Taipei, 17 Sep. (CNA) Film dokumenter panjang “Tuned In” (新來的小朋友) karya sutradara Indonesia berbasis Taiwan, Martin Rustandi, resmi diputar di ajang World Ethnic Film Festival 2025 yang dibuka pada Minggu (12/9) di Huashan 1914 Creative Park, menurut siaran pers film tersebut yang diterima CNA.
Pembukaan festival turut dihadiri sejumlah sineas ternama, di antaranya sutradara Yu Kan-ping (虞戡平) lewat karyanya "Outcasts" (孽子), sutradara Ma Chih-hsiang (馬志翔), dan produser Wei De-sheng (魏德聖) yang dikenal melalui film "Kano".
Sutradara asal Indonesia itu juga hadir memperkenalkan film terbarunya “Tuned In” (新來的小朋友) bersama sutradara Malaysia Chong Keat Aun (張吉安) yang menayangkan karyanya "Pavane for an Infant".
Seperti yang pernah diberitakan sebelumnya, film "Tuned In" menceritakan tentang seorang anak keturunan Indonesia yang beradaptasi di Taiwan. Selain menceritakan Zane dan keluarganya, film ini juga menampilkan tiga tokoh lain dengan latar belakang unik seperti Melati, seorang seniman seni tari, Nita, mantan pekerja migran yang kini menjadi mahasiswa, dan Pindy, perawat migran yang kini terjun dalam dunia seni lilin karet.
Baca juga: Film dokumenter Indonesia, Tuned In, tayang di World Premiere Taoyuan
Dalam festival kali ini, Pemeran film "Tuned In", Zane yang lahir dan besar di Taiwan, bersama orang tuanya ikut menghadiri kegiatan tersebut. Meskipun Zane tampak malu ketika melihat dirinya muncul di visual utama festival, tetapi dalam acara tersebut, ia sempat menyanyikan lagu bertajuk "Heidenröslein", yang juga dimuat dalam film berdurasi 90 menit itu.
Festival ini memasuki tahun ke-4 penyelenggaraannya. Jika awalnya berfokus pada film karya masyarakat Mongol dan Tibet, kini cakupannya meluas hingga mencakup berbagai etnis di dunia, termasuk masyarakat adat Taiwan, komunitas imigran baru, serta isu kesetaraan gender.
Nilai "menghormati keberagaman, saling memahami" menjadi semangat utama yang ditampilkan dalam festival ini, ujar sutradara Martin Rustandi dalam siaran persnya.
Martin pun dalam kata sambutannya tak lupa mengucapkan terima kasih kepada Kementerian
Kebudayaan Taiwan, Pusat Budaya Mongolia-Tibet, National Film and Audiovisual Culture Center, Swallow Wings Films, dan semua sutradara senior.
“Hari ini menjadi kehormatan bisa berada di sini dengan semuanya. Saya berharap dapat menyelesaikan film fiksi panjang pertama saya dan semoga di masa depan ada kesempatan untuk belajar dan bekerja sama dengan mereka.” Ujar Martin.
Menjelang akhir acara, sutradara Ma Chih-hsiang (馬志翔) memberi dorongan khusus kepada Martin Rustandi agar tidak terburu-buru dan terus mengembangkan cerita, dan jangan takut meminta orang lain membaca naskah sang sutradara.
“Saat cerita itu matang dan alami, kesempatan akan muncul.” Ujar Ma.
Saat diwawancarai CNA, Martin menyebutkan bahwa dirinya menghargai semua pesan dan dorongan yang dibagikan oleh sutradara lainnya saat menghadiri festival tersebut.
“Dalam hal membuat film terkadang sangat menantang dan kesepian, tetapi dukungan memberikan energi untuk terus melangkah, itu yang membuat lebih bersemangat,” tutur Martin.
Martin menginformasikan bahwa World Ethnic Film Festival tahun ini berlangsung di enam kota di Taiwan: Taipei, Taichung, Chiayi, Tainan, Kaohsiung, dan Hualien, pada 12-21 September.
Saat dihubungi CNA, salah satu penonton, Gilian Lou, mengaku merasa sangat beruntung dapat menyaksikan pemutaran film di Huashan 1914 Creative Park bersama teman-teman sesama warga negara Indonesia, sekaligus berkesempatan berfoto bersama.
"Film ini sangat menarik. Menceritakan 5 kisah PMI atau migran baru di Taiwan, terutama kisah Zane dari pasangan Ela dan Ricky. Perlakuan teman-teman dan guru di sekolah Zane semua bisa kita tonton, jadi kita tahu. Anak ini juga pintar menyanyi lagu seriosa, pertukaran bahasa Inggrisnya yang pintar dengan teman-teman Taiwan yang berbahasa Mandarin. Uniknya, pertanyaan yang sering ditanyakan oleh Zane adalah 'Kamu orang Indonesia atau Taiwan' pada semua orang yang dijumpainya," ujar Gilian.