Taipei, 8 Mei (CNA) Pendiri dan Presiden Masyarakat Antifitnah Indonesia (MAFINDO), Septiaji Eko Nugroho menilai perlunya literasi digital di kalangan migran agar terhindar dari ancaman penipuan daring yang mengancam diri mereka sendiri, juga keluarganya di tanah air.
Disampaikan dalam Forum Cek Fakta Taipei 2025 yang digelar Taiwan FactCheck Center, Rabu (7/5), ia menyebut sebagai individu yang memiliki upah di atas rata-rata pekerja di Indonesia, pekerja migran Indonesia (PMI) sering jadi sasaran sindikat penipuan daring.
Sayangnya, sasaran mereka tidak hanya PMI yang bekerja di luar negeri tetapi juga keluarga mereka yang ada di Indonesia, kata pria yang akrab disapa Aji ini.
Satu kasus yang pernah ia temui adalah seorang keluarga PMI di Indonesia yang jadi korban penipuan karena ditelepon orang tak dikenal yang mengatakan anak mereka di Taiwan terjerat kasus. Jika hendak menolong, keluarga diminta membayar sejumlah uang, ujarnya.
"Setelah beberapa lama baru tahu kalau itu skema penipuan. Zaman sekarang, sindikat penipuan ini lebih canggih lagi," kata Aji.
Menurut dia, yang dihadapi dua tahun terakhir adalah sindikat penipuan yang bahkan sudah bisa mengakses data didukung sejumlah kasus kebocoran data yang terjadi di Indonesia. Ditambah dengan kecerdasan buatan (AI) yang disalahgunakan atau deepfake, ujarnya.
Oleh karena itu, Aji menilai literasi digital bagi PMI mendesak karena mereka tengah menjadi sasaran di situasi penipuan yang semakin canggih.
"Karena mereka adalah pahlawan devisa kita, mereka harus mendapat perlindungan, dan mendapat pembaharuan pengetahuan," kata Aji.
Di tahun 2025, kata Aji, pihaknya pun memperbaharui kurikulum pelatihan terutama pada pepahama literasi AI dan pemanfaatan yang menyimpang dari AI. Misalnya, bagaimana AI digunakan untuk meniru suara, lanjutnya.
"Makanya ada AI content detection. Tools pengecekan foto, audio, sehingga bisa memantau berapa persen satu konten ini dibuat menggunakan AI. Banyak tools yang dikembangkan," kata Aji.
Mudahnya, sambung Aji, ketika menemukan satu gambar atau berita aneh yang tidak diberitakan di media pada umumnya berhentilah mengakses dan jangan langsung percaya.
Jika ingin mencoba menelusuri, silakan mengikuti panduan pengecekan fakta, kata Aji, menambahkan bahwa intinya perlu ada pemahaman kalau informasi bisa jadi gratis, tetapi harus memverifikasi untuk memastikan keasliannya.
Mengenai tantangan yang dihadapi dalam literasi digital di kalangan PMI, Aji menyebut banyaknya jumlah mereka di Taiwan tidak semuanya bisa dijangkau fasilitator seperti MAFINDO, sehingga perlu ada intervensi dari pemerintah Indonesia serta perwakilannya di Taiwan.
"Mereka harus mengerti kalau ini mendesak. Bagaimana caranya supaya pendekatan literasi digital ini lebih meluas lagi dan jadi set standar kemampuan ketika PMI bekerja di luar negeri. Kalau yang sudah berangkat duluan ada mekanisme agar mereka lebih waspada. Serta tentunya melibatkan kelompok-kelompok migran, ormas (organisasi masyarakat), atau tokoh-tokoh yang datang ke Taiwan untuk menyinggung isu ini," ucap Aji.
Pengetahuan dasar cek fakta
Sementara itu, Hsia Hsiao-chuan (夏曉鵑) dari TransAsia Sisters Association (TASA) menyebut penting bagi seluruh pihak untuk kritis terhadap apa yang mereka lihat di sosia media.
TASA, yang merupakan mitra MAFINDO dalam program literasi digital PMI di Taiwan, menyebut perlu pengetahuan dasar bagi semua pengguna internet, terutama dalam hal ini PMI di Taiwan memahami cara mengecek fakta.
“Jangan percaya apa pun yang kamu lihat. Harus dicek dulu,” kata Hsia yang juga seorang profesor di Shih Hsin University.
Hsia menyebut bahwa dalam program bersama MAFINDO yang ia jalankan, pernah sekali pihaknya menemukan penyintas penipuan internet yang memilih menonaktifkan semua sosial medianya setelah ia menjadi korban.
Menurut Hsia, langkah ini bukan cara efektif menghindari kejahatan di internet, soalnya dengan menjauhkan diri dari dunia luar korban justru akan terhalang dari sumber informasi yang membuatnya bisa semakin berpotensi terjebak lagi.
“Ini justru lebih berbahaya karena mereka akan menjadi terisolasi dengan dunia luar. Enggak tahu apa yang terjadi. Yang penting adalah bagaimana menggunakannya dengan cerdas,” kata Hsia.
Menurut Hsia, program literasi digital bagi PMI yang dilakukan TASA mengajak serta kelompok PMI di Taiwan untuk terlibat aktif dalam upaya pencegahan penipuan digital.
Caranya adalah dengan membangun jejaring seperti yang pihaknya lakukan dengan grup nelayan migran di selatan Taiwan atau kelompok PMI yang belajar bahasa Mandarin di Kota Taichung, tambahnya.
Dengan membangun jejaring ini, kata Hsia, mereka akan menyosialisasikan apa yang mereka dapat ke lingkungan mereka sendiri dengan bahasa mereka sendiri.
“Kami berbincang dengan tokoh-tokoh dari kelompok ini apa yang mau mereka tuju, apa yang mau mereka targetkan dan semacamnya. Dan bagaimana mereka melakukan cek fakta, serta terlibat dalam kegiatan mereka. Jadi kami tidak bekerja sendiri tapi melalui jejaring yang membuatnya berkesinambungan. Kami tak perlu menerjemahkan, mereka akan melakukannya sendiri dan kami mendampingi,” kata Hsia yang memulai program ini sejak 2023.
Selain itu intinya adalah bagaimana membuat proses belajar menjadi menyenangkan. Misalnya, dengan kampanye kreatif dan fokus pada metode yang sederhana, misalnya menggunakan Google Lens untuk melakukan cek fakta, kata Hsia.
Ditambah lagi bagaimana berdiskusi agar mereka terbuka, kata Hsia. Menurutnya, sering ditemui korban penipuan daring merasa malu dan enggan berbagi, padahal ini bukan kesalahan mereka.
“Hanya satu metode ini. Tapi poinnya bagaimana mereka peduli pada isu ini dan dengan mendiskusikan ini mereka lebih terbuka, kemudian mereka mulai paham bahwa itu bukan salah mereka tetapi sistem,” ucap Hsia.
Selesai/JC