Taipei, 25 Nov. (CNA) New Taipei City Documentary Film Month yang menggelar 22 pemutaran sejak 3 November, menghadirkan 31 film dokumenter dari dalam dan luar negeri. Salah satu film yang menjadi sorotan adalah karya sutradara Tsai Chia-Hsuan (蔡佳璇) yang mengangkat kisah anak-anak migran Indonesia.
Dalam wawancara sebelumnya dengan CNA, Tsai mengungkapkan motivasinya membuat film bertajuk Childhood in Between ini. “Saya mendapati bahwa masih ada banyak stereotip dan minimnya pemahaman tentang realitas yang dihadapi orang Indonesia saat di Taiwan,” katanya.
Film ini mengangkat kisah Euis, seorang perempuan Indonesia yang merantau ke Taiwan sebagai pekerja migran (PMI) karena kondisi ekonomi yang sulit. Melalui sudut pandang kedua anaknya, hasil pernikahan campur Indonesia-Taiwan, penonton diajak untuk menyaksikan perjalanan kedua saudara tersebut dalam mengejar mimpi mereka, sambil menjelajahi budaya Indonesia dan Taiwan, di tengah transisi dari masa kanak-kanak menuju remaja.
Sutradara muda lulusan National Cheng Chi University tersebut berharap film ini dapat menjadi referensi bagi masyarakat Taiwan untuk lebih mengenal kehidupan dan perjuangan orang Indonesia di negara tersebut.
Film yang meraih juara tiga di Penghargaan Film Dokumenter New Taipei City (NTCDF) tersebut menarik perhatian seorang juri yang menuturkan bahwa ada beberapa hal menarik dalam film yang digarap oleh Tsai, di antaranya tentang impian anak laki-laki yang bertentangan dengan masa lalu ibunya.
Euis bersama kedua anaknya juga turut hadir dalam pemutaran film yang digelar tanggal 24 November di Fuzhong 15 Documentary Cinema, New Taipei.
Perempuan berusia 46 tahun tersebut mengatakan kepada CNA bahwa ia tidak keberatan saat Tsai ingin merekam kesehariannya, namun ia tak menyangka bahwa film dokumenter mengenai dirinya bisa meraih penghargaan.
Dalam sebuah wawancara dengan CNA, awalnya, Euis khawatir akan mengecewakan Tsai yang ikut pulang ke Indonesia untuk menghadiri acara khitanan putranya, mengingat daerah tempat tinggalnya dikenal cukup rawan. Namun, setelah tinggal di rumah keluarganya di Kecamatan Pusakanagara, Subang, Euis merasa lega karena Tsai tampak nyaman dan betah.
Ketika ditanya mengapa masih semangat bekerja di Taiwan, Euis, yang bekerja sebagai perawat bayi di Harmony Home menjelaskan bahwa ia tetap ingin berjuang demi masa depan anaknya. Baginya, tidak masalah jika pekerjaannya "Xinku" (Melelahkan), asalkan tujuannya tercapai.
Euis juga berpesan kepada para PMI bahwa hidup adalah pilihan—ada yang memilih jalan nyaman, ada pula yang penuh tantangan. Namun, apapun keadaannya, tetaplah jalani dengan hati yang bahagia, tambahnya sambil tersenyum.
Dalam film tersebut, Putra Euis, Jun Chang, yang duduk di kelas 6 SD di Xinzhuang, menceritakan bahwa teman-temannya sempat bertanya mengapa kulitnya lebih gelap. Namun, dengan bangga ia menjawab bahwa kulit gelap menandakan tubuh yang sehat.
Film ini menggambarkan berbagai tantangan dan perjuangan menjadi generasi kedua imigran di Taiwan (新二代). Meski begitu, kedua anak Euis tetap menunjukkan sikap positif dan menerima identitas mereka sebagai bagian dari komunitas Taiwan dan Indonesia.
Tahun ini, acara yang didukung oleh Kementerian Kebudayaan Taiwan ini mengusung empat tema utama, dengan 22 pemutaran yang diselenggarakan di beberapa lokasi seperti New Taipei City Library Main Branch, Fuzhong 15 Documentary Cinema, Vieshow Cinemas Global Mall, and Banqiao Showtime Cinema.
Dalam sebuah pers rilis, walikota New Taipei Hou Yu-ih (侯友宜) turut menyampaikan apresiasi kepada para sineas dokumenter. Ia menyoroti dedikasi dan gairah mereka dalam merekam kehidupan dengan keindahan yang autentik.
“Kami berharap semakin banyak bakat baru yang terinspirasi untuk mendokumentasikan keragaman suara masyarakat dan menciptakan karya yang bermakna serta menginspirasi,” kata Hou dalam sebuah pers rilis.
Selesai/IF