Taipei, 29 Des. (CNA) Latihan militer yang diluncurkan pada hari Senin (29/12) oleh Tiongkok memiliki banyak tujuan, termasuk perang kognitif terhadap Taiwan, upaya untuk melawan kerja sama militer Amerika Serikat-Jepang, dan unjuk koordinasi dengan Rusia, kata seorang pakar pada hari Senin (29/12).
Lin Ying-yu (林穎佑), seorang profesor madya di program pasca sarjana International Affairs and Strategic Studies, Tamkang University, mengatakan bahwa latihan tersebut tidak semata-mata merupakan respons terhadap penjualan senjata AS ke Taiwan yang baru-baru ini diumumkan, tetapi juga ada faktor-faktor lain yang berperan.
Latihan tersebut sebagian ditujukan pada apa yang digambarkan Tiongkok sebagai pernyataan keras Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi tentang "kontingensi Taiwan", serta kerja sama militer Jepang yang semakin erat dengan Amerika Serikat, kata Lin.
Pada bulan November, Takaichi mengatakan bahwa serangan Tiongkok terhadap Taiwan akan menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup Jepang dan dapat membenarkan respons militer dari Tokyo, yang memicu reaksi marah dari Beijing.
Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok (PLA) pada hari Senin meluncurkan serangkaian latihan baru di sekitar Taiwan, dengan sandi Justice Mission 2025, yang menurut mereka dimaksudkan sebagai "peringatan keras kepada kekuatan separatis 'Kemerdekaan Taiwan'."
Lin mengatakan bahwa latihan tersebut merupakan bentuk perang kognitif, yang bertujuan untuk melemahkan moral Taiwan dengan memberi sinyal kepada Taiwan bahwa dukungan AS dan Jepang mungkin tidak akan benar-benar diwujudkan dalam bantuan nyata.
Lin berpendapat bahwa keputusan Tiongkok untuk meluncurkan latihan di Taiwan tepat sebelum Tahun Baru mengirimkan sinyal kuat "aksi bersama Tiongkok-Rusia", mengingat Rusia baru-baru ini mengumumkan akan mengadakan latihan militer tembak langsung selama dua bulan di Wilayah Utara mulai 1 Januari 2026.
Logika taktis PLA, katanya, adalah memanfaatkan ancaman Rusia di utara untuk membatasi Pasukan Bela Diri Jepang, mencegah mereka mengalihkan sumber daya ke Taiwan jika ketegangan meningkat di Selat Taiwan.
Selain tekanan yang diberikan oleh Tiongkok dan Rusia, Lin mengatakan Korea Utara juga patut diperhatikan untuk setiap potensi aksi, karena ini bisa menjadi cara untuk membatasi pasukan AS yang ditempatkan di Korea Selatan.
Lin mengatakan bahwa jika Tiongkok, Rusia, dan Korea Utara bertindak secara terkoordinasi, hal ini akan sejalan dengan konsep strategis yang telah dikembangkan PLA dalam beberapa tahun terakhir, yang dikenal sebagai "integrasi lima laut".
Konsep ini membayangkan operasi yang tersinkronisasi di seluruh Laut Cina Selatan, Selat Taiwan, Laut Cina Timur, Laut Kuning, dan Laut Filipina untuk menantang ketahanan pertahanan Rantai Pulau Pertama, katanya.
● DPP, KMT saling menyalahkan terkait kebijakan Tiongkok saat latihan militer RRT menuai kecaman
● Latihan militer soroti strategi 'dua arah' Tiongkok terhadap Taiwan: MAC
Tony Hu (胡振東), mantan pejabat Pentagon, mengatakan kepada CNA bahwa latihan Tiongkok dimaksudkan untuk mengintimidasi Taiwan dan mempengaruhi pemilu dengan mendukung politisi yang sejalan dengan kepentingan mereka.
Ia berpendapat bahwa ambisi Tiongkok untuk menyerap Taiwan tidak pernah berubah dan hanya pertahanan yang kuat yang dapat menjamin perdamaian.
Latihan militer Tiongkok yang diluncurkan pada hari Senin memberikan militer Taiwan kesempatan langka untuk berulang kali menguji rencana operasionalnya, kata Hu.
Ia umumnya setuju dengan pandangan Lin tentang peran Rusia, dengan mengatakan bahwa jika konflik pecah di Selat Taiwan, Rusia kemungkinan tidak akan campur tangan secara langsung tetapi dapat membatasi Pasukan Bela Diri Jepang di utara, mencegah mereka memperkuat wilayah selatan.
Secara terpisah pada hari Senin, Kementerian Pertahanan Nasional (MND) merilis rekaman yang menunjukkan militer memantau jet tempur J-16 Tiongkok dan fregat Tiongkok Anyang, menandakan bahwa militer Taiwan secara efektif melacak pergerakan musuh.
Pengawasan terhadap J-16 dilakukan oleh jet tempur Angkatan Udara F-16V (Block 20) menggunakan Sniper Advanced Targeting Pod (AN/AAQ-33), menurut MND.
Su Tzu-yun (蘇紫雲), peneliti di Institute for National Defense and Security Research yang disponsori pemerintah, mengatakan bahwa AN/AAQ-33 menggabungkan fungsi pencarian dan penargetan.
Perangkat ini dapat mendeteksi target darat pada jarak sekitar 87 kilometer menggunakan sensor visual dan inframerah, serta target udara hingga 187 km, kata Su, yang menunjukkan bahwa pesawat Tiongkok berpotensi dapat dilacak dari wilayah udara Taiwan melalui sistem elektro-optik tanpa memicu penerima peringatan radar mereka, sehingga memungkinkan kemampuan "silent kill".
Selesai/IF