LIPUTAN KHUSUS /LSM dan Pemerintah Taiwan bertentangan terkait masalah ABK migran

01/07/2024 11:52(Diperbaharui 05/07/2024 17:28)
Ratusan anak buah kapal Indonesia menunaikan salat Idul Fitri di Desa Donggang, Kabupaten Pingtung. (Sumber Foto : CNA Taipei, 10 April 2024)
Ratusan anak buah kapal Indonesia menunaikan salat Idul Fitri di Desa Donggang, Kabupaten Pingtung. (Sumber Foto : CNA Taipei, 10 April 2024)

Taipei, 1 Juli (CNA) Ratusan Anak Buah Kapal (ABK) Indonesia berkumpul di pelabuhan di Desa Donggang, Kabupaten Pingtung pada pukul 6.30 pagi tanggal 10 April untuk mengikuti salat Idul Fitri, namun, menurut beberapa jemaah, jumlah yang hadir kurang dari yang diharapkan, sebagian besar karena banyak ABK harus bekerja pada hari yang mereka anggap seharusnya menjadi hari libur.

Seorang ABK Indonesia yang hanya mengidentifikasi dirinya sebagai "Tarzan" mengatakan bahwa ada banyak ABK yang dikenalnya masih harus bekerja pada hari itu, meskipun ada peraturan yang memungkinkan mereka mengambil cuti untuk hari keagamaan.

(Sumber Video:Focus Taiwan (CNA English News))

Situasi ini hanyalah gambaran sekilas dari pelanggaran hak yang terus terjadi terhadap PMA yang mengoperasikan kapal penangkap ikan jarak jauh Taiwan dan kesenjangan persepsi yang ada antara pemerintah dan pekerja tentang sejauh mana Taiwan telah melindungi hak-hak tersebut.

Hal yang dipertaruhkan dari adu persepsi ini adalah apakah ikan tangkapan Taiwan akan dihapus dari Daftar Barang yang Diproduksi oleh Pekerja Anak atau Pekerja Paksa yang akan dikeluarkan oleh Departemen Tenaga Kerja Amerika Serikat akhir tahun ini, setelah masuk dalam daftar tersebut pada tahun 2020 dan 2022, sebagian besar karena perlakuan Taiwan terhadap ABK asing.

Beberapa anak buah kapal migran di Pingtung sedang bekerja. (Sumber Foto : CNA Taipei, 10 April 2024)
Beberapa anak buah kapal migran di Pingtung sedang bekerja. (Sumber Foto : CNA Taipei, 10 April 2024)

Pemerintah bersikeras bahwa telah diambil langkah-langkah untuk memperbaiki kondisi hidup dan situasi kerja bagi pekerja perikanan dan menyelaraskan standar tenaga kerja dengan norma-norma internasional.

Namun, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tetap ragu, percaya bahwa sebagian penyalahgunaan yang membuat Taiwan masuk dalam daftar AS terus masih berlanjut meskipun angka pemerintah tampak mengerdilkan hal tersebut.

Di sisi lain, beberapa ABK migran masih mendengar, melihat, dan mengalami perlakuan yang tidak sesuai tersebut. Pengalaman Tarzan adalah salah satu contohnya.

Takut akan konsekuensi

Selain tidak mendapatkan cuti Idul Fitri, Tarzan juga sering didorong secara fisik oleh mantan majikannya ketika pekerjaannya dinilai tidak memenuhi standar, tetapi ia tidak pernah melaporkan masalah tersebut karena takut mendapat masalah dengan agensi tenaga kerjanya, kata Tarzan.

Kekhawatiran yang sama mungkin membatasi pelaporan penyalahgunaan di seluruh industri, tetapi Spesialis Senior Direktorat Jenderal (Ditjen) Perikanan Chiu Yi-hsien (邱宜賢) berpendapat bahwa ABK migran tidak punya alasan untuk takut.

Spesialis Senior Direktorat Jenderal Perikanan, Chiu Yi-hsien ketika diwawancarai oleh CNA. (Sumber Foto : CNA Taipei, 2 Mei 2024)
Spesialis Senior Direktorat Jenderal Perikanan, Chiu Yi-hsien ketika diwawancarai oleh CNA. (Sumber Foto : CNA Taipei, 2 Mei 2024)

Chiu mengatakan bahwa kru kapal yang memiliki masalah dengan majikan mereka dapat dengan aman mengajukan keluhan melalui saluran siaga pemerintah 1955 atau Platform Layanan Interaktif Kru Asing Taiwan tanpa harus khawatir identitas mereka diketahui oleh majikan mereka.

Namun, tetap ada sebagian kapal yang masih belum melakukan regulasi dari pemerintah, kata Achmad Mudzakir, Ketua FOSPI, asosiasi ABK migran Indonesia terbesar di Taiwan.

Pencari nafkah yang dieksploitasi

Pembayaran gaji yang terlambat pernah terjadi pada tahun 2023, kata Mudzakir, mengutip insiden di mana 19 ABK Indonesia diutangi gaji untuk jangka waktu antara enam hingga 10 bulan.

Mereka akhirnya dibayar, katanya, setelah Kantor Ditjen Perikanan Kaohsiung turun tangan dan mengadakan dua pertemuan dengan majikan mereka.

Selain itu, kata Mudzakir, gaji para ABK dipotong dalam jumlah yang variatif sebagai biaya "Keperluan administrasi" maupun "Transportasi," meskipun hal tersebut sudah dinyatakan tidak ada lagi oleh Ditjen Perikanan, katanya.

Masalah ini semakin rumit karena kurangnya Wi-Fi di banyak kapal penangkap ikan Taiwan, kata Lennon Wong (汪英達), direktur kebijakan pekerja migran di Serve the People Association di Taoyuan.

Itu berarti mereka tidak memiliki sarana komunikasi selama beberapa bulan dan harus menunggu sampai mereka berlabuh di pelabuhan untuk menghubungi keluarga mereka, kata Wong.

"Itu satu-satunya waktu mereka untuk bisa memastikan bahwa keluarga mereka telah menerima gaji, dan biasanya jawabannya adalah 'tidak' atau mungkin 'tidak terlalu banyak, ada potongan besar.'" katanya.

Lennon Wong (汪英達), direktur kebijakan pekerja migran di Serve the People Association di Taoyuan, saat diwawancarai oleh CNA. (Sumber Foto : CNA Taipei, 6 Mei 2025)
Lennon Wong (汪英達), direktur kebijakan pekerja migran di Serve the People Association di Taoyuan, saat diwawancarai oleh CNA. (Sumber Foto : CNA Taipei, 6 Mei 2025)

Kelompok hak-hak pekerja telah mendesak Ditjen Perikanan untuk meminta majikan membayar langsung gaji ABK migran setiap bulan daripada melalui agensi setiap tiga atau enam bulan, tetapi hanya sedikit, itupun jika ada, pemilik kapal yang mengadopsi saran kelompok tersebut, kata Wong.

'Bukan mesin'

Selain ketidakpastian terkait gaji, masalah lain yang ada di sektor penangkapan ikan jarak jauh adalah jam kerja yang panjang, kata Wong.

"Jika mereka berada di lokasi penangkapan ikan, biasanya mereka harus bekerja tanpa henti untuk waktu yang sangat lama dan hanya bisa tidur selama beberapa jam di antara shift karena pemilik kapal selalu menginginkan tangkapan yang lebih besar," kata Wong.

Menurut Wong, masalah ini terus berlanjut meskipun ada revisi hukum pada tahun 2022 yang mengharuskan majikan ABK jarak jauh memberikan setidaknya 10 jam istirahat, termasuk setidaknya enam jam tidur berturut-turut, dan setidaknya 77 jam istirahat per tujuh hari.

"Manusia bukanlah mesin. Kalian tidak boleh membiarkan mereka bekerja seperti itu. Mereka bisa sakit, bahkan bisa mati karena hal itu," katanya.

Sementara itu, Ditjen Perikanan memberikan laporan yang sangat berbeda.

Dunia paralel?

Mereka mengatakan telah melakukan inspeksi terhadap sekitar 80 persen kapal penangkap ikan jarak jauh Taiwan dalam dua tahun terakhir dan menemukan bahwa 89 persen dari mereka sepenuhnya mematuhi peraturan jam kerja.

Selain itu, tidak ada pelanggaran terkait gaji yang dilaporkan pada 95 persen kapal yang diperiksa selama periode waktu yang sama, kata mereka dalam sebuah siaran pers.

Angka-angka tersebut menyesatkan, kata Wong, karena sebagian besar ABK migran tidak berani mengajukan keluhan kepada lembaga pemerintah untuk memperjuangkan hak-hak mereka.

Di bawah Peraturan Izin Masuk Sementara untuk Orang Asing, kapal penangkap ikan jarak jauh hanya diizinkan berlabuh di pelabuhan Taiwan selama satu hingga dua minggu, kata Wong.

Beberapa ABK migran yang mengajukan keluhan telah dipecat dan segera dideportasi karena mereka tidak punya cukup waktu untuk mendapatkan pekerjaan baru, katanya.

Sementara itu, Chiu mengatakan bahwa setelah pengaduan diajukan, ditjen tersebut akan menyelidikinya dan mengambil tindakan yang diperlukan, seperti mendenda pelanggar atau meminta mereka melakukan perbaikan, terlepas dari apakah pengadu telah dideportasi.

Pemilik kapal yang terbukti melakukan pelanggaran berat izin penangkapan ikannya akan dibekukan atau dicabut, kata Chiu, tetapi tindakan tersebut tidak membantu PMA yang kehilangan pekerjaan mereka karena pengaduan.

Inspeksi

Ditjen Perikanan juga membela penggambarannya tentang lingkungan yang lebih baik karena gambaran itu didasarkan pada inspeksi dengan ABK jarak jauh saat kapal mereka berlabuh di pelabuhan penangkapan ikan, yang dirancang untuk mengidentifikasi pelanggaran standar tenaga kerja.

Namun, pembela hak-hak pekerja ragu inspeksi tersebut benar-benar mampu mengatasi penyalahgunaan, dengan Wong berpendapat bahwa mereka yang diwawancarai saat inspeksi dilatih tentang apa yang harus dikatakan dan apa yang tidak boleh dikatakan.

Mudzakir sendiri mengapresiasi inspeksi yang dilakukan oleh Ditjen Perikanan, namun, katanya, beberapa dari ABK yang mengatakan hal-hal yang tidak menyenangkan tentang majikan mereka saat inspeksi mendapatkan dampak yang negatif sebagai konsekuensinya, "Kadang ada [yang] ditegur sama pihak-pihak agensi ... dan bahkan ada juga yang mendapatkan deportasi."

"Terkadang mau berkata jujur ya kita juga merasa takut," katanya, menjelaskan dilema yang mereka hadapi pada saat inspeksi.

Achmad Mudzakir, Ketua FOSPI, asosiasi ABK migran Indonesia terbesar di Taiwan yang memiliki ribuan anggota, diwawancarai oleh CNA. (Sumber Foto : CNA Taipei, 9 April 2024)
Achmad Mudzakir, Ketua FOSPI, asosiasi ABK migran Indonesia terbesar di Taiwan yang memiliki ribuan anggota, diwawancarai oleh CNA. (Sumber Foto : CNA Taipei, 9 April 2024)

Terlepas dari laporan yang bertentangan dan penolakan oleh pemerintah bahwa penyalahgunaan masih umum terjadi, Mudzakir mengatakan bahwa ia berterima kasih atas pekerjaan yang dilakukan Taiwan dalam masalah ini, termasuk mendorong jam istirahat wajib dan menaikkan gaji bulanan minimum bagi ABK asing dari US$ 450 (Rp 7.350.747) menjadi US$ 550.

Sementara itu, Wong mengatakan industri penangkapan ikan jarak jauh Taiwan telah melihat "Kemajuan yang sangat terbatas" pada hak-hak anggota kru, dan ia tidak ingin melihat Taiwan dihapus dari Daftar Barang yang Diproduksi oleh Pekerja Anak atau Pekerja Paksa sehingga pemerintah terpaksa untuk mengambil langkah lebih lanjut untuk melakukan perbaikan.

(Oleh Sean Lin dan Jason Cahyadi)

>Versi Bahasa Inggris

Selesai/ML

影片來源:Focus Taiwan (CNA English News)
Kami menghargai privasi Anda.
Fokus Taiwan (CNA) menggunakan teknologi pelacakan untuk memberikan pengalaman membaca yang lebih baik, namun juga menghormati privasi pembaca. Klik di sini untuk mengetahui lebih lanjut tentang kebijakan privasi Fokus Taiwan. Jika Anda menutup tautan ini, berarti Anda setuju dengan kebijakan ini.
Diterjemahkan oleh AI, disunting dan diperiksa ulang oleh editor Indonesia profesional lulusan ilmu jurnalistik sebelum dipublikasikan.