Oleh Mira Luxita, staf reporter CNA.
Wati (nama samaran) menitikkan air mata saat mengingat peristiwa sebelum ia datang ke panti Harmony. Ia terlunta-lunta bagai tuna wisma tidur di stasiun kereta api Taichung dengan kondisi kehamilan 8 bulan. Tak ada uang yang tersisa, hanya mengandalkan bantuan orang-orang sekitarnya, ungkap Wati dalam wawancaranya bersama CNA.
Alasan kabur karena gaji tak dibayar
Wanita asal Jawa Barat ini menuturkan cerita kelabunya pada CNA dimulai pada tahun 2024 lalu, dimana ia memutuskan menjadi pekerja tak berdokumen atau pekerja migran overstayer (PMIO).
“Tidak ada niatan untuk saya kabur. Saya memutuskan kabur karena perlakuan agensi yang tidak memihak pada pekerja. Gaji saya pun tidak diberi,” ujarnya dengan tangis terisak.
Awal mulanya, dua tahun yang lalu, 2023 Wati datang sebagai pekerja perawat migran yang menjaga orang tua. Pasien pertamanya meninggal dunia. Ia pun berganti majikan baru. Sayangnya pasien kedua pun juga meninggal dunia. Agensi memberikan job baru menjaga pasien ketiganya.
Namun baru bekerja selama tiga minggu menjaga pasien, ia tertular cacar air dari majikannya. Sang majikan pun tak mengobatinya, bahkan langsung memberhentikan kontrak secara sepihak dan mengembalikan Wati kepada agensinya karena takut sang pasien tertular.
“Waktu itu saya bingung, saya yang tertular sakit dari mereka kok saya yang diberhentikan, bahkan tidak diobati dan gaji saya ditahan,” ujar Wati.
Wati mengakui pada saat itu ia tidak tahu harus mengadu ke mana. Ia hanya pasrah dengan tinggal di mes agensinya. Tak ada uang sama sekali. Malah agensinya meminta uang sewa tempat tinggal NT$350 (Rp 195 ribu) sebulan. Agensinya pun meminjaminya uang NT$1000 untuk makan sehari-hari.
“Uang seribu itu juga dipinjami. Gaji saya bekerja selama tiga minggu tidak dibayar. Saya sudah meminta, tapi mereka tidak membayarnya,” ungkap Wati.
Hampir sebulan ia tinggal di agensi, tak ada kabar untuk mendapat majikan baru, bahkan gajinya tidak dibayar. Ia membutuhkan uang untuk mengirimkan ke Indonesia karena ia menjadi tulang punggung keluarganya, ungkap Wati yang telah mempunyai 2 anak di kampung halamannya.
Akibat tuntutan hidup dan perlakuan agensi yang tak jelas, maka ia memutuskan untuk kabur dengan menghubungi agensi ilegal yang terdapat pada grup facebook. Akhirnya ia mendapat pekerjaan di Yilan sebagai perawat orang tua ilegal. Namun pekerjaannya tak menentu, kadang ada kadang tidak karena ia hanya menjadi pengganti perawat sementara.
Sang pacar kabur saat tahu ia hamil
Ia pun berpindah bekerja di perkebunan di Yilan. Di situlah ia mulai mengenal sosok pria yang menghamilinya. Wati bertemu pacarnya seorang PMIO dan memutuskan untuk tinggal bersama. Singkat cerita, Wati hamil. Ia baru mengetahui kehamilannya saat usia kandungan tiga bulan. Ia pun meminta pacarnya untuk bertanggung jawab, tetapi sang pacar malah pergi meninggalkannya.
Wati tetap bertahan kala itu dengan bekerja serabutan untuk membiayai hidupnya. Pada usia kehamilan lima bulan, ia memutuskan untuk ke klinik kandungan ingin melakukan aborsi. Ia diantar oleh seorang sopir taksi yang ia sebut taksi gelap untuk ke klinik kandungan. Namun saat ia memeriksakan kandungannya, sang dokter menolak untuk melakukan aborsi karena usia kehamilannya sudah besar.
Ia merasa kehilangan arah. Tak ada uang, tak ada pekerjaan. Ia putus asa dan berencana untuk menyerahkan diri ke kantor polisi. Kala itu ia berpikir untuk pergi ke Taichung karena di sana banyak razia untuk pekerja tak berdokumen dengan maksud agar ia dibantu dipulangkan atau ditaruh di detensi atau tempat penampungan.
Terlantar tanpa uang di stasiun Taichung
Saat tiba di salah satu kantor polisi Taichung untuk menyerahkan diri, polisi hanya memeriksanya dan menyerahkannya ke kantor imigrasi. Namun ternyata kantor tersebut tidak bisa berbuat apa-apa karena Wati tidak punya uang untuk membayar denda dan membeli tiket kepulangan. Wati pun dilepaskan kembali.
Saat itu ia tidak punya uang sepeserpun. Ia tak tahu harus pergi kemana. Akhirnya ia memutuskan untuk tinggal di stasiun kereta api Taichung. Ia pun sehari-hari tidur di sana.
Suatu hari temannya memberikan uang sebesar NT$1500 agar ia pergi ke Taipei dan tinggal di panti Harmony. Kini Wati tinggal di panti Harmony Taipei sudah satu minggu lebih. Ketika ditanya CNA apa rencana dan harapannya ke dapan, Wati menuturkan jika ia tidak punya rencana apapun, bahkan statusnya kini tidak jelas.
Wati menuturkan jika pihak imigrasi beberapa hari yang lalu menghubunginya dan mengatakan bahwa ia harus segera pulang ke Indonesia dalam waktu 10 hari dan membayar denda. Namun hingga CNA menemuinya di panti Harmony, Rabu (9/7), Wati mengungkapkan bahwa ia tak punya uang sepeser pun.
“Saya sebagai tulang punggung keluarga di Indonesia. Saya harus menghidupi anak-anak saya di Indonesia. Saya mendapat kabar, ibu saya meninggal dunia saat saya menyerahkan diri di Taichung. Kini saya tidak punya orang tua, dan harus menghidupi keluarga, serta menanggung kehamilan ini sendiri,” ujarnya.
Ingin melahirkan di Taiwan dan bekerja untuk bayar denda
Wati mengharapkan ada kebijakan dari pemerintah Taiwan untuk memudahkannya melahirkan di sini dan bekerja beberapa saat agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan membayar denda serta membeli tiket pesawat untuk pulang.
“Saya ingin pulang. Namun saya ingin bekerja dulu untuk mencari nafkah dan membayar denda. Saya juga ingin mengirimkan uang ke Indonesia. Selama saya menjadi kaburan, saya hanya sekali saja kirim uang, setelah itu tidak pernah lagi kirim uang karena tidak ada pekerjaan.” Ungkap Wati memelas.
Sementara itu, CNA juga menghubungi Kadir, analis bidang ketenagakerjaan Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI) Taipei. Kadir mengingatkan bagi rekan-rekan PMIO, keberadaan meraka termasuk pelanggaran keimigrasian dan hendaknya dapat menyerahkan diri segera. Ada banyak resiko kerja ilegal di Taiwan, selain melanggar aturan juga membahayakan bagi keselamatan diri sendiri
Disarankan jika ada masalah yang dihadapi, gunakan saluran pengaduan Taiwan (1955), maupun hotline KDEI Taipei.
“Bila ada masalah jangan melarikan diri (kabur), gunakan saluran pengaduan tersebut,” ujarnya.
Apabila teman-teman PMI sudah tidak bisa lanjut bekerja di Taiwan karena tidak keluar surat perpanjangan kontrak baru atau permit perpanjangan tidak bisa sehingga tidak bisa lanjut ke PTTM atau perpanjangan kontrak reguler, hendaknya untuk tetap mematuhi aturan, dalam artian harus kembali ke Indonesia.
Selesai/IF