Taipei, 15 Agu. (CNA) Sebuah aliansi telah menyatakan kekecewaan bahwa Kejaksaan Distrik Pingtung tidak menuntut hukuman pidana pada pemilik kapal perikanan laut jauh "You-Fu", yang telah menahan gaji ABK-nya yang berasal dari Indonesia, keputusan yang mereka katakan berpotensi mengulang kejadian serupa di masa depan.
Lebih buruknya lagi, keputusan kejaksaan ini tidak pernah disampaikan kepada para korban, yang mengancam hak para ABK migran Indonesia tersebut untuk banding, kata aliansi dalam sebuah pernyataan publik hari Senin (11/8).
Aliansi ini terdiri dari Taiwan Association for Human Rights, Taiwan Labour Front, Serve the People Association, International Center for Cultural Studies, National Yang Ming Chiao Tung University, Work Better Innovations, serta sejumlah akademisi, menurut rilis tersebut.
Baca juga: Lebih dari setahun tak digaji, ABK Indonesia di kapal Taiwan terpaksa hidupi keluarga dengan utang
"Kami menyesalkan adanya kesenjangan pengetahuan yang sangat besar antara pemahaman internasional mengenai kejahatan kerja paksa dan perdagangan manusia, dengan pemahaman yudisial yang usang dan tidak realistis tentang apa yang dimaksud dengan bentuk terburuk eksploitasi manusia, yang jauh dari standar internasional."
"Kegagalan kejaksaan untuk menuntut pelaku dan melanjutkan proses hukum pidana merupakan peluang yang hilang bagi Taiwan untuk melindungi korban kerja paksa dan mencegah terjadinya pelanggaran serupa di masa depan," kata aliansi.
Menurut aliansi, bagi para ABK Indonesia di kapal "You-Fu" yang telah diakui otoritas peradilan sebagai korban perdagangan manusia, kegagalan untuk melanjutkan proses pidana sama saja dengan menolak keadilan.
Hal ini, menurut aliansi, juga berpotensi memberikan dampak negatif terhadap reputasi hak asasi manusia (HAM) sektor perikanan jarak jauh Taiwan, pemerintah, serta rantai pasokannya, yang dalam beberapa tahun terakhir telah mencatat kemajuan penting di bidang bisnis dan HAM.
"Kami percaya bahwa keputusan Kejaksaan Distrik Pingtung untuk tidak menuntut adalah kesalahan serius. Keputusan ini gagal melindungi korban kerja paksa di Taiwan dan tidak memberikan efek jera terhadap kejadian serupa," kata aliansi.
Alasan aliansi
Ada sejumlah alasan yang menjadi dasar aliansi mengkritik keputusan kejaksaan. Pertama, mereka menganggap kejaksaan tidak selaras dengan hukum internasional tentang apa yang dimaksud dengan pekerjaan tanpa persetujuan sukarela.
Dalam kasus "You-Fu", kata mereka, tidak ada yang membantah bahwa para ABK tidak dibayar selama 15 bulan, dan pihaknya menilai kejaksaan setempat gagal menyelidiki secara tepat posisi rentan para nelayan dalam hubungan kerja, di mana mereka tidak mampu mencari bantuan karena bekerja di laut.
Penentuan kejaksaan bahwa tidak ada bukti untuk mendukung tuntutan perdagangan manusia dibuat sebagian besar berdasarkan laporan bahwa para ABK secara lisan setuju menerima upah setelah kapal merapat setelah 15 bulan di laut, sementara mereka juga menyerahkan paspor kepada pemilik kapal untuk disimpan, kata aliansi.
"Kondisi ini jelas menunjukkan ketidakadilan kondisi kerja dan mengabaikan posisi rentan nelayan migran. Persetujuan haruslah diberikan secara sadar, tidak melalui penipuan atau paksaan. Tidak seorang pun dapat memberikan persetujuan untuk bekerja dalam kondisi eksploitatif," kata aliansi.
Kedua, aliansi menilai sekalipun ABK setuju agar bisa menerima upah setelah 15 bulan, ketentuan pembayaran ini melanggar kontrak kerja Taiwan, seiring pemilik kapal menetapkan dalam kontrak kerja bahwa upah para nelayan akan dibayar setiap enam bulan.
Meskipun upah yang tertahan akhirnya dibayarkan dan ditambah NT$2.000 (Rp1,079 juta) pada Agustus 2024, ketentuan pembayaran tersebut menyimpang jauh dari kontrak kerja Taiwan yang berlaku, kata aliansi.
"Penahanan upah jangka panjang ini membuat keluarga nelayan tidak memiliki penghasilan yang berarti selama lebih dari satu tahun," kata aliansi, yang mencontohkan salah kasus di mana keluarga korban terpaksa menggadaikan rumah untuk membiayai pengobatan karena tidak menerima kiriman uang selama 15 bulan.
"Dalam kondisi seperti itu, patut dipertanyakan apakah ada nelayan yang akan secara sukarela, dengan persetujuan penuh dan sadar, setuju menunggu 15 bulan hingga kapal merapat untuk menerima upahnya," kata aliansi.
Alasan ketiga, menurut aliansi, kejaksaan gagal menyelidiki kondisi kerja nelayan untuk menetapkan adanya eksploitasi tenaga kerja, sementara menganggap kasus ini sekadar sengketa upah.
Menurut aliansi, para ABK menjalani operasi penangkapan ikan yang intensif dan bertekanan tinggi, sering bekerja dalam jam kerja panjang tergantung kondisi penangkapan, namun tidak menerima bayaran lembur yang sesuai. Ini tidak sebanding dengan kompensasi yang diterima, kata mereka.
Pembayaran lembur dan kompensasi di sektor perikanan jarak jauh adalah masalah struktural yang diabaikan Kementerian Ketenagakerjaan (MOL), Direktorat Jenderal Perikanan (FA), dan kejaksaan, yang tidak mengakui para ABK melakukan pekerjaan yang tenaganya tidak sebanding dengan bayaran yang diterima, terutama terkait lembur, kata aliansi.
"Tanpa penyidikan yang tepat, kejaksaan setempat secara prematur dan keliru menyimpulkan bahwa tidak ada tuntutan pidana yang dapat diajukan berdasarkan Undang-Undang Pencegahan Perdagangan Manusia Taiwan," kata aliansi.
"Ini adalah kelalaian besar yang tidak hanya memengaruhi pencarian keadilan bagi nelayan di kapal "You-Fu", tetapi juga merusak perkembangan yurisprudensi kasus perdagangan manusia di Taiwan agar selaras dengan hukum internasional," menurut mereka.
Sebelumnya pada Agustus 2024, kasus penahanan upah yang berkepanjangan terhadap sepuluh ABK Indonesia di kapal "You-Fu" mencuat ke publik ketika organisasi masyarakat sipil Taiwan dan legislator mengadakan konferensi pers bahwa mereka bekerja tanpa dibayar selama 15 bulan, dengan total upah yang belum dibayar mencapai NT$2,64 juta.
Baca juga: Anggota Parlemen desak pihak berwenang lakukan perbaikan setelah ABK Indonesia gajinya ditunggak
Setelah konferensi pers, pemilik kapal "You-Fu" membayar upah yang tertahan tersebut dan tambahan sekitar NT$2.000 untuk masing-masing ABK.
Investigasi lanjutan Biro Investigasi Kementerian Kehakiman Taiwan mengidentifikasi delapan ABK Indonesia sebagai korban perdagangan manusia, yang membuat mereka berhak tinggal sementara di Taiwan. Sejak September 2025, sebagian besar korban tetap tinggal dan mendapatkan perlindungan di sana.
Kejaksaan Distrik Pingtung kemudian memulai penyidikan pidana terhadap pemilik kapal atas dugaan pelanggaran Undang-Undang Pencegahan Perdagangan Manusia Taiwan terkait eksploitasi tenaga kerja dan kejahatan memperoleh keuntungan finansial melalui penipuan sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Pada Juni tahun ini, masyarakat sipil menerima informasi bahwa kejaksaan memutuskan untuk tidak mengajukan tuntutan pidana terhadap pemilik kapal, menurut rilis pers aliansi.
Kejaksaan beralasan mereka tidak menemukan bukti objektif para ABK Indonesia tersebut melakukan pekerjaan dengan imbalan yang tidak sebanding, sehingga tidak memenuhi ambang batas untuk dikategorikan sebagai tindak pidana perdagangan manusia, menurut aliansi.
Selesai/JC