Tionghoa perantau Indonesia: Kami milik kedua negeri

12/10/2025 15:46(Diperbaharui 12/10/2025 15:53)

Untuk mengaktivasi layanantext-to-speech, mohon setujui kebijakan privasi di bawah ini terlebih dahulu

Komunitas Tionghoa perantau Indonesia dalam acara ulang tahun ke-73 Tionghoa Perantau di Taipei, 12 Oktober 2025. (Sumber foto: CNA)
Komunitas Tionghoa perantau Indonesia dalam acara ulang tahun ke-73 Tionghoa Perantau di Taipei, 12 Oktober 2025. (Sumber foto: CNA)

Oleh Muhammad Irfan, reporter staf CNA

Atjong Chu (朱國莊) tak bisa menyembunyikan binar matanya saat ia berbicara tentang Indonesia. Tahun lalu, Tionghoa perantau asal Indonesia yang telah menetap di Taiwan sejak tahun 1960 ini, dan sejumlah anggota Tionghoa perantau lainnya mampir ke Bali untuk berlibur. Kemajuan Indonesia sangat mengesankan bagi pria yang pindah ke Taiwan di usia 12 tahun itu. “Ya bagaimana, itu saya punya tanah air. Kita lahir di sana (jadi masih ada rasa memiliki),” kata Chu kepada CNA, di sela-sela acara ulang tahun ke-73 Federasi Tionghoa Rantau yang digelar di Taipei, Minggu (12/10).

Menurut Atjong, meski telah menetap di Taiwan berpuluh-puluh tahun dan kini berkewarganegaraan Republik Tiongkok (Taiwan), Atjong tidak pernah merasa lepas dari tanah kelahirannya, Indonesia. “Kita punya kedua negeri lah. Abis kita orang lahir di sono,” kata Atjong yang berasal dari Jakarta.

Atjong tak sendiri. Perasaan yang sama disampaikan oleh Li Hui-ying (李惠英), Tionghoa perantau asal Jakarta yang “pulang” ke Taiwan di tahun yang sama dengan Atjong. Namun saat itu, ia sudah berusia 23 tahun.

“Masih teringat ingin pulang Indonesia, artinya kita memang pulang sini. Tapi hatinya tetap di Indonesia,” ucap Li.

Gelombang kepulangan

Pengalaman identitas yang dimiliki oleh Atjong dan Li adalah pengalaman yang sama yang dimiliki oleh banyak Tionghoa perantau lain, termasuk dari Indonesia “Kepulangan” mereka dari rantau ke Republik Tiongkok juga tak lepas dari gejolak politik yang terjadi di Indonesia dan dinamika politik global saat itu.

“Jadi sejak 1960 secara bergelombang banyak orang Tionghoa Indonesia yang kembali ke Taiwan,” kata Chang Chung-chun (張忠春), salah seorang Tionghoa Indonesia di Taiwan yang datang di tahun 1958 untuk meneruskan pendidikan.

Komunitas Tionghoa Indonesia dalam acara ulang tahun ke-73 Federasi Tionghoa Perantau di Taipei, 12 Oktober 2025. (Sumber foto: CNA)
Komunitas Tionghoa Indonesia dalam acara ulang tahun ke-73 Federasi Tionghoa Perantau di Taipei, 12 Oktober 2025. (Sumber foto: CNA)

Kepulangan banyak etnis Tionghoa Indonesia ke Taiwan saat itu dipicu oleh terbitnya Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1959 yang memaksa orang Tionghoa untuk menutup seluruh toko mereka di pedesaan paling lambat sampai 1 Januari 1960. Seiring peraturan tersebut dirilis, terjadi mobilisasi yang besar oleh militer kepada kalangan etnis Tionghoa di pedesaan.

Sastrawan Indonesia Pramoedya Ananta Toer menulis dalam mobilisasi tersebut, aparat cenderung represif pada etnis Tionghoa. “Tentara benar-benar melemparkan ratusan keluarga Tionghoa ke atas truk dan membawa mereka ke sejumlah kamp relokasi. Tidak jarang, perlawanan yang dilakukan [orang Tionghoa] berujung perlakuan yang kasar [dari militer]." Bahkan pada Juli 1960, dilaporkan, dua perempuan Tionghoa di Cimahi, Jawa Barat ditembak mati karena menolak penggusuran. 

Tindakan ini mengundang murka Beijing, sebagai Tiongkok yang punya hubungan diplomatik dengan Indonesia saat itu dan mengomandoi pemulangan ribuan orang Tionghoa Indonesia ke Tiongkok.

Thung Ju-Lan, pakar studi Tionghoa dalam "PRAM: Dipenjara Karena Karya" menyebut PP 10/1959 dipicu karena peraturan modal asing yang memasukkan modal ekonomi orang Tionghoa yang sudah tinggal berpuluh bahkan beratus tahun di Indonesia. Padahal saat itu, aktivitas dagang mereka sudah bisa dikategorikan sebagai modal domestik bukan modal asing.

Yearbook of the Overseas Chinese Economy mencatat bahwa sejak Januari 1960, lebih dari 80 ribu toko eceran disita dan 500 ribu orang Tionghoa di Jawa Barat terpaksa meninggalkan bisnis atau perdagangan yang mereka kelola.

Tindakan militer dalam merespons PP 10/1959 memperkeruh suasana dan membuat banyak aktivitas orang Tionghoa dibatasi, dipertanyakan identitasnya kewarganegaraannya, dan sebagian lagi memilih pergi ke Tiongkok seiring tawaran dari otoritas Beijing saat itu.

(Sumber foto: CNA)
(Sumber foto: CNA)

Namun, situasi yang juga sulit di Tiongkok selama revolusi budaya membuat mereka yang telah eksodus ke sana memilih lari ke Hongkong dan Makau, kata Thung. Sementara itu, arsip CNA mencatat ribuan orang Tionghoa Indonesia pindah ke Taiwan melalui Hongkong pada 1958-1960.

Pemerhati sejarah Tionghoa perantau Nouval Murzita menyebut gelombang pertama sekitar 1.400-an orang Tionghoa Indonesia yang pergi ke Taiwan akibat diberlakukannya PP No.10 1959. Total sepanjang tahun 1960-1961 ada sekitar 7.600-an orang Tionghoa asal Indonesia yang minta untuk kembali ke Taiwan.

Komunitas Tionghoa Indonesia di Taiwan

Rezim nasionalis Kuomintang (KMT) yang kalah dalam perang sipil Tiongkok mendirikan pusat pemerintahannya di Taiwan sejak 1949. Di tengah situasi tak menentu etnis Tionghoa di Indonesia, sebagai kontestasi dengan Beijing yang dipimpin Partai Komunis Tiongkok (PKT), KMT pun memfasilitasi pemulangan para Tionghoa perantau ke Taiwan.

“Itu kita pilih sendiri dari Indonesia. Jadi dari Tanjung Priok, terus ke Hong Kong, satu hari di Hong Kong, lalu ke Taiwan sini,” kata Li.

Pilihan pulang ke Taiwan di masa itu juga kadang dicibir oleh Tionghoa perantau lain yang lebih pro-Tiongkok. Apalagi kala itu pemerintah komunis di Tiongkok juga sedang gencar mempromosikan Tiongkok baru. “Katanya, kamu mau ke Taiwan nanti di sana cuma makan kulit pisang. Padahal di sini banyak banget buah pisangnya juga,” kata Li sambil terkekeh mengenang masa itu.

Annie Chin (金翠萍), Sekretaris Jenderal Indonesia Overseas Chinese Association (IOCA) mengatakan para Tionghoa perantau dari Indonesia terus datang setelah gelombang besar di tahun 1960. Untuk memfasilitasi para Tionghoa Indonesia yang baru datang, sejak 1958 asosiasi Tionghoa perantau dari Indonesia sudah dibentuk.

Komunitas Tionghoa Indonesia dalam acara ulang tahun ke-73 Federasi Tionghoa Perantau di Taipei, 12 Oktober 2025. (Sumber foto: CNA)
Komunitas Tionghoa Indonesia dalam acara ulang tahun ke-73 Federasi Tionghoa Perantau di Taipei, 12 Oktober 2025. (Sumber foto: CNA)

“Asosiasi ini saling membantu terutama bagi mereka yang datang kemudian. Karena kan tidak semua bisa Mandarin ketika di Taiwan. Lalu tidak semua punya akses misalnya ke dokter. Dengan adanya asosiasi ini, kami menghadapi situasi sulit ini bersama-sama,” kata Chin.

IOCA sendiri sudah hidup seperti keluarga. Tidak hanya antara sesama anggota IOCA yang notabene berasal dari Indonesia tetapi juga dengan sesama rombongan pulang lain dari Asia Tenggara. Menurut Chin, setiap bulan, kelompok rombongan pulang ini masih sering bertemu untuk rapat. Selain IOCA yang merupakan asosiasi Tionghoa Indonesia ada juga Myanmar, Laos, Kamboja, Malaysia, Thailand, hingga Filipina.

“Untuk IOCA hampir sepekan sekali kami masih sering bertemu di kantor kami di New Taipei. Acaranya ya kumpul-kumpul, karaoke, dan lagunya juga lagu-lagu Indonesia,” kata Chin.

Sama-sama membangun Taiwan

Anthony Tien (田柳昌), Tionghoa perantau asal Indonesia lainnya yang pindah ke Taiwan pada 1966 menyebut acara kumpul-kumpul ini merupakan acara tahunan yang digelar beberapa hari sesudah Hari Nasional Republik Tiongkok 10 Oktober. Menurut Anthony, ini adalah hari ulang tahunnya para Tionghoa perantau yang pulang. 

“Tentunya kalau dikatakan Partai Kuomintang itu, ini satu tempat yang bisa mengakrabkan kita. Semuanya bersama-sama, berjuang demi negara,” kata Anthony.

Komunitas Tionghoa perantau dari Indonesia dalam acara ulang tahun ke-73 Tionghoa Perantau di Taipei, 12 Oktober 2025. (Sumber foto: CNA)
Komunitas Tionghoa perantau dari Indonesia dalam acara ulang tahun ke-73 Tionghoa Perantau di Taipei, 12 Oktober 2025. (Sumber foto: CNA)

Jennifer Tung (童惠珍), Presiden dari Federation of Overseas Chinese Associations mengatakan, Tionghoa perantau punya kontribusi yang besar pada pembangunan Taiwan. Menurut dia, saat membangun pemerintahan baru di Taiwan, rezim Kuomintang banyak dibantu oleh komunitas Tionghoa perantau.

“Karena saat itu Taiwan masih menghadapi masa sulit. Dan pemerintah mengundang 3000 Tionghoa perantau untuk pulang dan membangun kembali Taiwan,” kata Tung yang merupakan Tionghoa perantau dari Amerika Serikat.

Melalui acara kumpul temu seperti ini, federasi yang sudah berusia 73 tahun ini berharap untuk tetap bisa membangun hubungan yang baik antar sesama Tionghoa perantau dan memberikan edukasi kepada generasi Tionghoa perantau selanjutnya agar tetap terhubung dan tidak kehilangan akar ke-Tionghoa-annya.

Seperti lagu "國家" yang mereka nyanyikan di akhir acara, Atjong, Li, Chang, Anthony, dan banyak Tionghoa perantau dari Indonesia yang sezaman, loyal pada ke-Tionghoa-an mereka. Patriotik seperti muatan liriknya, yang menegaskan nasionalisme Tionghoa dan kesetiaan terhadap Republik Tiongkok (Taiwan) sebagai pewaris sah “Tiongkok Raya,” dengan simbol kuat 青天白日滿地紅 (langit biru, matahari putih, tanah merah) — bendera nasional ROC. Namun secara emosional, sekaligus tak memutus rasa cinta mereka pada tanah kelahiran, Indonesia. "Hatinya tetap di Indonesia," mengulang kata Li.

Selesai/JA

How mattresses could solve hunger
0:00
/
0:00
Kami menghargai privasi Anda.
Fokus Taiwan (CNA) menggunakan teknologi pelacakan untuk memberikan pengalaman membaca yang lebih baik, namun juga menghormati privasi pembaca. Klik di sini untuk mengetahui lebih lanjut tentang kebijakan privasi Fokus Taiwan. Jika Anda menutup tautan ini, berarti Anda setuju dengan kebijakan ini.
Diterjemahkan oleh AI, disunting oleh editor Indonesia profesional.