Taipei, 25 Nov. (CNA) Seniman Taiwan, Li Wen-hao (李文皓) berlenggak lenggok di salah satu ruang tampil C-Lab di Taipei, Minggu (24/11). Menggunakan topi khas nakhoda dengan latar laut di belakangnya ia menyanyikan lagu Indonesia “Bengawan Solo” namun dalam lirik berbahasa Jepang.
Dalam penampilan tunggalnya bertajuk “SOLO — A Research Based Art Project”, Li hendak menyajikan penelusurannya pada lagu “Bengawan Solo” yang diciptakan oleh komponis Indonesia Gesang Martohartono di tahun 1940 sebagai lagu yang menghubungkan Asia. Saat itu Indonesia masih berada di bawah kepemimpinan Hindia Belanda.
Tesis Li tidak berlebihan, mengingat sejak diciptakan di tahun 1940 hingga saat ini, “Bengawan Solo” punya banyak ragam versi baik secara jenis musik hingga lirik yang dinyanyikan tidak hanya dalam Bahasa Indonesia tetapi juga Jepang, Mandarin, Hokkien Taiwan, dan Kanton. Bahkan “Bengawan Solo” juga tampil sebagai latar dari film besutan sineas Hong Kong, Wong Kar Wai bertajuk “In The Mood for Love” yang dirilis tahun 2000 silam.
Penampilan Li digelar selama dua hari yakni pada Sabtu (23/11) dan Minggu. Dalam penampilannya Li menghantarkan kisah lagu tersebut lewat karakter-karakter fiktif yang memiliki perasaan sentimental pada laut. Misalnya, seorang A-Guan dari Formosa, nama lain pulau Taiwan, yang bersuamikan seorang pelaut dan merasa dirinya adalah selir karena istri seorang pelaut adalah kapal beserta lautnya. Ada juga Yosuke, di satu fragmen adegan lain, seorang Jepang yang bertugas di Indonesia dalam masa kolonialisme.
Dari situ, Li bermain peran dan menyajikan kisah bahwa Taiwan semula dikenal sebagai Ilha Formosa oleh orang Eropa setelah didatangi oleh pelaut Portugis, Spanyol, dan kemudian pedagang Belanda atas nama VOC. Di bagian lain dunia saat itu, Hindia Belanda yang kini dikenal dengan nama Indonesia, juga merupakan koloni Kerajaan Belanda. Hingga pada 1942 sampai 1945, wilayah yang kini punya nama Indonesia itu diduduki oleh monarki Jepang, sama seperti Taiwan.
“Taiwan dan Indonesia bersatu,” kata Li dalam monolognya merujuk dua wilayah ini yang saat itu berada di bawah kekaisaran Jepang.
Lalu ia beranjak pada “Bengawan Solo”, lagu yang di masa pendudukan Jepang di Indonesia meraih hati penjajah hingga sering diputar di radio Jepang. Usai perang dunia kedua usai, lagu ini ikut “Pulang” ke Jepang bersama pasukan Dai Nippon yang kemudian menggubah liriknya menjadi berbahasa Jepang.
Kedekatan Taiwan dan Jepang lantas membawa serta lagu ini populer di Taiwan dengan lirik Hokkien yang dinyanyikan seorang penyanyi Taiwan Bun-Ha (文夏) pada 1948 dengan judul 美麗的梭羅河.
Pada penampilannya, Li juga menyanyikan lagu “Bengawan Solo” dalam sejumlah bahasa.
Terinsipirasi dari Teresa Teng
Pada sesi tanya jawab yang dihelat usai penampilan, Li menyebut gagasan dia soal “Bengawan Solo” dimulai dari ketertarikannya pada lagu daur ulang yang populer di Taiwan. Menurut dia, di Taiwan ada ratusan lagu yang digubah ulang dari lagu Jepang, Indonesia, dan Hong Kong.
Li memulai proyek penelitian ini sejak 2022 dan dimulai lewat karya-karya penyanyi Taiwan terkenal Teresa Teng (鄧麗君) dan hubungannya dengan Jepang serta pemerintah Republik Tiongkok.
“Mulanya saya terinspirasi oleh lagu 甜蜜蜜 (Tian Mi Mi) yang berasal dari Indonesia juga (Dayung Sampan, Red),” kata Li.
Lalu ia menemukan “Bengawan Solo” di film Wong Kar-Wai yang ternyata dinyanyikan oleh banyak penyanyi perempuan kesukaannya, seperti di antaranya penyanyi Hong Kong, Anita Mui hingga menyadari bahwa “Bengawan Solo” punya banyak sekali versi.
“Itu membuat banyak koneksi antar negara di Asia. Untuk saya lagu ini juga memberi koneksi yang dalam terhadap sejumlah negara kepulauan ini,” kata Li.
Li juga memerhatikan perubahan lirik yang terjadi di antara era perang dan setelah perang. Menurut Li, beberapa lagu “Bengawan Solo” yang rilis lebih muda punya lirik yang berbicara tentang cinta, seperti dalam versi Inggris, misalnya. Ia pun melihat pasti ada kendala dalam menjahit temuan yang ia dapat tentang bermacam ragam “Bengawan Solo” karena ada perbedaan tempat, era, dan konteks politik dari satu versi ke versi yang lain.
“Karena terlalu banyak yang perlu diliputi, maka saya pikir ini adalah sebuah proses (riset) yang tidak akan berakhir,” kata Li.
Li berharap ke depan ia dapat menampilkan perhelatan ini di lebih banyak tempat, tidak hanya di Taiwan tetapi juga negara lain yang memiliki kesamaan pengalaman dengan “Bengawan Solo”.
“Juga ke dalam sejumlah bahasa lain tentunya seperti Indonesia,” kata Li yang mendedikasikan penampilan ini untuk semua orang yang pernah menyanyikan “Bengawan Solo”.
Selesai/JA