Taipei, 17 Okt. (CNA) Sebuah diskusi kelompok terpumpun (FGD) telah digelar untuk membahas sebab dan jalan keluarnya ancaman kerja paksa dan eksploitasi anak buah kapal (ABK) migran Indonesia di luar negeri, termasuk menagih kepastian status ABK sebagai pekerja migran Indonesia (PMI) yang dilindungi Undang-Undang (UU) Pelindungan PMI.
Bertajuk "Menuju Kepastian Tata Kelola Pelindungan dan Penempatan Awak Kapal Perikanan Migran dalam Kewenangan Daerah, Nasional, Regional dan Internasional", diskusi ini digelar di Hotel Grand Wijaya, Pemalang, Jawa Tengah, Rabu (15/10), menurut siaran pers yang diterima CNA dari Greenpeace Indonesia.
Acara ini diinisiasi Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Greenpeace Indonesia, dan Migrant Workers' Concern Desk Stella Maris Taipei; didukung Pemerintah Kabupaten Pemalang, Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI), dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP); serta mempertemukan pemerintah pusat dan daerah, serikat buruh, pelaku usaha agensi tenaga kerja, dan masyarakat sipil, menurut rilis tersebut.
Awak kapal migran diakui sebagai PMI
Menurut Ketua Umum SBMI, Hariyanto Suwarno, selama bertahun-tahun pemerintah seolah berjalan di tempat, padahal Indonesia memiliki kerangka hukum seperti UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan PMI serta Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2022 tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga dan Perikanan Migran.
Modalitas regulasi ini diperkuat pula dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 127/PUU-XXI/2023 yang menegaskan hak konstitusional awak kapal untuk diakui sebagai bagian dari PMI harus menjadi pijakan kuat untuk memastikan seluruh pelaut migran, baik di kapal niaga maupun perikanan, mendapat pelindungan hukum dan akses keadilan yang setara, kata SBMI.
"Namun, regulasi tersebut hanya menjadi macan kertas saat berhadapan proses di kementerian/lembaga negara dan lemahnya pengawasan di lapangan. Akibatnya jelas, AKP (awak kapal perikanan) migran dibiarkan tanpa pelindungan memadai," kata dia.
Para pekerja di laut menjadi kelompok yang paling rentan terhadap praktik kerja paksa, perdagangan orang, dan kekerasan, kata SBMI, seraya menyebut hasil temuan lapangan mereka bersama para pendamping korban dan AKP migran menunjukkan bahwa penanganan kasus di wilayah pesisir Pantai Utara Jawa masih diwarnai kebingungan dan saling lempar tanggung jawab antar instansi.
Kondisi ini terutama disebabkan terbatasnya kewenangan Dinas Tenaga Kerja Daerah yang sulit untuk menindak perusahaan-perusahaan yang memiliki Surat Izin Usaha Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal (SIUPPAK)/Surat Izin Usaha Keagenan Awak Kapal (SIUKAK), kata SBMI.
Ia menambahkan, izin tersebut diterbitkan oleh Kementerian Perhubungan, bukan oleh KP2MI yang seharusnya mengeluarkan Surat Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (SIP3MI).
Hariyanto menilai momentum pembentukan KP2MI pada 2024 menjadi titik penting dalam agenda pembenahan struktural. Transformasi kelembagaan ini diharapkan tidak berhenti pada perubahan nomenklatur, tetapi benar-benar memperkuat mandat negara dalam memastikan pelindungan menyeluruh, memperluas diplomasi pelindungan lintas negara, serta menegakkan akuntabilitas tata kelola dari tingkat nasional hingga daerah.
"Mandat Negara telah tegas melalui UU No.18/2017, PP No.22/2022, dan Putusan MK 127/PUU-XXI/2023 yang menjelaskan awak kapal perikanan migran merupakan bagian dari pekerja migran Indonesia, namun hingga saat ini Kementerian Perhubungan melakukan pembangkangan Hukum dan melawan Presiden dengan tidak mematuhi peraturan dan Putusan MK," tutur Hariyanto.
Contoh eksploitasi di Taiwan
Salah satu contoh nyata eksploitasi adalah kasus yang menimpa AKP di kapal penangkap cumi berbendera Taiwan. Para pekerja direkrut dengan kontrak dua sampai tiga tahun tahun, namun kapal hanya beroperasi selama empat sampai enam bulan saat musim cumi, menurut rilis.
Romo Arie dari Migrant Workers' Concern Desk Stella Maris Taipei menuturkan bahwa di luar musim itu, para AKP migran terlantar tanpa gaji dan harus menanggung biaya hidup sendiri. Praktik penipuan ini bahkan telah menjadi temuan investigasi Yuan Kontrol pada September 2024, ujarnya.
"Kapal cumi musiman merugikan AKP migran yang ditempatkan di kapal-kapal tersebut. Pemerintah Taiwan dan Indonesia harus memastikan bahwa pelaut migran tidak dieksploitasi. Pengawasan, inspeksi serta kontrol terhadap kapal-kapal ini harus dilaksanakan secara intensif agar gaji para AKP migran tetap dibayar sesuai dengan peraturan yang berlaku di Taiwan, serta memastikan majikan tidak lari dari tanggung jawabnya sebagai pemberi kerja," jelas Romo Arie.
Di tingkat internasional, desakan untuk perbaikan terus menguat. Arifsyah Nasution, Juru Kampanye Laut Greenpeace Asia Tenggara dan Pimpinan Global "Beyond Seafood Campaign", menyoroti langkah penting Komisi Perikanan Pasifik Tengah dan Barat (WCPFC) yang telah mengadopsi Labour Standard Conservation and Management Measure (CMM) pada Desember 2024.
"Saat ini semua kapal-kapal yang beroperasi di wilayah Pasifik harus mendaftarkan awak kapalnya sebagai bagian dari upaya pembenahan untuk mengakhiri perbudakan di laut. Dengan begitu, pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) perlu mendaftarkan penyedia kru atau perusahaan penempatan perekrutan untuk bisa berlisensi sehingga kapal-kapal yang beroperasi di wilayah Pasifik bisa menempatkan awak kapal perikanan Indonesia sesuai prosedur," kata dia.
Greenpeace menyatakan FGD di Pemalang ini menjadi momentum untuk mendorong pendekatan berbasis
hak asasi manusia dalam melindungi para pahlawan devisa di sektor perikanan. Pelindungan mereka adalah wujud tanggung jawab negara dalam menjamin hak atas kerja layak, keselamatan, dan martabat manusia, kata mereka.
Greenpeace menambahkan, para pemangku kepentingan berharap diskusi ini dapat menjadi langkah awal untuk mewujudkan tata kelola yang adil dan akuntabel, sejalan dengan janji Presiden Prabowo Subianto pada Hari Buruh Internasional 2025 untuk segera meratifikasi Konvensi 188 Organisasi Perburuhan Internasional tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan.
Selesai/JC