Oleh Teng Pei-ju dan Muhammad Irfan, reporter staf CNA
“Kami sudah terlalu lama mendapatkan versi Taiwan dari PKC dan KMT,” tegas jurnalis veteran Amerika Chris Horton, dengan niat penuh untuk menolak klaim teritorial Beijing atas Taiwan.
Dalam bukunya yang baru, "Ghost Nation: The Story of Taiwan and its Struggle for Survival," Horton juga mengkritik Kuomintang (KMT), yang saat ini merupakan partai oposisi terbesar di Taiwan, atas pemerintahan otoriternya di masa lalu dan sikap pro-Beijing saat ini.
Ia menggambarkan baik Partai Komunis Tiongkok (PKC) maupun KMT sebagai pihak yang memandang orang Taiwan sebagai ras Tionghoa dan mendukung unifikasi, Horton mengatakan bukunya bertujuan untuk menyajikan Taiwan melalui sudut pandang yang benar-benar Taiwan.
“Saya ingin menegaskan dengan sangat cepat bahwa Taiwan bukanlah Tiongkok dan bahwa ini adalah sebuah negara,” kata Horton, yang pindah ke Taiwan pada 2015 setelah 15 tahun di Tiongkok dan Hong Kong, tentang pendekatannya dalam menulis buku yang diterbitkan pada pertengahan Juli itu.
“Ada berbagai daerah dan kota dengan kepribadian, sejarah, dan cerita mereka sendiri,” katanya tentang Taiwan, pengetahuan tentang keunikan lokal ia didapat dari satu dekade peliputan dan tur sepeda mandiri di seluruh pulau.
Selama 10 tahun terakhir di Taiwan, jurnalis berusia 48 tahun ini sebagian besar bekerja sebagai pekerja lepas, berkontribusi untuk New York Times dan media asing lainnya, serta sempat menjadi reporter pasar keuangan untuk Bloomberg.
Menelusuri transformasi Taiwan
Ditulis untuk khalayak internasional umum, "Ghost Nation" menelusuri transformasi Taiwan selama empat abad terakhir melalui sejarah politik, budaya, dan masyarakat yang saling terkait.
Buku ini menelaah evolusi identitas nasional dan institusi Taiwan, menyoroti mengapa sejarah ini sangat penting untuk memahami posisi negara yang genting dalam geopolitik global saat ini, khususnya di tengah persaingan AS-Tiongkok dan ambisi Beijing yang semakin besar untuk mencaplok Taiwan.
Buku ini juga mengulas kembali perjuangan panjang Taiwan untuk menentukan nasib sendiri, yang berawal dari masa kolonial Jepang, ketika segmen masyarakat yang terdidik mulai menuntut partisipasi lebih besar dalam pemerintahan pulau tersebut.
Pergulatan atas kesadaran ke-Taiwan-an seperti itu masih bertahan hingga hari ini, melewati penindasan mematikan terhadap protes di seluruh pulau melawan pemerintahan KMT pada 1947 -- yang kemudian dikenal sebagai Insiden 228 -- dan era darurat militer berikutnya, di mana KMT mempertahankan rezim teror selama hampir empat dekade.
Baru pada tahun 1987 pemerintah KMT mencabut darurat militer di Taiwan, setelah bertahun-tahun menekan gerakan pro-demokrasi yang muncul pada akhir 1970-an.
Taiwan kemudian menggelar pemilihan presiden langsung pertamanya pada tahun 1996.
Saat demokrasi menutup mata
Saat ini, Horton mengamati, Taiwan, sebuah demokrasi dengan kebebasan sipil yang kuat dan perkembangan teknologi yang maju, semakin menegaskan suaranya sendiri di panggung global -- meskipun menghadapi ancaman eksistensial yang semakin besar dari tekanan militer dan politik Tiongkok.
Namun, tambahnya, upaya Beijing yang semakin intens untuk mengisolasi Taiwan dan merongrong kedaulatannya tidak akan berhasil tanpa persetujuan diam-diam dari negara-negara demokrasi lainnya.
Ia mengambil contoh dari pengalamannya sendiri, mengingat para editor yang secara eksplisit memerintahkannya untuk tidak pernah menyebut Taiwan sebagai negara, sebuah praktik yang menurut mantan wakil ketua Taiwan Foreign Correspondents' Club itu cukup umum di industri ini.
Dalam bisnis yang dibangun di atas fakta, tambah sang reporter, Taiwan -- dengan populasi sebanding dengan Australia dan luas wilayah lebih besar dari Belgia -- seringkali hanya disebut sebagai “sebuah pulau” demi menghindari kemarahan Beijing.
“Normalisasi absurditas” seperti itu berdampak pada Horton, yang selama bertahun-tahun mengubah sudut pandangnya pada Taiwan dari yang semula sebagai pilihan cadangan menjadi seorang advokat yang vokal untuk kedaulatan Taiwan.
Sebuah negara dalam bayang-bayang
Horton mulai menulis "Ghost Nation" empat tahun lalu, memanfaatkan wawancara dengan politisi dan cendekiawan terkemuka di Taiwan dan luar negeri, termasuk mantan Presiden Lee Teng-hui (李登輝) dan Tsai Ing-wen (蔡英文).
Ia mengaitkan judul bukunya dengan nasib internasional Taiwan, menyamakan pulau itu dengan arwah gentayangan selama Bulan Hantu -- sebuah festival di masyarakat berbahasa Tionghoa ketika arwah orang mati diyakini berkeliaran di antara yang hidup, namun tetap dijauhi.
"Ghost Nation" juga terinspirasi dari istilah guidao (鬼島), secara harfiah berarti "pulau hantu", yang digunakan secara merendahkan oleh seorang mantan pejabat KMT pada 2009 untuk menggambarkan Taiwan, namun kemudian diadopsi secara luas oleh masyarakat sebagai istilah penuh kasih sayang.
Horton mengatakan Taiwan sepantasnya mendapat pengakuan sebagai negara berdaulat yang independen dengan kursi sendiri di Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Taiwan, secara resmi bernama Republik Tiongkok, kehilangan kursi PBB-nya pada tahun 1971 -- sebuah momen besar yang memicu gelombang pemutusan hubungan diplomatik, termasuk dengan Jepang pada 1972 dan Amerika Serikat pada 1979.
Negara ini kini hanya memiliki 12 sekutu diplomatik, setelah Tiongkok menarik 10 mitranya selama sembilan tahun terakhir di bawah pemerintahan Partai Progresif Demokratik -- yang ditentang Beijing dan dicap sebagai kekuatan “Pro-kemerdekaan”.
“Taiwan seharusnya bukan titik api; seharusnya hanya menjadi anggota lain dari komunitas global,” kata Horton. “Dunia demokrasi harus mendukung Taiwan.”
Selesai/ML