Taipei, 19 Sep. (CNA) Seniman performans Indonesia Melati Suryodarmo akan menghadirkan karya terbarunya "Lapse", sebuah eksperimen lintas disiplin yang menampilkan eksplorasi rasanya tentang waktu, ingatan, dan alam, di Taipei Performing Arts Center (TPAC) pada akhir pekan ini.
Melati, yang telah lama mengeksplorasi ketegangan antara "kekacauan" dan "keteraturan", dalam konferensi pers di TPAC hari Kamis (18/9) membagikan bahwa dalam sejarah kolonial dan pascakolonial, hubungan antara manusia dan lingkungan terus-menerus ditafsirkan ulang.
Hutan dan pegunungan yang dahulu dianggap sebagai tempat bersemayam roh ilahi kini justru menjadi objek penaklukan dan eksploitasi, ujarnya.
"Hubungan dan sikap manusia terhadap alam serta seluruh makhluk hidup selalu berubah. Saya berharap lewat karya ini penonton dapat meninjau kembali keterhubungan mereka dengan alam, sekaligus merenungkan rapuhnya nilai dan peradaban manusia," tuturnya.
Melati, wanita kelahiran Surakarta, telah terbiasa dengan lingkungan tari sejak kecil. Ia belajar dari maestro butoh asal Jepang, Anzu Furukawa, serta menimba ilmu di Jerman di bawah bimbingan "nenek dari seni pertunjukan" Marina Abramović.
Latar belakang tersebut membuatnya mahir menantang batas-batas indra dan kehendak, serta menjadikan tubuh sebagai alat konseptual, menurut TPAC.
Melati menjelaskan bahwa penciptaan "Lapse" dimulai pada 2019, namun terpaksa terhenti pada 2020 akibat pandemi. Selama masa itu, ia kembali merefleksikan makna ciptaannya ini.
"Untuk pertama kalinya orang benar-benar merasakan kematian begitu dekat. Sistem sosial yang ada terguncang, dan keteraturan hidup sehari-hari tampak rapuh serta sementara," ujarnya.
Ia juga mengamati energi kehidupan di jalanan dan pasar, suatu kondisi tanpa aturan namun memiliki sistem tersendiri, yang kemudian justru menjadi sumber inspirasi karyanya.
Tim kreatif "Lapse" terdiri dari seniman lintas negara, termasuk musisi Singapura Yuen Chee Wai yang menangani desain suara dan pertunjukan langsung, menciptakan lanskap bunyi melalui perpaduan suara lingkungan, musik elektronik, dan improvisasi.
Sementara itu, para penari berasal dari Indonesia dan Taiwan berperan sebagai makhluk berbulu putih, manusia timah, serta sosok perempuan dan laki-laki.
Melati menggambarkan kolaborasi dengan para penari itu sebagai penyelarasan berkelanjutan. "Para penari bagaikan perwujudan jiwa batin saya," ujarnya.
Pada panggung "Lapse", bentuk gunung serta kostum para penari banyak menggunakan material berwarna perak dan berbahan plastik. Melati mengakui dirinya bukanlah seorang penganut ideologi lingkungan hidup, tetapi ia sadar betul akan dampak "keabadian" plastik terhadap lingkungan.
"Meskipun disebut bisa didaur ulang, apakah benar 100 persen dapat didaur ulang? Saya meragukannya!" ucapnya seraya menegaskan material tersebut juga melambangkan sisa-sisa peradaban manusia serta menjadi refleksi atas pertanyaan tentang waktu, ingatan, dan keberlanjutan.
"Lapse", produksi bersama TPAC, Esplanade - Theatres on the Bay Singapura, dan Arts Centre Melbourne, telah tampil perdana pada 2023 di Negeri Singa dan tahun ini melakukan tur ke Australia, serta akan dipentaskan di di Blue Box TPAC pada Sabtu dan Minggu.
(Oleh Chao Ching-yu dan Jason Cahyadi)
Selesai/IF