Taipei, 14 Des. (CNA) Kaukus Partai Progresif Demokratik (DPP) yang berkuasa di Taiwan pada Jumat (12/12) berjanji memberikan dukungan penuh terhadap setiap langkah balasan yang diambil oleh Kabinet sebagai respons terhadap amandemen kontroversial yang didukung oposisi terhadap undang-undang alokasi pendapatan pemerintah, yang akan mengalokasikan lebih banyak dana ke pemerintah daerah.
Fraksi tersebut membuat janji tersebut setelah pertemuan dengan Presiden Lai Ching-te (賴清德) yang diadakan hari Jumat.
Pertemuan itu berlangsung setelah oposisi Kuomintang (KMT) dan Partai Rakyat Taiwan (TPP) pada 5 Desember menolak mosi Kabinet yang meminta Legislatif untuk mempertimbangkan kembali amandemen undang-undang tersebut, yang telah disahkan kedua partai itu dengan mayoritas gabungan mereka bulan lalu.
Semua 51 anggota legislatif DPP menghadiri pertemuan dengan Lai, kata Direktur Jenderal Fraksi DPP Chung Chia-pin (鍾佳濱) kepada wartawan. Sekretaris Jenderal Kabinet Xavier Chang (張惇涵) juga hadir.
Di bawah amandemen Undang-Undang Pengelolaan Alokasi Pendapatan dan Pengeluaran Pemerintah, pemerintah daerah akan menerima bagian yang lebih besar dari pendapatan pemerintah pusat setiap tahunnya.
Namun, Kabinet berpendapat bahwa amandemen tersebut "tidak dapat diimplementasikan," karena akan memaksa pemerintah pusat untuk meningkatkan pinjaman untuk anggaran umum tahun 2026 sebesar NT$264,6 miliar (Rp140,3 triliun), sehingga melampaui batas utang yang ditetapkan undang-undang.
Masalah ini, kata Chung, juga menghambat peninjauan anggaran umum tahun fiskal 2026 di Legislatif.
Chung mengatakan bahwa dengan Mahkamah Konstitusi lumpuh, Lai telah meminta Perdana Menteri Cho Jung-tai (卓榮泰) untuk mempertimbangkan tidak menandatangani amandemen tersebut, dalam hal ini presiden tidak akan dapat mengesahkan undang-undang tersebut.
Anggota legislatif DPP secara bulat sepakat untuk mengikuti arahan presiden dalam bekerja sama dengan perdana menteri untuk melawan apa yang mereka anggap sebagai undang-undang yang berpotensi "inkonstitusional" yang disahkan oleh oposisi, kata Chung.
Wu Szu-yao (吳思瑤), yang memimpin Komite Kebijakan DPP, mengatakan opsi yang dibahas termasuk tidak menandatangani langkah tersebut atau menandatanganinya, tetapi menolak untuk melaksanakannya.
Kedua opsi tersebut tetap berada dalam batas konstitusional, kata Wu, seraya menambahkan bahwa fraksi DPP akan memberikan "dukungan penuh" kepada Kabinet dan berupaya menjelaskan masalah ini kepada publik.
Sebelumnya hari Jumat, Lai mengatakan kepada wartawan di Tainan bahwa amandemen tersebut, bersama dengan pemblokiran oposisi terhadap anggaran pertahanan khusus sebesar NT$1,25 triliun (Rp668,7 triliun), telah merusak keamanan nasional, stabilitas sosial, keberlanjutan fiskal, dan hak sipil.
"Dalam situasi suram ini, adalah kewajiban saya untuk bertemu dengan fraksi legislatif DPP untuk membahas bagaimana merespons," kata Lai.
Setelah anggota legislatif oposisi menolak mosi peninjauan kembali dari Kabinet, Cho mengatakan ia "tidak berada di bawah tekanan untuk melaksanakan" amandemen tersebut, dengan alasan adanya cacat prosedural dalam peninjauannya.
Pernyataan itu mendapat kritik tajam dari oposisi, dengan fraksi KMT mengancam akan mengajukan mosi mengecam perdana menteri.
Mahkamah Konstitusi, yang saat ini hanya memiliki delapan hakim yang aktif, telah lumpuh sejak Januari 2025, ketika revisi hukum mulai berlaku. Undang-undang yang didorong oleh KMT dan TPP mengharuskan setidaknya 10 hakim agung untuk berpartisipasi dalam musyawarah dan sembilan untuk menyetujui putusan inkonstitusional.
Sebelumnya, dua pertiga dari hakim yang aktif diperlukan untuk bermusyawarah, dan mayoritas sederhana untuk memutuskan.
Pada bulan Juli, anggota legislatif oposisi juga memveto semua tujuh calon Presiden Lai untuk mengisi kekosongan di Mahkamah Konstitusi yang beranggotakan 15 orang.
Selesai/ja