Taipei, 21 Nov. (CNA) Dua penerbit buku independen dan satu penyelenggara dari Indonesia ambil bagian dalam ajang tahunan buku seni internasional, Taipei Art Book Fair yang digelar di Huashan Creative Park dari Jumat (21/11) hingga Minggu.
Satu di antaranya, sebagai undangan khusus untuk membawa eksperimen material dan inovasi konseptual seperti kolase dan screen printing yang menampilkan vitalitas penerbitan independen Indonesia.
Menginjak tahun kesembilannya, salah satu ajang pameran buku seni terbesar di Asia ini mengukuhkan eksistensinya sebagai ruang di mana energi kreatif dari seluruh dunia bertabrakan.
Ini pula yang membuat Taipei Art Book Fair kali ini mengundang Yogyakarta Art Book Fair, pameran buku seni tahunan yang berbasis di Yogyakarta, untuk menjadi salah satu lapak unggulan. Selain itu, dua penerbit independen Indonesia, Tiny Studio dan Binatang Press, turut ikut serta.
"Yogyakarta Art Book Fair ini menarik, mereka berkarya dalam konteks budaya lokal yang sangat konservatif dan kondisi politik yang tidak stabil, sehingga menghasilkan energi kreatif yang unik serta publikasi yang berbeda dari yang biasa kita bayangkan. Stan mereka ditata dengan sangat menarik, jadi sangat layak dikunjungi," kata perwakilan Taipei Art Book Fair saat pembukaan acara.
Menurut Taipei Art Book Fair, Yogyakarta Art Book Fair yang merupakan sebuah perhelatan tahunan punya beberapa penerbit independen dan seniman individu di dalamnya. Tahun ini, yang mewakili mereka adalah CRACK dan Studio Yuansa.
"Kurator Yogyakarta Art Book Fair, Abi, juga datang langsung dan membawa dua kolektif ini. Keduanya fokus pada letterpress dan cetak risograf," kata Taipei Art Book Fair.
Kepada CNA, Abimanyu Dirgantara dari Yogyakarta Art Book Fair menyatakan, jejaring mereka dengan Taipei Art Book Fair dimulai dari pertemuan antarpameran internasional yang digelar di Venice, Italia tahun lalu. Dari situ, Taipei Art Book Fair berinisiatif mengundang pihaknya mendirikan stan spesial di gelaran ini.
Menurut Abi, ada kedekatan antara praktik art book fair di Taipei dan Yogyakarta. Misalnya, banyak peserta dari bursa buku seni berbasis komunitas dan seniman, tidak terbatas pada penerbit independen saja. Ini yang membuat Yogyakarta Art Book Fair merasa punya semangat yang sama dengan Taipei Art Book Fair, ujarnya.
Beberapa barang yang pihaknya jajakan di ajang ini termasuk seni cetak, media alternatif seperti zine, dan pernak-pernik, dengan banyak tema mulai dari yang berbasis teks hingga desain grafis.
Beda dengan bursa buku lainnya
Bursa buku seni memang sedikit berbeda dengan bursa buku kebanyakan. Menurut pengamatan CNA, Taipei Art Book Fair tidak hanya penuh dengan buku-buku, tetapi juga instalasi dan beberapa pernak-pernik.
Selain itu, yang jadi pembeda dengan bursa buku kebanyakan adalah teknik cetak yang beragam seperti cetak sablon, cukil kayu, atau risograf, proses cetak digital yang memadukan teknologi duplikator dengan teknik cetak sablon, yang sedang populer karena hasil cetaknya yang khas.
Abi menyebut banyak definisi terkait bursa buku seni. Namun bagi dirinya, yang membedakannya dibanding bursa buku biasa adalah ini merupakan bursa bagi produk yang penekanannya pada praktik kreatif alternatif yang bentuknya bisa beragam.
Alternatif di sini, kata Abi, dalam artian tidak dalam kerangka arus utama. Tak heran kalau kemudian hasil-hasil karya ini dijual dalam kuantitas yang terbatas.
"Kata kunci art book bagi kami adalah alternatif. Bukan bentuknya bukan gambarnya, tapi bagaimana itu dibuat dan didistribusikan secara alternatif," kata Abi.
Bawa kekhasan Tionghoa Indonesia
Sementara itu, Wanda dari Binatang Press, penerbit independen yang mayoritas mencetak bukunya dengan teknik risograf, menghadirkan sejumlah karya yang bernuansa Tionghoa-Indonesia.
Misalnya, ia membawa sejumlah karya cetak dari artis Tionghoa-Indonesia Supomo yang karyanya dikenal dengan nama Senikanji atau mencetak ulang novel legendaris "Bukek Siansu" dalam teknik cetak risograf. Novel cerita silat ini ditulis Asmaraman S atau yang juga dikenal dengan nama pena Kho Ping Hoo pada 1970-an.
"Jadi ada cita rasa yang mungkin dekat dengan pengunjung lokal Taiwan," kata Wanda.
Menurut Wanda, ini kali kedua Binatang Press ikut Taipei Art Book Fair. Sebelumnya, penerbit alternatif asal Jakarta yang eksis sejak 2015 ini pernah ikut gelaran sebelumnya di 2019.
Wanda mengesankan, Taipei Art Book Fair punya konsep yang lebih eksploratif dibanding bursa buku seni lainnya berdasarkan pengalamannya bertandang ke sejumlah ajang lain seperti di Singapura, Tiongkok, atau Jepang.
"Dan mereka selalu menyelenggarakannya di gedung-gedung yang direstorasi. Ini keren banget," kata Wanda.
Lebih eksperimental
Sementara itu, Ratta dan Nadine dari Tiny Studio menilai Taipei Art Book Fair merupakan salah satu gelaran bursa buku seni yang cukup eksperimental dan amat terbuka pada banyak hal baru. Ketika ada kesempatan untuk berpartisipasi, pasangan seniman visual asal Indonesia ini pun tak pikir panjang untuk ikut ambil bagian.
"Ini submisi dan lima bulan sebelum sudah ketahuan apakah submisi kami diterima atau enggak," kata Ratta. Berdasarkan data Taipei Art Book Fair, tahun ini ada 440 peserta dari 1.000 pendaftar.
Sebelum berkunjung ke Taiwan, Ratta sempat melakukan riset pada produk yang mungkin akan digemari audiens lokal. Berdasarkan informasi yang ia himpun, sejumlah pernak pernik mungkin akan digemari juga selain keberadaan buku yang merupakan inti dari gelaran ini.
Selesai/JC