Aktivis Taiwan kecam majikan yang minta ABK jaga kapal saat taifun

12/11/2025 20:17(Diperbaharui 12/11/2025 20:24)

Untuk mengaktivasi layanantext-to-speech, mohon setujui kebijakan privasi di bawah ini terlebih dahulu

Tempat tidur Sutarman di kapal. (Sumber Foto : Sutarman)
Tempat tidur Sutarman di kapal. (Sumber Foto : Sutarman)

Taipei, 12 Nov. (CNA) Sutarman, anak buah kapal (ABK) migran Indonesia di Kota New Taipei, mengatakan kepada CNA ia pasrah menghadapi ganasnya angin serta tingginya gelombang saat Taifun Fung-Wong melanda, seiring ia sudah terbiasa menjaga kapal saat taifun karena tidak ada tempat berteduh baginya di darat.

Dihubungi CNA saat peringatan taifun laut dikeluarkan otoritas Taiwan untuk wilayah selatan pada Senin (10/11), Sutarman mengatakan ia saat itu sedang menjaga kapalnya di Pelabuhan Perikanan Wanli.

Saat dihubungi CNA kembali pada Selasa setelah peringatan darat dikeluarkan, Sutarman, yang bekerja sebagai nelayan migran lokal, masih setia menjaga kapalnya agar tali kapal tidak terputus.

Sutarman mengatakan kapal tempatnya bekerja tidak tergolong besar, melainkan CT2 untuk mencari cumi dan ikan teri. Ia menjadi satu-satunya ABK di sana, didampingi majikannya.

"Biasanya saya mencari ikan teri setiap malam hanya dua jam saja, kemudian kembali lagi melaut sekitar pagi hari pukul 3 pagi hingga 2 jam saja. Namun sudah 20 hari ini cuma melaut satu kali saja karena cuaca tidak baik. Bahkan 3 hari ini hujan terus, jadi ya tetap jaga di kapal," ujarnya.

Saat ditanya apakah Sutarman tidak takut menjaga kapal sendirian saat taifun, ia berkata jika dirinya sudah terbiasa. Ia pun juga tidak mau protes kepada majikan.

Tempat Sutarman saat berteduh dari taifun, di atas kapal ini, termasuk tempat untuk tidur. (Sumber Foto : Sutarman)
Tempat Sutarman saat berteduh dari taifun, di atas kapal ini, termasuk tempat untuk tidur. (Sumber Foto : Sutarman)

"Saya sudah terbiasa, jadi ya enggak apa-apa. Kalau saat taifun tidak jaga kapal terus saya tinggal di mana? Kapal ini satu-satunya tempat tinggal saya," jawabnya.

Lain lagi dengan Budi (nama samaran), ABK yang bekerja di salah satu pelabuhan di Kabupaten Yilan. Ia mengatakan kepada CNA bahwa ia sebenarnya takut dengan badai dengan hujan deras, apalagi taifun membawa angin kencang. 

"Kalau di laut hujan, kapal saya kembali ke pelabuhan. Nah kalau kapal diparkir di pelabuhan saat taifun ya seperti ini, kapalnya goyang-goyang melulu. Saya kan harus jaga, sesekali lihat tali di luar. Kehujanan dan takut angin kencang. Saya dan teman-teman ABK Indonesia mau protes takut, karena emang sudah kewajiban tugas kami, jaga kapal." 

Kepada CNA, Budi mengatakan bahwa selama dua tahun bekerja di sini, ia selalu menjaga kapal saat taifun bersama teman-temannya karena tidak ada tempat lain untuk berteduh.

Di Taiwan selatan, CNA menghubungi Abdul Munari, seorang ABK yang juga menjaga kapal saat taifun di Pelabuhan Perikanan Donggang, Kabupaten Pingtung di selatan. "Saya setiap taifun juga jaga kapal," ujarnya.

"Hal ini sudah biasa bagi kami para ABK. Kami harus mematuhi apa yang diamanatkan dari majikan. Sebenarnya tidak boleh setiap ada taifun ada di kapal, tapi ya mau gimana lagi," ujar ABK yang pernah menjadi pekerja migran teladan ini. 

"Sebenarnya pemerintah Taiwan sudah mengimbau dari pihak majikan, tetapi itu tidak berlaku untuk wilayah Pingtung, karena masih tetap ada ABK yang menjaga kapal," tambah Abdul yang kini bekerja di kapal CT3 tangkapan udang dan ikan.

Aktivis nelayan migran angkat bicara

Jason Lee, aktivis ABK dari organisasi Rerum Novarum saat dihubungi CNA mengatakan ia tegas menolak tuntutan majikan yang meminta para ABK menjaga kapal saat taifun. Ia mengatakan ABK migran harus turun dari kapal dan mencari perlindungan di darat selama taifun.

Jason mengatakan berbahaya bagi nelayan migran untuk menjaga kapal saat taifun, namun majikan malah mengorbankan keselamatan ABK asing karena takut propertinya itu rusak. Ia menilai, jika pemberi kerja tidak menyuruh kru turun kapal saat taifun, mereka tidak akan meninggalkannya. 

"Kalau turun dari kapal ke tempat yang aman, ada makanan minuman dan tempat yang hangat itu akan lebih baik. Namun di sini di dalam aturan tidak dijelaskan siapa yang harus bertanggung jawab untuk menyediakan tempat mes seperti ini untuk ABK berlindung. Apakah ini kewajiban majikan atau pemerintah, di situ tidak tertulis dengan jelas," ujarnya. 

Tak hanya saat taifun saja, Jason juga mengatakan setelah setiap kapal penangkap ikan kembali ke pelabuhan dan para nelayan migran menyelesaikan pekerjaan mereka, pemberi kerja seharusnya mengizinkan mereka kembali ke asrama di darat. Jika ABK harus membersihkan kapal dan menjaganya, sistem sif mestinya diterapkan, ujarnya.

"Jangan mengorbankan keselamatan manusia demi penghematan biaya jangka pendek dan hanya akan menyebabkan biaya di masa mendatang yang lebih tinggi. Pekerja Taiwan, termasuk nelayan Taiwan, sebagian besar tinggal di darat. Jika nelayan migran juga bisa kembali tinggal di darat, banyak masalah dapat dihindari. Mengizinkan nelayan migran untuk tinggal di darat dapat secara signifikan mengurangi risiko kecelakaan dan bencana," ujarnya.

Saat dihubungi CNA, Muzakir, sekretaris jenderal Forum Silaturahmi Pelaut Indonesia (FOSPI) mengatakan FOSPI beserta koalisinya sudah pernah berkirim surat ke Direktorat Jenderal Perikanan (FA) terkait kondisi menghadapi taifun, dan sempat memprotes tuntutan majikan untuk ABK menjaga kapal saat badai datang. 

"Hingga kini tetap saja masih banyak ABK migran yang menjaga kapal saat taifun datang," ujar Muzakir yang kini bergabung dengan Taiwan Association Human for Rights (TAHR). 

Sementara itu, panduan FA mengenai "Prinsip Penanganan Kapal Perikanan yang Masuk Pelabuhan dan ABK untuk Menghindari Angin Saat Taifun" menyebutkan kapal penangkap ikan di atas 100 ton harus diawaki secara cukup untuk memperkuat operasi penambatan.

Namun, menurut panduan tersebut, jika kekuatan angin topan meningkat, pusat tanggap bencana pemerintah setempat harus menilai apakah awak kapal mesti pergi ke darat untuk berlindung, dan perintah untuk berlindung ke darat harus dikeluarkan kapten.

Untuk kapal penangkap ikan sedang dan kecil dengan berat 100 ton ke bawah, semua anggota awak harus pergi ke darat untuk berlindung dari taifun, menurut panduan tersebut.

Dalam wawancara sebelumnya, Hsueh Po-yuan (薛博元), kepala Divisi Tenaga Kerja FA, mengatakan kepada CNA bahwa berdasarkan Undang-Undang Pencegahan dan Perlindungan Bencana, pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengeluarkan perintah evakuasi bagi awak kapal jika terjadi bencana alam.

Setelah perintah tersebut diberikan, kata Hsueh, pemilik kapal harus membawa awak kapal mereka ke tempat penampungan, dengan pelanggaran dapat didenda NT$50.000 (Rp26,9 juta) hingga NT$250.000 oleh pemerintah daerah, kata Hsueh.

Namun, CNA mendapati standar setiap pemerintah daerah berbeda. Di antaranya, menurut Kantor Manajemen Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pingtung, awak kapal perikanan 20 ton ke bawah di Pelabuhan Donggang harus naik ke darat pada Rabu, namun tonase di atas itu bersifat fleksibel.

(Oleh Miralux)

Selesai/JC

How mattresses could solve hunger
0:00
/
0:00
Kami menghargai privasi Anda.
Fokus Taiwan (CNA) menggunakan teknologi pelacakan untuk memberikan pengalaman membaca yang lebih baik, namun juga menghormati privasi pembaca. Klik di sini untuk mengetahui lebih lanjut tentang kebijakan privasi Fokus Taiwan. Jika Anda menutup tautan ini, berarti Anda setuju dengan kebijakan ini.
Diterjemahkan oleh AI, disunting oleh editor Indonesia profesional.