Oleh Teng Pei-ju dan Muhammad Irfan, reporter staf CNA
Taiwan membuka "Front baru" dalam menghadapi ancaman dari Tiongkok—yakni melalui pendidikan di ruang kelas—dengan tujuan menumbuhkan rasa identitas nasional dan kesadaran atas ancaman dari Beijing. Namun, sejumlah akademisi memperingatkan bahwa langkah ini bisa mengaburkan batas antara pendidikan dan indoktrinasi politik.
Pemerintahan Partai Progresif Demokratik (DPP) sebelumnya telah berupaya untuk lebih menekankan Taiwan dan mengurangi penekanan pada Tiongkok dalam kurikulum lokal, namun inisiatif baru ini melangkah lebih jauh, dengan mengaitkan isu keamanan nasional dan keinginan pemerintah untuk meningkatkan kesadaran tentang Tiongkok ke dalam ranah pendidikan.
Menteri Pendidikan Cheng Ying-yao (鄭英耀) mengatakan kepada anggota parlemen pada pertengahan April bahwa kementeriannya sedang mengembangkan materi ajar yang bertujuan memperkuat identitas nasional, termasuk dengan menunjukkan kepada siswa bagaimana menafsirkan ancaman dari Tiongkok.
"Jika tidak ada keamanan bagi negara, maka tidak ada keselamatan bagi individu," kata Cheng, mengindikasikan bahwa pemerintah melihat ruang kelas sebagai bagian penting dalam pertahanan terhadap ancaman terhadap keamanan dan kedaulatan nasional.
"Apa yang kami harapkan untuk diberikan kepada siswa adalah perspektif sejarah yang akurat serta informasi dan pengetahuan yang akurat, bukan konsep rancu yang mudah disalahgunakan untuk menyebarkan disinformasi,” ujarnya.
Materi tambahan untuk kelas kewarganegaraan di sekolah menengah atas yang dibicarakan Cheng sedang dikembangkan oleh tim akademisi dan guru dan diharapkan siap musim panas ini, kata perwakilan dari Administrasi Pendidikan K-12 (K12EA) Kementerian Pendidikan kepada CNA.
Sumber tersebut mengatakan inisiatif ini sejalan dengan kurikulum yang ada, namun tidak memberikan banyak detail lain tentang rencana tersebut atau contoh istilah, bahasa, atau konten spesifik yang akan digunakan untuk membangun identitas nasional.
Kurikulum mencerminkan politik
Dalam wawancara baru-baru ini dengan CNA, Tseng Kuan-chiu (曾冠球), profesor di Departemen Pendidikan Kewarganegaraan dan Kepemimpinan di National Taiwan Normal University, mengatakan bahwa pendidikan selalu menjadi sarana bagi mereka yang berkuasa di mana pun untuk membentuk identitas nasional.
Tentu saja di Taiwan, kurikulum sekolah telah lama mencerminkan perubahan kekuasaan politik.
Saat DPP pertama kali berkuasa pada tahun 2000, mereka mendorong perspektif yang lebih berfokus pada Taiwan dan menekankan sejarah lokal.
Namun saat Kuomintang (KMT) kembali berkuasa pada 2008, kurikulum direvisi untuk kembali menonjolkan pandangan yang berpusat pada Tiongkok.
Hal ini kemudian dibalik kembali oleh DPP saat mereka kembali berkuasa pada 2016 dengan menempatkan sejarah Tiongkok dalam konteks Asia Timur secara umum.
Tseng memandang bahwa inisiatif terbaru dari Kementerian Pendidikan merupakan bagian dari upaya luas pemerintah DPP untuk memperkuat “Ketahanan demokrasi Taiwan” terhadap pengaruh eksternal dan untuk membangun kohesi internal.
"Itu seperti ketika taifun datang, dahan pohon mungkin akan membengkok tapi tidak akan patah — ia akan kembali tegak," kata Tseng, seraya mencatat bahwa demokrasi yang tangguh mungkin akan merasakan guncangan dari rezim otoriter, namun masyarakat akan tahu bagaimana menilai, merefleksikan, dan meresponsnya secara efektif.
Inisiatif Kementerian Pendidikan sejalan dengan berbagai strategi yang diumumkan Presiden Lai Ching-te (賴清德) pada bulan Maret untuk melawan apa yang ia gambarkan sebagai ancaman dari Tiongkok, termasuk infiltrasi, spionase, aktivitas Front Bersatu, dan perang kognitif, dengan langkah-langkah yang mencakup sektor militer, ekonomi, dan pendidikan.
Kekhawatiran akademisi
Dalam konferensi pers pada bulan Maret, Lai meminta Kementerian Pendidikan dan lembaga lain "Bekerja sama untuk secara komprehensif memperkuat literasi siswa muda tentang Tiongkok dan memperdalam pemahaman mereka tentang pertukaran lintas selat," dengan tujuan membantu mereka "Memiliki lebih banyak kepercayaan pada masa depan bangsa."
Namun, Tseng memperingatkan terhadap "Pendidikan cuci otak," menekankan bahwa pendidikan kewarganegaraan harus fokus pada menumbuhkan pemikiran kritis siswa dan menghindari indoktrinasi.
Di Taiwan, kata Tseng, terdapat beberapa interpretasi tentang identitas nasional, persepsi terhadap Tiongkok, dan pemahaman tentang hubungan lintas Selat Taiwan, dan semua perspektif ini harus tercermin dalam materi ajar.
Mengutamakan satu perspektif sambil mengabaikan pandangan yang berbeda kemungkinan akan memicu penolakan di masyarakat saat ini, mengingat isu identitas di Taiwan yang diperdebatkan dan bersifat dinamis, ujarnya.
Menurut hasil survei terbaru yang dirilis oleh Pusat Studi Pemilu di National Chengchi University (NCCU) awal tahun ini, 63,4 persen responden mengidentifikasi diri secara eksklusif sebagai orang Taiwan, 31 persen mengidentifikasi diri sebagai orang Taiwan dan Tiongkok, dan hanya 2,4 persen yang mengidentifikasi diri sebagai orang Tiongkok.
Survei tahunan ini terus mencerminkan transformasi besar identitas nasional di Taiwan dalam beberapa dekade terakhir, dengan peningkatan stabil pada mereka yang mengidentifikasi diri secara eksklusif sebagai orang Taiwan — dari sekitar 17,6 persen pada tahun 1992 menjadi lebih dari 60 persen saat ini.
Sementara itu, mereka yang mengidentifikasi diri secara eksklusif sebagai orang Tiongkok dan sebagai orang Taiwan sekaligus Tiongkok terus menurun.
Kuo Fu-chi (郭復齊), guru kewarganegaraan di National Tainan First Senior High School, mengatakan kepada CNA bahwa sebagian besar guru berhati-hati agar pandangan politik mereka sendiri tidak memengaruhi siswa dan umumnya menyajikan berbagai sudut pandang selama pelajaran.
Misalnya, ketika membahas topik kontroversial seperti apakah kedaulatan Taiwan masih belum ditentukan, Kuo mengatakan ia selalu memastikan untuk menyajikan perspektif yang saling bersaing.
Tersedia sesuai kebutuhan
Kuo, yang merupakan anggota tim pengembang materi yang ditugaskan oleh K12EA, melihat proyek yang sedang berjalan ini didorong oleh "Keadaan dan arah global saat ini."
Ia mengatakan tim telah mengerjakan proyek serupa sebagai respons terhadap perubahan kebijakan, seperti pengenalan sistem hakim warga dan penurunan usia dewasa dari 20 menjadi 18 tahun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pada tahun 2023.
Wakil kepala K12EA Tai Shu-fen (戴淑芬) mengatakan dalam jumpa pers Kabinet pada bulan April bahwa materi tambahan diperlukan untuk mendukung pembelajaran di kelas karena para guru merasa isi buku teks tentang topik terkait Tiongkok masih kurang.
Kuo tidak sampai sejauh itu, hanya mengatakan bahwa materi yang direncanakan akan "Membantu guru mempersiapkan dan menyampaikan pelajaran mereka dengan lebih mudah," karena kewarganegaraan mencakup "Berbagai topik, termasuk politik, sosiologi, hukum, dan ekonomi."
Namun pada akhirnya, keputusan untuk menggunakan atau tidak materi yang disediakan oleh Kementerian Pendidikan di kelas mereka tetap berada di tangan masing-masing guru, ujarnya.
Selesai/ja