Oleh Mira Luxita staf reporter CNA
Siti Fatimah, seorang pakar kesehatan mental pemilik Yayasan Cintai Diri Indonesia menuturkan kepada CNA bahwa berencana membangun komunitas pekerja migran Indonesia (PMI) dengan mengadakan kelas-kelas ringan mengenai kesehatan mental dan manajemen emosi.
Wanita yang akrab dipanggil Sifat ini adalah pendiri Yayasan Cintai Diri Indonesia yang sering diundang untuk memberikan kelas, seminar atau pendampingan mengenai kesehatan mental di Indonesia, menurut keterangan yang didapat CNA dari yayasan tersebut.
Kini, yayasan tersebut ingin mengembangkan sayapnya untuk melayani masyarakat, khususnya diaspora Indonesia, dalam mengenal, memahami, dan mencintai dirinya sendiri melalui edukasi, komunitas suportif, dan layanan pendampingan, ujar Sifat yang kini mengenyam pendidikan doktoral di Taipei Medical University.
"Kami percaya bahwa setiap individu memiliki hak untuk merasa utuh, berdaya, dan diterima. Fokus kami tidak hanya pada kesehatan mental, tetapi juga pada pembangunan karakter dan relasi yang sehat, dimulai dari relasi dengan diri sendiri," ungkap wanita asal Jawa Tengah ini.
Dalam wawancaranya bersama CNA, Sifat mengungkapkan PMI di Taiwan adalah pejuang keluarga, namun di balik ketangguhan mereka, banyak yang menyimpan kelelahan fisik dan emosional. Perbedaan bahasa, nilai budaya, serta pola kerja yang padat bisa membuat mereka merasa kesepian, terisolasi, bahkan tidak jarang mengalami tekanan mental.
"Tidak mudah menjalani hidup di negeri orang tanpa dukungan sosial yang memadai. Karena itu, memahami konteks ini sangat penting agar kita bisa hadir bukan hanya sebagai pengamat, tetapi juga pendamping," ungkap wanita yang menyukai pendakian gunung ini.
"Saya memiliki rencana besar untuk berkontribusi. Rencananya adalah membangun komunitas kecil yang aman dan suportif bagi PMI di Taiwan, dengan mengadakan sesi-sesi refleksi, sharing, serta kelas-kelas ringan mengenai kesehatan mental dan manajemen emosi," ungkap Sifat.
"Saya juga berharap bisa menjalin kerja sama lintas organisasi dan memperluas jaringan konselor sebaya (peer counselor) dari kalangan PMI sendiri, sehingga bantuan lebih mudah dijangkau dan terasa relevan secara budaya," tambahnya.
Saat ditanya hal-hal apa saja yang sering menjadi beban para imigran yang tinggal di negara asing, Sifat mengungkapkan bahwa rasa rindu kampung halaman, tekanan pekerjaan, keterbatasan akses komunikasi dengan keluarga, perasaan tidak dianggap atau dipahami, dan ketakutan akan masa depan adalah hal-hal yang menjadi kekhawatiran para imigran.
Untuk mengatasinya, menurutnya, penting bagi para imigran untuk membangun sistem pendukung di tempat tinggal mereka, yang meski kecil, namun konsisten. Selain itu, belajar mengenal diri, mengekspresikan emosi, dan mengatur harapan terhadap diri sendiri juga dapat sangat membantu. Mendapatkan informasi tentang hak-hak mereka dan layanan yang tersedia juga bisa memperkuat rasa aman dan kendali dalam hidup, terangnya.
Sifat pun memberikan pesan khusus pada PMI agar tetap kuat.
"Untuk semua PMI, terima kasih sudah kuat sejauh ini. Perjuangan kalian tidak kecil, dan keberadaan kalian sangat berarti. Namun ingatlah, menjadi kuat tidak berarti harus menahan semuanya sendiri. Tidak apa-apa merasa lelah, tidak apa-apa menangis, dan tidak apa-apa meminta bantuan," tutur wanita yang menimba dunia ilmu kesehatan mental ini.
"Kamu layak untuk merasa tenang, didengar, dan dicintai. Terutama oleh dirimu sendiri. Mari belajar mencintai diri bukan karena egois, tapi karena dari situlah semua kekuatan dan harapan bermula. Saya mewakili Yayasan Cintai Diri Indonesia siap berjalan bersamamu, setahap demi setahap," tutur Sifat mengakhiri perbincangan dengan CNA.
Selesai/JC