FEATURE /100 Tahun Pram: Advokasi pada etnis Tionghoa lewat karya

07/02/2025 18:03(Diperbaharui 07/02/2025 18:08)

Untuk mengaktivasi layanantext-to-speech, mohon setujui kebijakan privasi di bawah ini terlebih dahulu

Beberapa warga Tionghoa Indonesia yang tiba di Taiwan melalui Hongkong pada 9 September 1950, diterima dan diberi penginapan oleh pemerintah Republik Tiongkok (ROC) dalam foto yang diambil pada 12 September ini. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)
Beberapa warga Tionghoa Indonesia yang tiba di Taiwan melalui Hongkong pada 9 September 1950, diterima dan diberi penginapan oleh pemerintah Republik Tiongkok (ROC) dalam foto yang diambil pada 12 September ini. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)

Oleh Muhammad Irfan, reporter staf CNA

"Di Surabaya saat revolusi dimulai, orang Tionghoa berjuang beriringan dengan orang Indonesia."

Kutipan tulisan Pramoedya yang terbit di koran Bintang Minggu pada 17 Januari 1960 ini, dikutip oleh Sumit Mandal, seorang sejarawan dari Unervisiti Kebangsaan Malaysia dalam esainya bertajuk "Strangers who are not Foreign": Pramoedya's Disturbing Language on the Chinese in Indonesia".

Esai ini menjadi salah satu pembuka dari versi bahasa Inggris "Hoakiau di Indonesia", karya Pramoedya yang terbit pertama kali di tahun 1960 dan dianggap sebagai advokasinya pada etnis Tionghoa di Indonesia.

Pramoedya Ananta Toer (6 Februari 1925 – 30 April 2006) secara luas dianggap sebagai salah satu pengarang yang produktif dalam sejarah sastra Indonesia. Ia telah menghasilkan lebih dari 50 karya yang diterjemahkan ke dalam lebih dari 42 bahasa asing.

Sementara itu, karyanya "Hoakiau di Indonesia" semula dipublikasi sebagai artikel berseri yang terbit koran Bintang Timur merespons sentimen anti-Tionghoa di Indonesia yang muncul sepanjang tahun 1959 sampai 1960 sebagai kulminasi dari perkembangan politik anti-Tionghoa yang mulai bergejolak sejak 1956.

Artikel-artikel ini ditulis sebagai surat yang ditujukan pada "Ch. Hs-y in P" dalam melawan Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1959 yang memaksa orang Tionghoa untuk menutup seluruh toko mereka di pedesaan paling lambat sampai 1 Januari 1960.

"Ch. Hs-y in P" disinyalir adalah Chen Xiaru, teman Pram, seorang Tionghoa yang merupakan penerjemah muda untuk bahasa Melayu ke Mandarin yang pernah menerjemahkan karya Abdoel Moeis "Salah Asoehan".

Mandal berasumsi seri artikel ini mulai terbit pada November 1959 hingga Februari atau Maret 1960 dengan perkiraan ada sekitar 16 artikel yang terbit sepanjang empat sampai lima bulan sebelum kemudian dibukukan tidak lama setelah semua serinya terbit.

Namun, peluncuran buku ini tidak lama karena militer waktu itu langsung melarang peredarannya. Pram sendiri sedang tidak berada di Indonesia saat Hoakiau dilarang. Sejenak setelah ia pulang, Penguasa Perang Tertinggi (Peperti) memanggilnya untuk sebuah introgasi.

Undangan intrograsi yang membuatnya tak pulang karena dilanjut penahanan dua bulan di Rumah Tahanan Militer dan kemudian Penjara Cipinang hingga setahun lamanya.

Intimidasi pada etnis Tionghoa di tahun 1950-1960

Kegusaran Pram pada PP 10/1959 tentu bukan tanpa alasan. Soalnya, seiring peraturan tersebut dirilis, terjadi mobilisasi yang besar oleh militer kepada kalangan etnis Tionghoa di pedesaan.

Dalam catatan tersebut, Pram menulis, "Tentara benar-benar melemparkan ratusan keluarga Tionghoa ke atas truk dan membawa mereka ke sejumlah kamp relokasi. Tidak jarang, perlawanan yang dilakukan [orang Tionghoa] berujung perlakuan yang kasar [dari militer]."

Menteri Dalam Negeri Lien Chen-tung (kanan) mengunjungi tempat penampungan pengungsi Tionghoa dari Indonesia pada 12 September 1960. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)
Menteri Dalam Negeri Lien Chen-tung (kanan) mengunjungi tempat penampungan pengungsi Tionghoa dari Indonesia pada 12 September 1960. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)

Situasi ini tak kunjung membaik hingga 1960-an. Bahkan pada Juli 1960, dalam esai Mandal, dua perempuan Tionghoa di Cimahi ditembak mati karena menolak penggusuran. Tindakan ini mengundang murka Beijing, sebagai Tiongkok yang punya hubungan diplomatik dengan Indonesia saat itu.

Mengutip Yearbook of the Overseas Chinese Economy (1962) yang dipublikasi di Taiwan Today, kebijakan tersebut memang memicu kerusuhan anti-Tionghoa.

Etnis Tionghoa yang mayoritas berdagang dan punya ekonomi relatif stabil jadi "kambing hitam" dari kegagalan ekonomi saat itu. Apalagi di tahun 1961 ada kekeringan parah yang membuat sawah-sawah di Jawa kering hingga sembilan bulan lamanya.

Thung Ju-Lan, pakar studi Tionghoa dalam "PRAM: Dipenjara Karena Karya" menyebut padahal modal ekonomi orang Tionghoa di Indonesia saat itu adalah modal domestik bukan modal asing.

Tindakan militer dalam merespons PP 10/1959 memperkeruh suasana dan membuat banyak aktivitas orang Tionghoa dibatasi, dipertanyakan identitasnya kewarganegaraannya, dan sebagian lagi memilih pergi ke Tiongkok seiring tawaran dari otoritas Beijing saat itu.

Namun, situasi yang juga sulit di Tiongkok membuat mereka yang telah eksodus ke sana memilih lari ke Hongkong dan Makau, kata Thung.

Sementara itu, arsip CNA mencatat ribuan orang Tionghoa Indonesia pindah ke Taiwan melalui Hongkong pada 1958-1960.

Yearbook of the Overseas Chinese Economy mencatat bahwa sejak Januari 1960, lebih dari 80 ribu toko eceran disita dan 500 ribu orang Tionghoa di Jawa Barat terpaksa meninggalkan bisnis atau perdagangan yang mereka kelola.

Meski konteks karya Pram dipicu lewat PP 10/1956, represi pada orang Tionghoa di Indonesia bukan hanya terjadi setelah adanya aturan tersebut.

Seluruh siswa Sekolah Menengah Sutung di Medan, Indonesia, menyanyikan lagu sekolah untuk terakhir kalinya di depan potret mendiang Sun Yat-sen, 27 November 1958. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)
Seluruh siswa Sekolah Menengah Sutung di Medan, Indonesia, menyanyikan lagu sekolah untuk terakhir kalinya di depan potret mendiang Sun Yat-sen, 27 November 1958. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)

Yearbook of the Overseas Chinese Economy menyebut "penganiayaan ekonomi" pada etnis Tionghoa di Indonesia sudah terjadi sejak 1954.

Yeo Woonkyung, seorang dalam "Regional Rebellion and Ethnic Chinese in the 1950s' Indonesia menulis keterlibatan Kuomintang (Partai Nasionalis Tiongok) dalam pemberontakan regional PRRI/Permesta di Sumatera Tengah pada 1958-1961 juga memicu penindasan politik dan ekonomi oleh pemerintah Indonesia saat itu.

Momentum itu bahkan ditandai dengan banyak sekolah Tionghoa yang berafiliasi dengan Kuomintang ditutup.

Jangan jadi nasionalis yang chauvinis!

Garis Pram dan advokasinya pada etnis Tionghoa lewat "Hoakiau di Indonesia" jelas menyiratkan sikapnya.

Bagi Pram, etnis Tionghoa yang disasar pada aksi kerusuhan di sepanjang tahun itu adalah bukan orang asing. Mereka bahkan ikut berjuang dalam revolusi karena punya kesamaan penderitaan selama masa penjajahan. Dalam bahasa Pram, "Kesamaan penderitaan mengeliminasi batasan antara orang dan kelompok."

Dalam salah satu tajuknya di seri "Hoakiau di Indonesia" itu ia juga menulis dengan cukup provokatif: "Hanya orang aneh yang tidak tahu berterima kasih".

Mandal menilai, bagi Pram, orang Tionghoa adalah bagian intim dari Indonesia, dan ia menolak tunduk pada nasionalisme yang chauvinis atau perasaan patriotik cinta tanah air yang berlebihan.

Mandal juga menyoroti penggunaan kata "Hoakiau" dalam karya Pram yang punya arti "Tionghoa perantau" untuk menegaskan bahwa orang Hoakiau adalah orang Indonesia juga.

Alih-alih menggunakan istilah "Tionghoa", bagi Pram, Hoakiau adalah istikah yang tepat untuk mendefinisikan orang Tionghoa di Indonesia. Dalam perspektif Pram, Hoakiau adalah orang asli Indonesia dengan adat dan norma Tionghoa.

Defit Ekawati dan Sri Mastuti Purwaningsih dalam "Hak Asasi Manusia Etnis Tionghoa dalam karya Pramoedya Hoakiau di Indonesia" juga menyebut setidaknya ada empat aspek HAM yang dibela Pram lewat karyanya itu.

Pembelaan tersebut yakni hak bebas memilih kewarganegaraan, hak bebas untuk tidak diperbudak, hak untuk mendapat keadilan di mata hukum, dan hak bebas memilih pekerjaan, ujarnya.

Dalam catatan Mandal, Pram bahkan memprovokasi mereka yang mengompori senitmen politik anti-Tionghoa bahwa, "Apakah anda yakin tidak ada darah Tionghoa dalam diri anda?"

Lagi pula, seperti kutipan legendarisnya, landasilah tindakan dengan "Adil sejak dalam pikiran."

Selesai/JC

How mattresses could solve hunger
0:00
/
0:00
Kami menghargai privasi Anda.
Fokus Taiwan (CNA) menggunakan teknologi pelacakan untuk memberikan pengalaman membaca yang lebih baik, namun juga menghormati privasi pembaca. Klik di sini untuk mengetahui lebih lanjut tentang kebijakan privasi Fokus Taiwan. Jika Anda menutup tautan ini, berarti Anda setuju dengan kebijakan ini.
Diterjemahkan oleh AI, disunting oleh editor Indonesia profesional.