Taipei, 13 Okt. (CNA) Industri-industri Taiwan dapat menghadapi gangguan signifikan akibat pengetatan kontrol ekspor unsur tanah jarang oleh Tiongkok, karena sebagian besar pasokan pulau tersebut secara tidak langsung bergantung pada material Negeri Tirai Bambu yang diproses di Jepang, kata seorang pakar lokal pada Minggu (12/10).
Kristy Hsu (徐遵慈), direktur Pusat Studi ASEAN Taiwan di Chung-Hua Institution for Economic Research, mengatakan langkah ekspor terbaru Tiongkok ini jauh melampaui penargetan Amerika Serikat (AS) dan kemungkinan akan memengaruhi negara mana pun yang menggunakan tanah jarang atau teknologi terkait Tiongkok.
Dengan Jepang dan negara-negara Asia Tenggara termasuk yang diperkirakan akan terdampak, Taiwan dapat merasakan dampaknya melalui ketergantungannya pada produk setengah jadi dan komponen buatan Jepang yang sering kali melibatkan tanah jarang atau proses pemurnian yang bersumber dari Tiongkok, kata Hsu.
Pada 9 Oktober, Tiongkok mengumumkan pembatasan ekspor baru yang luas, mewajibkan perusahaan di seluruh dunia untuk memperoleh lisensi jika produk mereka mengandung lebih dari 0,1 persen nilai material tanah jarang asal Tiongkok. Aturan baru ini juga menempatkan teknologi semikonduktor, kecerdasan buatan, dan pertahanan di bawah tinjauan ketat secara kasus per kasus.
Menurut Hsu, cakupan aturan terbaru Beijing sangat mirip dengan "Aturan Produk Langsung Asing" (FDPR) AS, yang digunakan Washington untuk mengatur penggunaan global teknologi Amerika.
Ia mencatat bahwa langkah Tiongkok ini menandai eskalasi besar dari pembatasan sebelumnya, baik dari segi cakupan maupun potensi jangkauan globalnya.
Jika diterapkan sepenuhnya, langkah-langkah ini dapat memicu lonjakan harga yang lebih tajam dan penimbunan yang lebih agresif di pasar global, tambah Hsu.
Kecuali Tiongkok kemudian menyesuaikan kebijakannya, dampak keseluruhan akan sangat besar -- meskipun seberapa ketat Beijing akan menerapkan aturan baru ini masih belum pasti, katanya.
Menurut data Survei Geologi AS (USGS), Tiongkok memproduksi 270.000 ton tanah jarang pada 2024, menyumbang hampir 70 persen dari produksi global, jauh di depan Amerika yang memproduksi 45.000 ton, atau sekitar 11 persen dari total.
Tiongkok menguasai hampir 90 persen kapasitas pemurnian tanah jarang global, dengan pengaruh signifikan di pasar dunia, kata para pelaku bisnis.
Selesai/IF