Taipei, 18 Nov. (CNA) Ketua International Migrant Alliance, Eni Lestari menilai Indonesia belum meratifikasi Konvensi Organisasi Perburuhan Internsional (ILO) No. 181 tahun 1977 yang melarang biaya penempatan dan perekrutan pekerja, padahal ini merupakan kesepakatan internasional yang bisa jadi landasan bagi pekerja migran untuk menuntut dihapuskannya biaya agensi.
Dalam "Seminar Publik: Hapuskan Batas Lama Kerja bagi Pekerja Migran" yang digelar Taiwan International Workers’ Association (TIWA) di Taipei, Minggu (16/11), Eni menyebut dalam konvensi tersebut diatur beberapa pelanggaran terkait pembebanan biaya agensi pada pekerja migran yang di antaranya melarang pekerja menanggung semua biaya dan pengeluaran terkait perekrutan dan penempatan yang harusnya dibebankan pada majikan dan agen swasta yang tidak boleh membebankan biaya secara langsung atau tidak langsung kepada pekerja termasuk biaya pemrosesan, dokumen hukum, dan biaya perjalanan.
“Jadi baik Taiwan dan Indonesia harus melarang biaya penempatan dan perekrutan. Pemerintah Indonesia menetapkan 'zero agency fee', tetapi faktanya di lapangan masih berlangsung. Artinya Taiwan dan Indonesia punya masalah besar di sini,” kata Eni.
Berdasarkan data ILO, Indonesia dan Taiwan belum meratifikasi Konvensi ILO 181. Indonesia telah meratifikasi banyak konvensi ILO sejak menjadi anggota pada tahun 1950. Tetapi Konvensi 181, yang berkaitan dengan agensi penempatan swasta, tidak termasuk dalam daftar tersebut.
Sementara Taiwan juga bukan anggota ILO dan oleh karena itu tidak dapat meratifikasi konvensinya.
Indonesia.
Menurut Eni, ini merupakan bentuk diskriminasi struktural yang dialami pekerja migran. Menurut dia, diskriminasi ini terjadi karena sejak era neoliberalisme di tahun 1970-an, mengejar profit sebagai ukuran pembangunan yang sukses dianggap wajar.
Ini berimplikasi pada sumber buruh murah dan lebih banyak profit, di mana pekerja migran dianggap sebagai komoditas tanpa pengakuan hak sebagai pekerja perempuan dan manusia, kata Eni.
Sejumlah upaya telah dilakukan di tingkat global. Selain konvensi Konvensi no. 181 ada juga tentang perlindungan hak semua pekerja migran dan anggota keluarganya (ICRMW) 1990 yang diadopsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di mana menekankan non-diskriminasi pada pekerja, perlindungan hukum, hak terkait pekerjaan, serta Konvensi ILO no. 97 dan 143 tentang pekerja migran di mana mencakup hak atas gaji yang adil, kondisi kerja yang aman dan sehat, kebebasan berserikat, dan akses pada keadilan.
“Ini bisa jadi dasar kita untuk menuntut. Caranya bagaimana? Ya harus berorganisasi,” kata Eni.
Menurut Eni, sejak 1990-an terjadi migrasi besar-besaran umat manusia di seluruh dunia karena terjadi kemiskinan struktural imbas dari pembangunan yang tidak merata. Menurutnya kenaikan perpindahan manusia yang naik 42 juta jiwa per dekade ini diperparah dengan adanya konflik dan krisis iklim. Dari jumlah tersebut, 168 jutanya adalah pekerja migran temporary dan 48 persen adalah perempuan.
Di negara penerima, pekerja migran memegang peranan besar sebagai pekerja di sektor dasar sambil “dianggap alat” mencapai percepatan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Di sisi lain, lanjut Eni, pekerja migran juga berkontribusi langsung pada roda ekonomi di negara penempatan dan memperkaya keanekaragaman.
“Sebaliknya di dalam negeri, pekerja migran mengurangi pengangguran. Ada 10 juta yang berangkat berarti 10 juta masalah pengangguran di dalam negeri teratasi. Selain itu memberi pemasukan non-pajak melalui berbagai pungutan dan mengirimkan remitansi besar secara rutin,” kata Eni yang mengutip data pada 2023, pendapat negara dari remitansi pekerja migran mencapai US$873 miliar.
Namun pekerja migran masih diperlakukan tidak baik di negara asal maupun di negara penerima. Menurut Eni di negara penerima tidak semua pekerjaan dimasukkan ke dalam Undang Undang Ketenagakerjaan. Misalnya di Taiwan, pekerja migran sektor domestik tak dianggap di UU Ketenagakerjaan sehingga menyebabkan mereka tidak punya aturan jam kerja dan hari libur.
Sementara di negara asal, pekerja migran dianggap sebagai komoditas dan juga tidak diakui sebagai pekerja. Belum lagi pemungutan biaya yang membuat pekerja migran jadi budak hutang.
“Jadi bagaimana pekerja migran Indonesia (PMI) mau diakui oleh negara penempatan kalau di Indonesia saja tidak diakui sebagai pekerja. Belum lagi slogan seperti “Pergi Migran, Pulang Juragan” dari pemerintah yang menutupi kenyataan yang sesungguhnya dihadapi oleh PMI saat pulang ke Indonesia,” kata Eni.
Oleh karena itu, ia menekankan perlunya migran untuk berserikat. Menurut dia, migran jumlahnya banyak dan tersebar namun suaranya tidak terdengar. Dengan berserikat, maka isu migran akan semakin mengemuka dan ia juga menilai yang paling berhak berbicara tentang migran adalah migran itu sendiri. "Juga bersolidaritas dan berkonsolidasi dengan masyarakat dan pekerja lokal. Karena sebagai migran kita itu rentan, dan teman-teman lokal inilah yang bisa membantu meringankan situasi kita di perantauan," kata Eni.
Selesai/ML