KILAS BALIK /Mei 1998: Warga Taiwan dalam pusaran kerusuhan Mei Indonesia

15/05/2025 18:15(Diperbaharui 15/05/2025 19:44)

Untuk mengaktivasi layanantext-to-speech, mohon setujui kebijakan privasi di bawah ini terlebih dahulu

Penumpang yang kembali ke Taiwan dari Indonesia dengan pesawat tambahan, turun di Bandara Internasional Chiang Kai-shek (sekarang Taoyuan) pada 20 Mei 1998. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)
Penumpang yang kembali ke Taiwan dari Indonesia dengan pesawat tambahan, turun di Bandara Internasional Chiang Kai-shek (sekarang Taoyuan) pada 20 Mei 1998. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)

Oleh Jason Cahyadi dan Muhammad Irfan, penulis staf CNA

Di Indonesia, Mei 1998 dipenuhi gejolak sosial dan politik. Salah satu yang paling terdampak adalah etnis Tionghoa, termasuk yang berasal dari Taiwan. Arsip CNA merekam sejumlah kesaksian mereka, termasuk yang sempat terjebak, menyaksikan kepunyaan mereka musnah, hingga mencari cara pulang.

Situasi di Indonesia langsung direspons pihak Taiwan mengingat ada ribuan warganya yang beraktivitas di Indonesia dan solidaritas mereka terhadap etnis Tionghoa perantau.

Kerusuhan

Pada 14 Mei, kegiatan Jakarta Taipei School (JTS) dihentikan. Namun, ada lebih dari 20 siswa yang sempat terjebak karena kerusuhan, dan baru dapat dikawal pulang pada pukul 4 pagi esok harinya. Lima mahasiswa teknik Taiwan dari Bandung dan 20 guru yang sedang berada di JTS juga tidak dapat dihubungi.

Pada hari yang sama, lima badan usaha milik warga Taiwan dikonfirmasi telah rusak karena kerusuhan. Keesokannya, beberapa pabrik pengusaha Taiwan di Indonesia berhenti beroperasi, sementara asosiasi pengusaha Taiwan di Jakarta telah menghentikan kegiatan operasional. Semuanya juga tidak dapat dihubungi.

Baca bagian sebelumnya: Mei 1998: Gejolak Taiwan dalam kerusuhan di Indonesia

Setelah terjadi gejolak di pemerintah dan perdebatan di legislatif, kelompok kerja lintas kementerian pada 15 Mei memutuskan penambahan penerbangan EVA Air dan China Airlines ke Indonesia untuk membawa pulang warga Taiwan, mulai sehari setelahnya.

Arsip CNA merekam ragam kesaksian warga Taiwan yang ada di Indonesia dan mengalami peliknya kerusuhan Mei 1998.

Turis Taiwan yang terjebak di Indonesia tiba di Bandara Internasional Chiang Kai-shek pada 16 Mei 1998 setelah dijemput pesawat tambahan. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)
Turis Taiwan yang terjebak di Indonesia tiba di Bandara Internasional Chiang Kai-shek pada 16 Mei 1998 setelah dijemput pesawat tambahan. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)

Pada 14 Mei misalnya, sejumlah warga yang tiba di Bandara Internasional Kaohsiung mengungkapkan mereka terpaksa bersembunyi di hotel semalaman, tidak berani makan atau menyalakan lampu karena khawatir.

Mereka memanfaatkan malam yang lebih tenang untuk meminta bantuan seorang pendeta yang membantu menghubungkan mereka dengan militer Indonesia untuk mengantarkan mereka ke bandara.

Sementara seorang pengusaha Taiwan yang telah berinvestasi di Indonesia lebih dari sepuluh tahun mengatakan Jakarta seperti berada dalam keadaan tanpa pemerintahan, dengan mobil rekan-rekannya tidak bisa keluar karena massa membakar kendaraan di jalanan.

Dikarenakan pengusaha Taiwan menjadi target serangan massa di Indonesia, ujarnya, banyak yang bergegas menuju bandara dan berusaha untuk pulang secepatnya, namun tiket pesawat sangat sulit didapat dan toko bebas pajak di bandara ditutup untuk mencegah perampokan.

Beberapa memilih untuk bersembunyi di rumah, tidak keluar sama sekali, sementara supermarket, pabrik, dan kendaraan dibiarkan dihancurkan dan dirampok, tambahnya.

Pada 15 Mei, sebuah pesawat EVA Air kembali ke Taipei, membawa penumpang yang masih dalam keadaan terkejut dan menggambarkan beberapa hari terakhir mereka "Seperti melarikan diri dari bencana, menderita tak tertahankan."

Seorang pengusaha mengatakan ia dan keluarganya menghabiskan 15 jam dalam ketidakpastian tanpa air, listrik, atau makanan, sementara pabriknya dikepung 400 orang.

Seorang wisatawan mengatakan, "Kaca-kaca pusat perbelanjaan dihancurkan, dan para perusuh masuk dan mengambil semua barang yang ada, semuanya sangat menakutkan."

Seorang pengusaha Taiwan yang kembali dari Indonesia pada tanggal 18 mengatakan bahwa pabrik tekstil yang ia bangun dengan susah payah dibakar massa pada hari kedua setelah kerusuhan pecah.

Sebelum kerusuhan pecah, lebih dari 20.000 pebisnis Taiwan dan keluarga mereka tinggal di Indonesia. Hingga 20 Mei, 6.000 warga Taiwan dan sejumlah warga Tionghoa Indonesia telah dibantu dievakuasi ke Taiwan, menurut pejabat.

Turis Taiwan yang terjebak di Indonesia tiba di Bandara Internasional Chiang Kai-shek pada 16 Mei 1998. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)
Turis Taiwan yang terjebak di Indonesia tiba di Bandara Internasional Chiang Kai-shek pada 16 Mei 1998. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)

Kekerasan

Laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Republik Indonesia mencatat 13-15 Mei 1998 menjadi tiga hari terburuk yang merekam titik kulminasi kemarahan publik pada rezim militer Orde Baru.

Peneliti Eunike Mutiara Himawan, Annie Pohlman, dan Winnifred Louis pada "Revisiting the May 1998 Riots in Indonesia: Civilians and Their Untold Memories" (2022) menyebut di tiga hari tersebut lebih dari 1.000 orang tewas, diperkirakan 400 perempuan dan anak perempuan etnis Tionghoa diperkosa, dan toko serta rumah milik warga Tionghoa Indonesia dijarah dan dihancurkan.

Namun, situasi ini tak begitu saja terjadi. Kerusuhan pecah setelah empat mahasiswa Trisakti yang berdemonstrasi menuntut mundurnya Soeharto, ditembak mati aparat pada 12 Mei. Demonstrasi yang digelar di sejumlah kota besar sejak Desember 1997 hingga Mei 1998 ini merespons kegagalan pemerintah menangani krisis moneter yang terjadi sejak akhir 1997.

Baca juga: Mei 1998: Ketika tiga menteri Indonesia datang di tengah kerusuhan

"Pemerintah militer berusaha mengalihkan kemarahan rakyat dengan menjadikan komunitas Tionghoa Indonesia sebagai kambing hitam, menuduh mereka berperan dalam keruntuhan ekonomi, yang kemudian memicu kemarahan masyarakat," tiga peneliti tersebut menyatakan.

Menurut kajian literatur Himawan, Pohlman, dan Louis, meskipun demonstrasi massal didorong faktor ekonomi dan politik untuk menggulingkan rezim militer Orde Baru, prasangka terhadap etnis Tionghoa juga memainkan peran kunci.

Para wisatawan Taiwan yang terjebak di Indonesia pada 16 Mei 1998 bergegas menuju Bandara Internasional Soekarno–Hatta untuk menaiki penerbangan tambahan. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)
Para wisatawan Taiwan yang terjebak di Indonesia pada 16 Mei 1998 bergegas menuju Bandara Internasional Soekarno–Hatta untuk menaiki penerbangan tambahan. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)

Jemma Purdey dalam "Anti-Chinese Violence in Indonesia, 1996–1999" (2006) berpendapat bahwa kekerasan massal Mei 1998 harus dipandang sebagai serangan sistematis terhadap etnis Tionghoa Indonesia dan merupakan klimaks dari sejarah panjang kekerasan terhadap minoritas etnis ini.

"Kebijakan pemerintah Orde Baru sejak awal mendiskriminasi warga Tionghoa Indonesia, memperkuat stigmatisasi anti-Tionghoa yang historis, dan menjadikan mereka kambing hitam politik yang turut berkontribusi pada terjadinya kekerasan," tulis Purdey yang dikutip tiga peneliti tadi.

Stigmatitasi etnis Tionghoa di Indonesia

Etnis Tionghoa di Indonesia kerap dicap serakah dan eksploitatis berdasarkan superioritas ekonomi mereka, dianggap melalui kebijakan asimilasi yang dipaksakan sejak 1950-an, serta diasumsikan masih loyal kepada Tiongkok dan cenderung eksklusif, demikian tiga peneliti tersebut. Dengan kondisi seperti ini, cukup mudah membuat minoritas Tionghoa jadi sasaran kekerasan.

Buruknya, stigmatisasi ini dipertahankan negara. Penelitian Purdey menyatakan bahwa kerusuhan Mei 1998 juga menunjukkan keterlibatan militer dalam mendukung kekerasan pada etnis Tionghoa. Hal ini pula yang dianggap Himawan dan kawan-kawan jadi biang mengapa kasus ini tak pernah betul-betul ditindaklanjuti dan terungkap. Padahal, ada sejumlah bukti yang telah dikumpulkan lembaga hak asasi manusia dan badan lainnya.

Himawan menulis, kebuntuan politik ini tercermin dari tidak adanya data resmi korban dan kerugian kerusuhan, investigasi mendalam terhadap aktor utama atau pengadilan terhadap pelaku, serta rehabilitasi atau kompensasi dari pemerintah.

Wisatawan Taiwan di Indonesia tertidur di Bandara Internasional Soekarno-Hatta pada 16 Mei 1998 setelah mendengar akan adanya pesawat tambahan. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)
Wisatawan Taiwan di Indonesia tertidur di Bandara Internasional Soekarno-Hatta pada 16 Mei 1998 setelah mendengar akan adanya pesawat tambahan. (Sumber Foto : Dokumentasi CNA)

Kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998

Salah satu aspek paling mencolok dari kekerasan Mei 1998 adalah banyaknya laporan tentang pemerkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa. Himawan menyebut kekerasan seksual ini menimbulkan ketakutan dan trauma yang luar biasa dalam komunitas Tionghoa Indonesia.

Dalam laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dirilis pada 1999, sekitar 85 kasus kekerasan seksual dilaporkan selama kerusuhan, termasuk pemerkosaan kelompok, mutilasi organ genital, dan pembunuhan setelah pemerkosaan.

Namun, banyak aktivis hak asasi manusia dan organisasi perempuan percaya bahwa angka sebenarnya jauh lebih tinggi, karena banyak penyintas yang enggan atau takut untuk melapor.

Himawan menulis, pasca kerusuhan, berbagai organisasi masyarakat sipil dan kelompok perempuan mencoba mendokumentasikan dan memberikan dukungan kepada para penyintas, meskipun menghadapi berbagai rintangan.

Misalnya, organisasi seperti Solidaritas Perempuan Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (SPAK) dan Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRUK) aktif mendampingi korban, menyuarakan keadilan, dan menuntut pertanggungjawaban negara.

Namun, trauma, ketakutan terhadap stigma sosial, dan tidak adanya perlindungan hukum membuat banyak penyintas memilih diam.

Laporan-laporan ini tidak langsung menyebar secara global. Namun, setelah berbagai kasus bermunculan dan terendus dunia internasional, protes lanjutan bermunculan. Salah satunya kembali dari Taiwan.

Selesai/ML

How mattresses could solve hunger
0:00
/
0:00
Kami menghargai privasi Anda.
Fokus Taiwan (CNA) menggunakan teknologi pelacakan untuk memberikan pengalaman membaca yang lebih baik, namun juga menghormati privasi pembaca. Klik di sini untuk mengetahui lebih lanjut tentang kebijakan privasi Fokus Taiwan. Jika Anda menutup tautan ini, berarti Anda setuju dengan kebijakan ini.
Diterjemahkan oleh AI, disunting oleh editor Indonesia profesional.