Taipei, 28 Sep. (CNA) Serikat Buruh Industri Perawatan Taiwan (SBIPT) menginjak usia setahun sejak didirikan pada 2024 lalu, berupaya untuk terus menguatkan konsolidasi dengan banyak pihak untuk terus memperjuangkan hak pekerja Rumah Tangga (PRT) Migran Indonesia yang ada di Taiwan, disampaikan dalam peringatan ulang tahun mereka yang digelar di Kantor Serikat Pekerja Profesional Dokumenter di Taipei, Minggu (28/9).
Kepada CNA, Ketua SBIPT Fajar mengatakan yang jadi fokus pihaknya di tahun kedua adalah bagaimana memperkenalkan SBIPT ke kalangan PRT Migran Indonesia yang ada di Taiwan dan memperbaiki strategi-strategi organisasi yang selama ini dinilai belum efektif.
Sementara ke depan, sejumlah tuntutan prioritas untuk PRT Migran Indonesia seperti hak libur dan upah layak masih menjadi poin-poin yang didesak oleh SBIPT.
“Harus menambahi juga kegiatan pemberdayaan secara internal seperti pelatihan bahasa, pelatihan hak ketenagakerjaan, sehingga ketika kami mengajak kawan-kawan untuk menuntut perbaikan otomatis sudah seimbang dengan kemampuan yang kami miliki,” ucap Fajar.
Fajar menyoroti misalnya kenaikan upah minimum bagi pekerja formal di Taiwan yang sudah disepakati akan naik dari yang semula NT$28.590 (Rp15,7 juta) menjadi NT$29.500, mulai 1 Januari tahun depan.
Ini menimbulkan kesenjangan yang lebih besar antara upah pekerja sektor formal dengan informal seperti PRT Migran yang upah minimumnya masih NT$20.000, kata Fajar.
“Kesenjangannya sudah 45 persen, “ kata Fajar.
Fajar mengatakan kesenjangan gaji yang besar antara PRT dengan pekerja formal adalah bukti betapa eksploitatifnya kondisi kerja yang dialami oleh para PRT di Taiwan. Meski mereka bekerja hampir 24 jam sepekan dengan hak libur yang didasarkan pada kesepakatan antara pekerja dan majikan, upah yang didapat masih jauh dari standar layak di Taiwan.
Untuk itu, pihaknya akan terus berkomunikasi dengan sejumlah kelompok pekerja di Taiwan, pihak otoritas Taiwan, serta perwakilan Indonesia di Taiwan untuk terus mendesak kenaikan upah bagi PRT Migran.
Selain itu pihaknya juga mendesak pemerintah Indonesia untuk lebih peka pada situasi PMI di Taiwan.
“Kita tahu, PRT Migran Indonesia itu terbanyak jumlahnya di Taiwan, tetapi kenapa kok dari pemerintah kita tidak punya daya lobi yang kuat untuk memperbaiki kesejahteraan PRT,” kata Fajar.
Ia pun menegaskan bahwa momen satu tahun SBIPT ini adalah momen penting yang bukan hanya perayaan tahunan tetapi juga bentuk ketangguhan dan keberanian.
Kepala Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI) Taipei Arif Sulistiyo yang turut hadir dalam acara ini mengapresiasi kerja-kerja organisasi yang dilakukan oleh SBIPT setahun terakhir.
Menurut Arif, SBIPT telah dikenal sebagai organisasi PMI yang memperjuangkan hak-hak PRT Migran Indonesia yang ada di Taiwan. Menurut dia, perlu kelompok-kelompok PMI seperti ini, yang berani bersuara, mengadvokasi, dan melapor ketika ada situasi kerja yang eksploitatif.
Arif pun mengajak SBIPT untuk terus bersinergi bersama KDEI. “Karena KDEI tidak bisa berjalan sendiri dan organisasi-organisasi seperti ini akan memperkuat posisi Indonesia di Taiwan,” kata Arif.
Sementara itu, aktivis dari Taiwan International Workers Association (TIWA) Wu Jing Ru (吳靜如) yang telah lama menjadi mitra SBIPT mengucapkan selamat atas satu tahun berjalannya serikat ini.
Menurut dia, PRT telah mengeluarkan tenaga kerja yang sangat banyak untuk menopang keluarga-keluarga di Taiwan. Sayang mereka masih terpinggirkan dari kebijakan upah layak sehingga tenaganya terkesan tidak dihargai.
“Semoga berdirinya SBIPT bisa memberikan perspektif bagi pemerintah dan masyarakat Taiwan tentang bagaimana distribusi PRT yang mengeluarkan tenaga sebegitu besar,” kata Wu.
Selesai/ML