Taipei, 16 Nov. (CNA) Program Pekerja Teknis Tingkat Menengah (PTTM) yang memungkinkan pekerja migran asing (PMA) bekerja tanpa batasan masa waktu di Taiwan, dianggap belum melindungi hak PMA dan malah menjadi peluang bisnis baru bagi agensi dan kontrol yang ketat dari majikan pada pekerja, disampaikan dalam “Seminar Publik: Hapuskan Batas Lama Kerja bagi Pekerja Migran” yang digelar oleh Serikat Buruh Industri Perawatan Taiwan (SBIPT) di Taipei, Minggu (16/11).
Ribut Perdamaian, perwakilan dari SBIPT menilai saat ini PTTM dianggap sebagai “program naik level” bagi PMA. Namun, alih-alih “naik level dari PMI biasa jadi PTTM”, Pekerja Rumah Tangga (PRT) justru mendapatkan beban kerja yang lebih berat, tanpa batas, karena sampai saat ini PRT yang juga disebut sebagai sektor informal belum dimasukkan ke Undang Undangan Ketenagakerjaan.
“Jadi meski “naik level”, ternyata mengubah status tidak mengubah struktur perlindungan tenagakerja,” kata Ribut.
Menurut Ribut, tidak dicantumkannya PRT dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan membuat posisi tawar mereka lemah. Hak yang mereka terima berbeda dengan pekerja formal yang memiliki jam kerja dan hari libur yang jelas. Sementara itu, PRT yang bekerja di dalam rumah bisa bekerja hingga 24 jam tanpa henti untuk merawat pasien dengan kondisi berat, namun hanya menerima gaji minimal sekitar NT$20.000 (Rp10,9 juta). Jumlah tersebut jauh di bawah upah minimum Taiwan yang tahun ini sebesar NT$28.590 dan akan naik menjadi NT$29.500 mulai 1 Januari tahun depan.
Belum lagi ancaman kekerasan dan pelecehan seksual yang rentan terjadi mengingat PRT perempuan tinggal sepanjang hari di rumah majikan, ujarnya.
Jadi ladang bisnis
SBIPT menilai bahwa PTTM juga telah menjadi ladang bisnis baru bagi agensi. Berdasarkan pemantauan SBIPT, menurut Ribut, syarat sertifikasi PTTM bahkan diperjualbelikan secara terbuka di media sosial. Kalaupun ada pelatihan yang diselenggarakan agensi, hasilnya tetap belum memenuhi ketentuan karena kualitas pelatihannya jauh dari yang diharapkan.
“Di sini akhirnya ada manipulasi keterampilan. Selain itu agensi juga dilegalkan tarik biaya proses PTTM,” kata Ribut.
PTTM juga dianggap memberi kontrol pada majikan, tetapi tidak menguntungkan pekerja. Majikan, kata Ribut, bisa menahan dokumen dan mengontrol hari libur yang memang selama ini masih berdasarkan kesepakatan antara majikan dan pekerja.
“Sayangnya banyak sekali PMI yang “dibantu” PTTM oleh majikan malah membuat majikan seenaknya sendiri. Ada kesan “balas budi”. Jadi buat apa mengubah label status tetapi tidak mengubah struktur perlindungan?,” kata dia.
Motif ekonomi dan sosial hingga “banting harga”
Ketua Serikat Buruh Industri Manufaktur (SEBIMA), Ignatius Purwanto menyatakan berdasarkan pantauannya, ada dua motif utama yang membuat PMA “mati-matian” mengejar status PTTM. Pertama tentunya adalah motif ekonomi, di mana masih banyak kebutuhan yang harus dipenuhi sambil menghadapi kenyataan bahwa kesempatan bekerja di Indonesia masih sangat minim.
Kendati demikian, saat ini kontrol PTTM mutlak ada pada pemberi kerja dengan monopoli dari agensi dan biaya yang tak murah. Untuk proses pelatihan misalnya, NT$24.000 harus disiapkan pekerja untuk mendaftar pelatihan yang digelar oleh agensi. Sementara proses PTTM melalui agensi sendiri, menurut pemantauan SEBIMA bisa mencapai NT$60.000.
“Tapi kalau majikan bilang “tidak”, mau bagaimana pun tidak dapat itu PTTM,” kata pria yang akrab disapa Ignas ini.
Oleh karena itu ia juga mendapat PMI yang “banting harga” untuk meraih status PTTM. Misalnya, ia mendapati kasus di mana pekerja formal yang belasan tahun berhadapan dengan mesin, menawarkan diri untuk jadi perawat lansia dan mengikuti pelatihan asal mendapatkan status PTTM.
“Ini saya tanya (yang bersangkutan), apa benar kamu bisa mengurus lansia? Dia juga sampai “banting harga”, tidak apa gaji tidak naik, asal dapat dulu PTTM-nya,” kata Ignas.
Usulan SBIPT dan SEBIMA
Menanggapi rentannya eksploitasi pada program PTTM, SBIPT dan SEBIMA menilai perlunya Kementerian Tenaga Kerja (MOL) Taiwan mengubah tata kelola perekrutan langsung bukan diberikan kepada bisnis atau agensi. Selain itu perlu juga menghapus batas masa kerja tanpa syarat agar majikan dan pekerja bisa saling diuntungkan.
“PTTM adalah hak bukan dipromosikan “naik level” padahal kenyataannya dieksploitasi,” kata Ribut mewakili SBIPT.
Sementara SEBIMA, juga senada terkait tuntutan menghapus batasan masa kontrak. “Buat sistem peningkatan status PMA berdasarkan kompetensi, kemampuan, dan pengalaman, mengedepankan pelindungan bagi PMA dan adil buat semua,” kata Ignas mewakili SEBIMA.
Dalam seminar ini turut hadir juga Peneliti dari Academia Sinica, Yang Ya-wen (楊雅雯), Ketua International Migrants Alliance, Eni Lestari, dan ditanggapi oleh Wakil Kepala Divisi Pengelolaan Tenaga Kerja Internasional MOL, Hu Hsin-Ye; Staf Teknis Divisi Pengelolaan Tenaga Kerja Internasional MOL, Huang Yu-Cheng, dan analis bidang ketenagakerjaan dari Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI) Taipei, Kadir.
Selesai/JA