jauh, kementerian wajib memberikan penjelasan yang terang, ujarnya.

Menurut Chiu, terdapat persoalan hukum dalam regulasi perekrutan luar negeri yang dikeluarkan FA. ABK laut jauh yang bekerja di kapal berbendera ROC tetap dianggap berada dalam yurisdiksi Taiwan, sehingga seharusnya dilindungi UU Standar Ketenagakerjaan, tambahnya.

Selain itu, perikanan pesisir saat ini sudah sepenuhnya berada di bawah UU Standar Ketenagakerjaan, sehingga tidak ada alasan mengapa ABK migran di sektor laut jauh dikecualikan, kata Chiu.

Pada Agustus tahun lalu, terungkap bahwa pemilik kapal "You-Fu", yang terdaftar di Kabupaten Pingtung, menunggak gaji sepuluh ABK Indonesia selama 15 bulan. Sehari setelah para kru menggelar konferensi pers di Yuan Legislatif, pihak majikan membayar seluruh tunggakan dan memberi kompensasi tambahan NT$2.000 per orang.

Baca juga: Anggota Parlemen desak pihak berwenang lakukan perbaikan setelah ABK Indonesia gajinya ditunggak

Dari para ABK tersebut, delapan orang kemudian dinyatakan sebagai korban perdagangan manusia oleh Biro Investigasi Kementerian Kehakiman Taiwan. Kantor Kejaksaan Distrik Pingtung kemudian memulai penyidikan pidana, namun pada April memutuskan untuk tidak menuntut pemilik kapal.

Baca juga: Aliansi: Tak adanya tuntutan pidana pada pemilik kapal You-Fu picu pengulangan

(Oleh Huang Yu-jing dan Jason Cahyadi)

Selesai/JA

How mattresses could solve hunger
0:00
/
0:00
Kami menghargai privasi Anda.
Fokus Taiwan (CNA) menggunakan teknologi pelacakan untuk memberikan pengalaman membaca yang lebih baik, namun juga menghormati privasi pembaca. Klik di sini untuk mengetahui lebih lanjut tentang kebijakan privasi Fokus Taiwan. Jika Anda menutup tautan ini, berarti Anda setuju dengan kebijakan ini.
Diterjemahkan oleh AI, disunting oleh editor Indonesia profesional.