Jakarta, 21 Apr. (CNA) Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang fokus pada isu perempuan, UN Women bersama Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemlu RI) pada Senin (21/4) mengatakan mereka telah meluncurkan Sahabat Artifisial Migran Indonesia (SARI), layanan berbasis kecerdasan buatan (AI) yang responsif bagi pekerja migran Indonesia (PMI), yang bisa diakses di aplikasi SafeTravel Kemlu RI.
Diluncurkan dengan mengambil momentum Hari Kartini yang diperingati setiap 21 April dan Hari Internasional Anak Perempuan di Bidang Informasi, Komunikasi, dan Teknologi yang tahun ini jatuh pada 24 April, platform ini diharapkan mampu menjadi sumber informasi terpadu bagi orang Indonesia yang ada di luar negeri, terutama kalangan pekerja migran, kata mereka.
Dalam peluncuran yang digelar di Kemlu RI dan disiarkan secara daring, Kepala Program UN Women Indonesia, Dwi Yuliawati menyebut perjalanan ke luar negeri yang dilakukan warga negara Indonesia (WNI) meningkat dari tahun ke tahun.
Pada 2024, kata Dwi, ada 8,9 juta perjalanan, yang tidak hanya untuk kunjungan, tetapi juga bekerja, studi, dan menetap. Dari mereka yang bekerja, 61 persen di antaranya adalah perempuan, yang sebagian besar bekerja di sektor informal dengan tantangan yang khas, tambahnya.
“Pada tahun 2023 data Komnas Perempuan (Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan) menyebut ada 321 kasus yang menimpa PMI Perempuan. Saya yakini stigma, diskriminasi yang terjadi belum menunjukkan angka sebenarnya dan ini merupakan fenomena gunung es,” kata Dwi.
Berkaca dari hal itu, kata Dwi, pihaknya menilai perlu ada alur informasi yang jelas, mudah dipahami, tidak bias, dan tidak diskriminatif.
SARI, kata Dwi, kemudian didesain bukan hanya sebagai chatbot, tetapi sebagai bentuk solidaritas digital dan aksesibilitas untuk memenuhi kebutuhan korban kekerasan dengan interaksi yang tidak menggunakan stigma dan menghakimi.
“Informasi yang diberikan tepat waktu dan dapat menyelamatkan hidup. UN Women yakin ini adalah langkah awal bahwa AI bisa memberdayakan perempuan Indonesia,” kata Dwi.
Sementara itu, Andy Rachmianto, Direktur Jenderal Protokol dan Konsuler di Kemlu RI menyebut jumlah WNI yang tinggal di luar negeri mencapai sekitar 3 juta orang dan menghuni kurang lebih 150 negara.
Melindungi WNI dengan jumlah yang banyak di luar negeri tentu bukan perkara mudah, padahal hal tersebut adalah prioritas kebijakan dan diplomasi sesuai amanat undang-undang, kata Andy. “Oleh karena itu kita lakukan pendekatan teknologi agar upaya perlindungan menjadi lebih mudah, murah, aman, dan cepat,” ujarnya.
Menurut Andy, WNI di Indonesia terutama perempuan PMI memiliki masalah yang beragam dan kompleks. Dari data 2024, jumlah PMI yang mengalami masalah mulai hukum, izin kerja, keimigrasian, dan lain-lain mencapai 67.297 kasus, dengan 60.122 di antaranya telah diselesaikan melalui kerja sama dengan kementerian dan lembaga terkait, termasuk Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, ujarnya.
Namun, lanjut Andy, menyelesaikan kasus seperti ini berpacu dengan kasus yang baru, belum lagi ada kasus-kasus berat yang harus dipantau secara khusus seperti hukuman mati.
Menurut Andy, ada 157 WNI yang menunggu waktunya untuk menjalani hukuman mati di luar negeri, dengan 90 persen lebih di antaranya di Malaysia dan sisanya di negara teluk seperti Arab Saudi. Pada 2023, pihaknya membebaskan 19 WNI dari hukuman mati.
Andy mengatakan, kasus-kasus tersebut terjadi biasanya kesenjangan informasi terkait aturan dan juga perbedaan budaya, sehingga SARI diharapkan jadi asisten virtual yang ramah dan mudah.
“SARI didesain untuk merespons pertanyaan secara empati dan nirprasangka, aktif 24 jam sehari selama seminggu dan mampu merespons banyak percakapan sekaligus, serta merespons WNI yang hanya bisa menggunakan bahasa daerah atau bahasa setempat,” kata Andy.
Ia pun berharap agar ke depannya asisten virtual SARI ini bisa dikenal para PMI serta menjadi layanan pengaduan dan interaksi awal saat mengalami masalah di luar negeri.
Selesai/JC