Taipei, 17 Nov. (CNA) Peneliti hukum di Academia Sinica Yang Ya-Wen (楊雅雯), Minggu (16/11) menyebut sistem migran di Taiwan masih mewarisi logika kontrol otoriter terhadap tenaga kerja yang terus berubah, namun masih belum menjadi kebijakan pekerja yang tidak demokratis dan tidak berperspektif hak asasi manusia (HAM).
Dalam Seminar Publik: Hapuskan Batas Lama Kerja bagi Pekerja Migran" yang digelar Serikat Buruh Industri Perawatan Taiwan (SBIPT) di Taipei, Yang mengatakan bahwa sistem migran "sementara", yang berarti pekerja migran punya batasan masa kerja di Taiwan, dibentuk saat konsep HAM belum tertanam di Taiwan dan saat itu negara masih dalam proses demokratisasi di awal dekade 1990-an.
Yang menyebut di era tersebut "memiliki keluarga di Taiwan" bahkan bisa jadi alasan deportasi imigran, dan klausul yang menyebut pekerja migran "hanya bersifat tambahan" membuat mereka tidak boleh menjadi penduduk tetap dan bekerja di pasar kerja sekunder yang tidak diminati warga lokal untuk memastikan "tidak ada kompetisi".
"Tetapi, sifat sementara ini sebenarnya fiksi hukum. Secara individu mereka tinggal sementara, sedangkan secara struktural, pekerja migran adalah komponen permanen dalam ekonomi Taiwan, menyediakan tenaga kerja murah dalam jangka panjang," kata Yang.
Sepanjang 30 tahun terakhir, masa tinggal "sementara" bagi pekerja migran terus berubah ukurannya. Pada 1992-1997 adalah satu tahun plus satu tahun perpanjangan; pada 1997 berubah jadi kontrak 2+1 tahun; pada 2001 total dapat tinggal enam tahun dan satu kali masuk lagi setelah keluar minimal 40 hari; pada 2007 total sembilan tahun; pada 2012 jadi total 12 tahun; dan di tahun 2015, Pekerja Rumah Tangga (PRT) bisa tinggal hingga 14 tahun, berhenti tepat sebelum ambang 15 tahun agar tidak memenuhi syarat pensiun. Sementara bagi pekerja formal masih maksimal 12 tahun.
Menurut Yang, setiap perubahan perpanjang berasal dari tuntutan majikan. Mereka menginginkan pekerja stabil dan terlatih karena pergantian yang cepat akan merugikan biaya, namun lembaga pemerintah dulu menolak karena memahami bahwa perpanjangan masa tinggal berarti membuka isu-isu HAM seperti reunifikasi keluarga, perlakuan setara, penghapusan kontrak jangka tetap, dan lain-lain.
"Yang dianggap akan meningkatkan biaya bagi majikan," kata Yang.
Sementara fungsi "sementara" pun menjadi mekanisme pembenaran untuk menghapus hak-hak penting, membenarkan perbedaan perlakuan, serta mempermurah nilai kerja migran, kata Yang.
Yang juga menyebut, semua kontrak migran diwajibkan berbentuk kontrak jangka tetap tiga tahun dan kontrak tersebut menjadi dasar izin tinggal. Dalam hukum Taiwan, kontrak jangka tetap harusnya pengecualian karena merugikan pekerja.
"Namun bagi migran justru diwajibkan. Ini menciptakan ketimpangan besar. Masa kontrak menjadi titik di mana majikan bebas memutuskan apakah pekerja boleh tetap tinggal. Majikan tidak perlu menindas secara langsung, cukup tidak memperpanjang kontrak pada pekerja yang aktif mengorganisir. Maka gerakan buruh pun bisa dimatikan," kata Yang.
Selain itu Yang menyebut, kontrak jangka tetap juga mencabut hak pekerja untuk mengakhirinya secara sepihak. Migran hanya bisa keluar dari kontrak jika majikan setuju, memberi majikan hak veto total, yang mana, menurut Yang, sudah memenuhi unsur kerja paksa menurut Konvensi ILO No. 29, di mana pekerja tidak bisa keluar dari hubungan kerja.
"Ketiadaan hak pindah majikan, tingginya biaya penempatan, serta biaya ilegal setiap kali ganti kontrak, semuanya jadi unsur risiko kerja paksa yang ditopang oleh hukum negara. Istilah "sementara" ini justru memperkuat kerja paksa," kata Yang.
Sementara itu, Wakil Kepala Divisi Pengelolaan Tenaga Kerja Internasional Kementerian Tenaga Kerja (MOL) Taiwan, Hu Hsin-Ye (胡欣野) menilai sejak tiga tahun lalu, berbagai kelompok masyarakat terus menyampaikan bahwa Taiwan tidak seharusnya lagi melihat tenaga kerja asing hanya sebagai "tenaga kerja sementara", seperti konsep guest worker pada umumnya.
Pihak MOL mendengarkan itu dan karenanya, setelah melakukan pembahasan lintas kementerian dan mempertimbangkan pendapat berbagai pihak, pada April tiga tahun lalu kami program "Skema Retensi & Penggunaan Tenaga Migran Berbakat atau yang di kalangan pekerja migran Indonesia sebagai PTTM diluncurkan.
"Melalui skema ini, pekerja migran berpengalaman dan memiliki keahlian dapat dipekerjakan langsung oleh majikan dengan gaji lebih tinggi untuk pekerjaan tingkat menengah. Dan jika telah bekerja di Taiwan lebih dari lima tahun, pada dasarnya ada kesempatan untuk beralih menuju jalur imigrasi," kata Hu.
Sejak skema ini dimulai tiga tahun lalu pada bulan April sampai Oktober tahun ini, sudah ada 57.000 pekerja migran senior yang beralih menjadi PTTM (Pekerja Teknis Tingkat Menengah). Rata-rata setiap tahun bertambah lebih dari 10.000 orang. Selain itu, pekerja rumah tangga tingkat menengah menyumbang 58 persen dari keseluruhan tenaga tingkat menengah, menunjukkan bahwa proporsinya cukup besar.
Berdasarkan Long-term Retention of Migrant Workers Service Center dari Badan Pengembangan Tenaga Kerja (WDA) dari jumlah tersebut ada 30920 orang Indonesia yang terdaftar sebagai PTTM dan sisanya adalah Vietnam (11340), Filipina (11309), Thailand (4032), dan 53 pekerja dari berbagai negara lainnya.
"Tentu, setiap kebijakan akan terus dievaluasi dan diperbaiki. Baik kategori pekerjaan tingkat menengah maupun kualifikasi teknisnya juga akan terus kami tinjau dan tingkatkan," kata Hu.
Selesai/ML