Oleh Sunny Lai, Rick Yi, dan Muhammad Irfan, reporter staf CNA
Tidak seperti kebanyakan penduduk Taipei, pemandangan pertama Chang Yun-hsiang (張雲翔) di pagi hari adalah langit terbuka. Alarmnya adalah suara lalu lintas kendaraan dan pejalan kaki yang semakin ramai di dekat Stasiun Utama Taipei, tempat ia tidur di jalanan satu blok jauhnya.
Setelah bangun, ia menyapa teman-teman tunawisma yang tidur di jalan yang sama, lalu ia berangkat mencari makanan pertamanya hari itu.
"Saya biasanya membeli roti atau sandwich seharga NT$49 (Rp 26,886) di FamilyMart terdekat," kata Chang, salah satu dari sekitar 3.000 tunawisma terdaftar di Taiwan.
"Makanan atau minuman apa pun yang saya inginkan, saya harus mencari cara untuk mendapatkannya. Saya tidak bisa bergantung pada pekerja sosial, karena bantuan mereka terbatas," katanya kepada reporter CNA yang mengikutinya seharian.
Chang, 39 tahun, telah menjadi tunawisma sejak usia 17 tahun, ketika ia melarikan diri dari rumah setelah bertahun-tahun mengalami kekerasan dalam rumah tangga.
Karena kondisi jantung, ia tidak bisa bekerja dalam jangka waktu lama dan sebagai gantinya melakukan pekerjaan serabutan untuk membeli makanannya.
Setelah sarapan pada Selasa pagi, ia naik kereta dan menuju Distrik Wanhua, di mana ia bekerja di dapur umum dari pukul 11.00 hingga 12.30 setiap hari Selasa, memanaskan roti di oven untuk dibagikan kepada orang-orang kurang mampu, bersama dengan nasi kotak.
Di akhir tugas itu, ia dibayar NT$300 dan diberikan satu kotak makan siang.
Chang mengatakan ia bersyukur atas kesempatan untuk melayani orang-orang kurang mampu lainnya, termasuk tunawisma dan lansia yang hidup sendiri.
Dari kelaparan menjadi melayani
Saat Chang makan siang, yang menurutnya "sangat sehat" karena mengandung sayuran, ia menceritakan bagaimana rasanya tidak makan selama beberapa hari ketika ia tidak punya uang.
"Itu sangat menyakitkan, dan perut saya terus keroncongan," kata Chang. "Saya benar-benar ingin makan sesuatu, tapi yang saya punya hanya air."
Setelah makan siang, ia kembali ke Stasiun Utama Taipei, di mana terdapat ruang komunitas tunawisma bernama "A clean, well-lighted place," yang dikelola oleh kelompok nirlaba Do You A Flavor.
Chang bekerja di sana tiga jam sehari, tiga hari seminggu, membersihkan toilet dan merapikan ruang bersama.
"Setelah pekerjaan selesai, akhirnya saya punya waktu untuk makan," katanya, saat ia menyantap nasi kotak yang seperti biasa dibawakan oleh temannya yang dipanggil "Kakak Wu" (吳).
Nasi kotak tersebut, yang dibagikan oleh organisasi nirlaba kepada tunawisma di area Stasiun Utama Taipei, berisi tahu dan ikan, yang menurut Chang rasanya "sangat enak."
Masalah yang sebenarnya
Tsai Ming-chieh (蔡明潔), manajer organisasi nirlaba Wanderers' Lodge, mengatakan kepada CNA bahwa di Taipei, di mana sekitar 18 persen tunawisma di Taipei itu berada, hanya sedikit yang benar-benar kekurangan makanan.
Masalah sebenarnya adalah "ketidakseimbangan sumber daya," karena kadang-kadang tunawisma menerima tiga kali makan sehari, dan di lain waktu mereka hanya mendapat satu kotak makan sehari, kata Tsai.
Hal itu terjadi karena sumbangan makanan yang tidak teratur, jelasnya, menambahkan bahwa selama periode perayaan seperti Tahun Baru Imlek ada lonjakan sumbangan, sementara di waktu lain jumlahnya sedikit.
"Ketika makanan datang dalam jumlah besar sekaligus, kami sering mendengar saudara-saudari tunawisma mengatakan mereka benar-benar tidak bisa makan sebanyak itu," kata Tsai. "Mereka ingin mengambilnya, tapi mereka tidak sanggup."
"Setelah gelombang sumbangan itu berakhir, ada banyak hari di mana sepertinya semua orang sudah memberikan apa yang mereka bisa," yang sering membuat tunawisma kekurangan makanan setelah masa liburan, katanya.
'Jembatan yang menghubungkan hati'
Memberi makan tunawisma bukan hanya soal kuantitas, namun juga harus fokus pada kualitas, menurut Winny Wen (溫佩瑾), pendiri Tim Relawan Ark.
Wen mengatakan timnya biasanya menolak sumbangan makanan manis seperti kue untuk tunawisma.
"Gigi mereka sudah dalam kondisi buruk, dan terlalu banyak karbohidrat, makanan manis, atau minuman bergula tidak baik untuk mereka, jadi saya berusaha sebaik mungkin menolak jenis sumbangan seperti itu," katanya.
Tim Wen telah membagikan bubur kepada tunawisma di area Stasiun Utama Taipei sejak 2017, dan kini melakukannya setiap Selasa malam.
Makanan adalah "jembatan yang menghubungkan orang," katanya, menambahkan bahwa tunawisma merasa bahagia saat makan makanan yang disiapkan untuk mereka, karena "makanan bisa membuka hati mereka."
Setelah membagikan bubur, anggota timnya biasanya makan dan berbincang dengan tunawisma, kata Wen. Hal ini memungkinkan tim untuk membantu kebutuhan di luar makanan, seperti fasilitas mandi dan akomodasi jangka pendek.
Wen mengatakan selama bertahun-tahun menjadi relawan, ia belajar bahwa persepsi masyarakat terhadap tunawisma sangat penting.
Penting bagi masyarakat untuk memahami bahwa banyak tunawisma yang berusaha bangkit kembali, dan fakta bahwa mereka membutuhkan bantuan bukan berarti mereka malas, katanya.
"Di Taiwan, makanan sebenarnya bukan masalah besar," kata Wen. "Yang penting adalah kepedulian, rasa hormat, dan perlakuan yang setara tanpa prasangka. Itu adalah sesuatu yang bisa dilakukan semua orang."
Selesai/ML