Taipei, 25 Okt. (CNA) Koalisi masyarakat sipil dari Taiwan dan Indonesia mendesak agar otoritas Taiwan dan Indonesia menandatangani nota kesepahaman (MoU) soal pekerja migran yang mengatur dan melindungi hak pekerja migran, di antaranya mengakui nelayan migran sebagai pekerja migran.
Dalam konferensi pers di Taipei, Jumat (25/10), Daniel Awigra, Direktur Eksekutif Human Right Watch Group (HRWG), mengatakan perlunya MoU ini disimpulkan dalam Forum Lintas-Regional: Mempromosikan Hak-Hak Orang yang Bermigrasi di Asia Timur dan Tenggara yang digelar Rabu hingga Kamis di Taipei.
Dalam forum yang diselenggarakan Better Engagement Between East and Southeast Asia (BEBESEA) itu, ada sekitar 50 perwakilan dari berbagai organisasi masyarakat sipil dan pembela hak individu dari 14 negara.
Mereka bekerja untuk hak asasi manusia bagi para migran, pengungsi, orang-orang tanpa kewarganegaraan dan tidak berdokumen, serta pekerja, salah satunya Chi Chi Hui-jung (紀惠容) dari Komisi Hak Asasi Manusia Nasional Taiwan.
Menurut Daniel, perlunya menyamakan status nelayan migran sebagai pekerja migran adalah agar mereka mendapat hak dan perlindungan yang sama dengan pekerja migran lainnya.
Daniel menyebut hak-hak nelayan migran dan langkah-langkah perlindungan perlu ditetapkan tidak hanya oleh Indonesia dan Taiwan, tetapi juga negara-negara anggota ASEAN yang ditetapkan dalam Pedoman ASEAN.
“Deklarasi dan Pedoman dapat menjadi rujukan bagi para pemangku kepentingan terkait, pemerintah negara penerima nelayan, termasuk pemilik kapal penangkap ikan untuk meningkatkan perlindungan hak asasi manusia, karena anggota ASEAN merupakan negara sumber daya mayoritas nelayan migran,” kata Daniel.
Langkah-langkah perlindungan yang ditetapkan dalam Pedoman ASEAN diatur prinsip-prinsip berbasis hak, nondiskriminasi, peka dan tanggap gender, serta inklusif dan dukungan yang ditargetkan untuk nelayan migran, termasuk migran tidak berdokumen dan yang dalam krisis, ujar dia.
Selain itu, kata Daniel, prinsipnya mesti berbasis transparansi, integritas, dan akuntabilitas; partisipasif, representasif, dan mewadahi suara dan agensi nelayan migran juga seluruh pemerintahan dan seluruh masyarakat; mengedepankan tanggung jawab bersama; kebijakan dan program berbasis bukti; serta kemitraan dan kolaborasi.
Dalam forum tersebut, koalisi masyarakat sipil menyatakan bahwa nelayan migran memainkan peran utama dalam pertumbuhan industri perikanan di Taiwan.
Peran nelayan migran pada industri perikanan Taiwan
Menurut Laporan Tahunan Statistik Perikanan Republik Tiongkok (Taiwan) 2022 yang dirilis pada 2023 oleh Direktorat Jenderal Perikanan, total 21.811 nelayan migran bekerja di kapal penangkap ikan perairan jauh (DWF), dan 11.250 di atas armada penangkapan ikan perairan pesisir Taiwan.
Laporan tersebut menunjukkan Indonesia mendominasi jumlah ini, diikuti Filipina dan Vietnam.
Menurut Daniel, banyaknya nelayan migran yang bekerja di sektor ini memungkinkan Taiwan untuk memegang posisi strategis dalam industri perikanan global.
Namun, koalisi menilai eksploitasi tenaga kerja dan pelanggaran hak asasi manusia yang dialami nelayan migran di industri perikanan Taiwan selama satu dekade, baik di armada penangkapan ikan domestik maupun perairan jauh, tidak dapat diterima.
Hal ini menunjukkan kelalaian serius terhadap pelanggaran hak asasi manusia serta kurangnya komitmen dan tindakan nyata dari otoritas Indonesia dan Taiwan untuk menyelesaikan masalah menuju solusi progresif, kata koalisi.
Oleh karena itu, perwakilan Koalisi menghadiri Forum Lintas Kawasan BEBESEA yang menuntut otoritas Indonesia dan Taiwan untuk mengintensifkan pembahasan kebijakan yang mengarah kepada penyusunan MoU tentang perlindungan nelayan migran Indonesia di kapal penangkap ikan Taiwan.
Jeremia Humolong Prasetya, Manajer Program dari Indonesian Ocean Justice Initiative (IOJI) menyatakan penting untuk ditegaskan bahwa pembahasan yang mengarah pada penyusunan MoU, khususnya untuk penangkapan ikan jarak jauh Taiwan, harus mempertimbangkan Proposal dan Tuntutan Serikat Pekerja yang telah disampaikan dan dikomunikasikan secara konstruktif kepada kedua otoritas sejak Maret lalu.
Sebagai pokok bahasan utama, Koalisi menuntut dimasukkannya hak-hak dasar buruh dan pekerjaan yang layak, kebebasan berserikat, perjanjian tawar-menawar kolektif, penyediaan Wi-Fi di kapal, upah yang adil, penanganan keluhan, dan akuntabilitas pemberi kerja untuk perekrutan tenaga kerja.
Ini termasuk biaya perekrutan dan biaya terkait yang dibayar penuh oleh pemberi kerja untuk melindungi nelayan migran, menurut Koalisi.
“Pengaturan ini harus dibangun berdasarkan standar hak asasi manusia dan ketenagakerjaan internasional untuk memastikan bahwa hak asasi manusia nelayan dilindungi selama fase migrasi mereka, termasuk di laut,” kata Jeremia.
Taiwan lokasi yang ideal
Forum lintas kawasan ini juga membahas situasi dan kekhawatiran terkini dari orang-orang yang bermigrasi, dinamika dan ketidakstabilan geopolitik yang menyebabkan lebih banyak migrasi tidak sukarela, munculnya otoritarianisme, dan menyusutnya ruang demokrasi, yang semuanya berdampak pada promosi dan perlindungan hak-hak migran di kawasan tersebut.
Dalam konteks tersebut, para pemimpin masyarakat sipil yang berpartisipasi dalam forum tersebut menegaskan kembali pentingnya kerja sama dan solidaritas regional terhadap akuntabilitas pemerintah dalam melindungi demokrasi dan hak asasi manusia.
“Kami memilih Taiwan sebagai lokasi ideal untuk menyelenggarakan forum ini karena letak geografisnya yang menghubungkan Asia Timur dan Asia Tenggara serta lingkungan politik yang memungkinkan kami untuk membahas beberapa isu sensitif terkait hak asasi manusia dan demokrasi di kawasan ini dengan aman,” kata Mariko Hayashi, Co-founder dari BEBESEA.
Selesai/JC