Taipei, 25 Okt. (CNA) Koalisi masyarakat sipil dari Taiwan dan Indonesia dalam sebuah konferensi pers Jumat (25/10) menyatakan mereka menilai adanya pembiaran dari pemerintah baik di Indonesia dan Taiwan terkait buruknya kondisi nelayan migran, terutama terkait hak gaji.
Hariyanto Suwarno, Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) yang mewakili koalisi mengatakan pembiaran dari pemerintah Indonesia dan Taiwan pada buruknya kondisi kerja pekerja migran, seperti nelayan migran, dilihat dari lemahnya penanganan yang dilakukan pemerintah.
Soalnya, data dari lembaga swadaya masyarakat yang ada begitu jelas menunjukkan adanya pelanggaran hak pekerja migran, kata Hariyanto, yang menyebut pemerintah Indonesia dan Taiwan tentu juga tahu data dan kondisi ini.
Mengutip data yang dipaparkan Hariyanto, sepanjang 2019 sampai 2023 ada 774 kasus yang menimpa nelayan migran di Taiwan, baik di kapal berbendera Taiwan maupun yang berbendera Vanuatu atau Fiji tetapi dimiliki agensi atau pemilik berkewarganegaraan Taiwan.
Dari data itu, kebanyakan kasus, yakni 66,1 persen, terkait dengan tidak dapatnya gaji atau yang disebut SBMI sebagai pencurian upah; 15,9 persen terkait dengan tindak pidana perdagangan orang; 2,6 persen meninggal di atas kapal dengan jenazahnya ada yang dikembalikan ke Indonesia dan dilarung di perairan lepas; serta 5,6 persen kasus gagal berangkat karena penipuan agensi di Indonesia.
"Data yang disampaikan mencerminkan persoalan nelayan migran yang berbendera Taiwan terus terjadi dari tahun ke tahun dan dari persoalan tahun ke tahun, persoalannya sama dan semakin menguat," kata Hariyanto.
Temuan yang terakhir, kasus ABK migran tidak hanya juga terjadi pada nelayan migran yang bekerja di teritorial Taiwan, khususnya kapal teritori yang menangkap cumi, ungkapnya.
"Kami menemukan di beberapa pelabuhan, kontrak nelayan selama tiga tahun. Tetapi faktanya ketika sampai di Taiwan dipekerjakan musiman selama empat lima bulan dan sisanya tidak bekerja, tidak digaji, dan tidak mendapatkan makanan. Ada beberapa yang dapat tempat tinggal di mess agen, tetapi harus membayar satu hari NT$100 sampai NT$200 tanpa makan, selebihnya tinggal di kapal. Masalah utamanya ABK ini sebelum berangkat tidak pernah dikasih tahu agensi bahwa di Taiwan akan dipekerjakan secara musiman. Di Taiwan banyak ABK yang belum dapat pekerjaan, tetapi agensi di Indonesia tetap mengirim ABK ke Taiwan. Ini membuat situasi makin buruk," kata dia.
Oleh karena itu, menurut Hariyanto, nota kesepahaman yang mengatur hak pekerja migran sangat mendesak. Selain itu, dialog mengenai hal tersebut juga harus melibatkan semua pihak baik dari pekerja, serikat buruh, LSM, dan masyarakat sipil, sehingga jadi langkah yang progresif dalam dialog ini, kata dia.
Kondisi miris nelayan migran
Sementara itu, Hadi dari serikat nelayan migran Pingtung, Forum Silaturahmi Pelaut Indonesia (FOSPI), menyebut nota kesepahaman ini penting ditandatangani agar Taiwan dan Indonesia mengedepankan hak-hak pekerja migran.
Hadi, yang menghabiskan 18 tahun bekerja di Taiwan, menyebut para migran dimanfaatkan untuk kebutuhan industri, namun hak-haknya sering dilanggar.
Misalnya, kata dia, beberapa di antara mereka mesti bekerja lebih dari 20 jam dalam sehari tanpa perlindungan kesehatan dan keamanan yang memadai, tidak mendapatkan hak air bersih dan makan, hingga dokumen yang ditahan agensi perekrut di Taiwan.
“Selain itu, industri tidak membayar biaya rekrutmen kami sehingga kami sering terjebak hutang. Kami juga bekerja dalam isolasi total di laut,” kata Hadi.
Oleh karena itu, Hadi meminta nota kesepahaman yang sedang dinegosiasikan antara Taiwan dan Indonesia mencakup semua pekerja migran, termasuk nelayan.
“Kami membutuhkan pemerintah Indonesia dan Taiwan untuk menandatangani MOU (nota kesepahaman) yang memberikan perlindungan kuat bagi pekerja migran termasuk nelayan,” kata Hadi.
Kerja paksa
Lennon Wong (汪英達), Direktur Departemen Kebijakan Pekerja Migran di Serve the People Association (SPA), menyatakan semua pelanggaran mengejutkan yang pihaknya temukan terhadap pekerja migran dari semua sektor berbeda-beda di Taiwan, menunjukkan bahwa kerja paksa jelas merupakan kondisi sistematis.
Dalam sektor perikanan, misalnya, Wong mengatakan pihaknya melihat gaji nelayan perairan jauh sebagian besar masih dibayarkan melalui calo dan belum ada regulasi untuk memastikan akses Wi-Fi bagi lebih dari 20.000 nelayan migran perairan jauh.
"Kami menyerukan kepada pemerintah Taiwan untuk menunjukkan kemauan politik mereka untuk mulai mengubah serangkaian kondisi kerja paksa yang sistematis dan bekerja sama dengan semua pemangku kepentingan lainnya yang mencakup serikat pekerja dan organisasi sipil untuk pekerja migran, pengusaha, merek dan pengecer (terutama untuk industri perikanan), pemerintah negara pengirim migran dan negara terkait lainnya untuk bekerja sama," ucap Wong.
SPA memahami bahwa semua permasalahan mungkin tidak dapat diselesaikan sekaligus, kata dia, oleh karena itu pihaknya mengajak semua pihak untuk berdedikasi dan menyumbangkan tenaga untuk menyelesaikannya.
Forum Lintas-Kawasan
Sebelumnya, Forum Lintas-Regional yang terdiri dari sejumlah organisasi sipil di Asia Timur dan Tenggara bertemu di Taipei pada hari Rabu dan Kamis, menyatakan komitmen untuk memperkuat kerja sama regional dalam hal hak asasi manusia, demokrasi, dan perlindungan hak migrasi.
Baca juga Koalisi desak nota kesepahaman Indonesia-Taiwan lindungi hak pekerja migran
Forum yang digelar Better Engagement Between East and Southeast Asia (BEBESEA) itu membahas dinamika dan ketidakstabilan geopolitik yang menyebabkan meningkatnya migrasi tidak sukarela, dan munculnya otoritarianisme, serta menyusutnya ruang demokrasi, yang berdampak pada promosi dan perlindungan hak-hak migran di Asia Timur dan Asia Tenggara.
Menurut pengantar forum tersebut, para migran di seluruh kawasan menghadapi kurangnya representasi politik, sosial, dan budaya komunitas migran di masyarakat, yang menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia. Selama dekade terakhir, para nelayan migran, misalnya, terbukti mengalami pelanggaran dan eksploitasi hak asasi manusia.
Terkait hal ini, forum tersebut menyatakan akan mendesak pengembangan nota kesepahaman tentang perlindungan nelayan migran antara Indonesia dan otoritas Taiwan serta Pedoman ASEAN tentang Penempatan dan Perlindungan Nelayan Migran.
Selain Hariyanto dari SBMI, Hadi dari FOSPI, dan Wong dari SPA, turut menjadi pembicara Daniel Awigra, Direktur Eksekutif Human Rights Watch Group; Mariko Hayashi, Co-Founder BEBESEA; dan Jeremia Humolong Prasetya, dari Indonesian Ocean Justice Initiative (IOJI).
Selesai/JC