Oleh Muhammad Irfan dan Jason Cahyadi, reporter dan penulis staf CNA
Hari ini, tepat 20 tahun lalu, gempa dan tsunami terjadi di Samudera Hindia memicu bencana besar di Aceh, Indonesia. Diperkirakan hampir 300.000 jiwa meninggal dunia dengan dampak yang juga dirasakan di sebagian Malaysia, Thailand, Sri Lanka, hingga Maladewa. Salah satu bencana terburuk di Indonesia ini tidak hanya dikenang dalam memori orang Indonesia tetapi juga bagi sebagian orang di Taiwan.
Baca juga: 20 tahun tsunami Aceh (2): Tantangan keamanan dan diplomatik
Liao Feng-shun (廖風順) (24), seorang peserta tur dari Kaohsiung ke Pulau Phuket, Thailand adalah salah satu korban. Ia yang berangkat dari Bandara Internasional Kaohsiung pada 22 Desember, ditemukan tak bernyawa di lobi hotel setelah tsunami menghancurkan resor tempatnya menginap.
Departemen Sosial Kabupaten Kaohsiung (sekarang Kota Kaohsiung) cepat tanggap memberikan bantuan darurat kepada keluarga Liao. Ayahnya, yang mengidap diabetes dan telah menjalani amputasi, dilaporkan berangkat ke Thailand untuk menangani urusan pascakematian.
Selain Liao, tiga wisatawan Taiwan lainnya dilaporkan terluka di Phuket. Kementerian Luar Negeri (MOFA) Taiwan mengatur agar keluarga korban bisa berangkat ke Bangkok pada pagi hari berikutnya.
Pada tsunami Aceh yang jadi sorotan dunia, Taiwan juga terlibat dalam sejumlah penanganan pascabencana. Meskipun ada pasang surut yang menghangatkan situasi pada saat itu, Taiwan sebagai bagian dari warga dunia berkontribusi pada sejumlah upaya pertolongan dan pemulihan di provinsi paling barat Indonesia itu.
Taiwan bergerak
Begitu menerima kabar akan gempa yang terjadi, Perdana Menteri Taiwan yang saat itu dijabat You Si-kun (游錫堃) menginstruksikan sejumlah kementerian untuk memantau situasi terkait keselamatan warga Taiwan serta menyediakan bantuan yang diperlukan.
You juga mengimbau masyarakat Taiwan untuk menunjukkan semangat solidaritas, dengan prinsip "Merasakan kelaparan orang lain seolah-olah kelaparan sendiri, dan merasakan penderitaan orang lain seolah-olah penderitaan sendiri," demi mendukung negara-negara yang terdampak bencana.
Palang Merah Taiwan langsung berkomunikasi dengan Palang Merah Indonesia untuk memahami kebutuhan di lapangan, seturut organisasi World Vision Taiwan melalui staf lokalnya di Indonesia yang memantau situasi bencana untuk menilai dampak. Setelah memperoleh informasi tentang kebutuhan di sana, kedua organisasi tersebut memulai penggalangan dana.
Di sisi lain, Taiwan Root Medical Peace Corps memantau kebutuhan medis di daerah terdampak hingga menyediakan tim untuk diturunkan. Sementara itu, Ditjen Pemadam Kebakaran Taiwan bersama Departemen Pemadam Kebakaran Kota Taipei juga menawarkan keberangkatan kru ke lokasi.
Seorang juru bicara MOFA juga menyatakan bahwa Presiden Chen Shui-bian (陳水扁) akan mengirimkan telepon kepada negara-negara yang terkena dampak gempa di Indonesia untuk menyampaikan ucapan belasungkawa.
Kementerian tersebut juga membuka rekening bantuan untuk bencana, dengan berkoordinasi bersama sejumlah LSM.
Pada 27 Desember, Perwakilan Taiwan untuk Indonesia, David Lin (林永樂) dalam wawancara dengan CNA mengatakan bahwa ia mengirimkan deputi dan stafnya ke Medan satu hari setelah bencana, untuk membangun jalur komunikasi dan memberikan bantuan yang diperlukan.
Tim penanggulangan bencana Taiwan pertama berangkat ke Indonesia pada 28 Desember, dengan terdiri dari sepuluh orang, termasuk perwakilan agensi pemerintah hingga organisasi masyarakat.
Salah satu pejabat MOFA mengatakan bantuan yang dibawa ke Indonesia meliputi tenda, kantong tidur, makanan, peralatan penyelamatan, dan obat-obatan, dengan total berat 3,5 ton, di samping menjanjikan dana sebesar US$100.000.
Presiden RI saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono, yang tiba di Bandara Aceh dengan helikopter, menyampaikan terima kasih atas bantuan material dan medis yang diberikan Taiwan dalam menghadapi bencana tsunami ini.
Porak poranda
Dalam arsip CNA, Wakil Kepala Tim SAR Internasional Kota Taipei Tsai Jia-jung (蔡家隆) yang bertugas ke Aceh saat itu mengatakan bahwa kondisi Aceh saat itu sungguh menyedihkan.
Menurutnya, tumpukan jenazah tergeletak di jalan, sebagiannya hanyut ke sungai beserta tumpukan kayu-kayu bangunan yang runtuh. Cuaca panas Aceh kala itu membuat proses pembusukan jenazah lebih cepat sehingga relawan dan penduduk lokal mesti mengenakan masker.
Melihat kondisi itu, Tsai merekomendasikan Taiwan agar mengerahkan kelompok bantuan lanjutan yang terdiri dari tim medis dengan perlengkapan dan cairan disinfektan.
Sehari setelahnya, pada 30 Desember, tim medis darurat nasional yang terdiri dari sebelas orang, termasuk perwakilan sejumlah rumah sakit, berangkat ke Indonesia dengan membawa peralatan medis, generator, tenda, dan perlengkapan lainnya.
Tim medis ini melakukan penilaian langsung terhadap kebutuhan kesehatan masyarakat di daerah tersebut, merencanakan bantuan medis lanjutan, dan belajar bagaimana berkolaborasi dengan organisasi internasional dalam upaya penanggulangan bencana.
Dari kalangan masyarakat, Relawan Buddha Tzu Chi, sebuah organisasi sosial asal Taiwan, mendirikan pos layanan kepedulian di Aceh dan Bandara Medan yang saat itu masih di Polonia.
Mereka menyiapkan santunan Rp500.000 kepada korban yang tidak memiliki keluarga, serta mengatur pengiriman bantuan medis dan peralatan penyelamatan dengan pesawat khusus setiap hari ke Aceh yang membawa 12 ton obat-obatan medis dan barang kebutuhan pokok.
Dalam laporan Tzu Chi, 75 persen bangunan di Banda Aceh, Ibu kota Aceh, hancur, dan banyak di antara korban tewas adalah pegawai negeri dan keluarganya. Sekitar 1.300 anggota kepolisian juga tewas, sementara sekitar 800 anggota Marinir meninggal dunia.
Para ahli dari Pusat Pengendalian Penyakit Taiwan mengatakan penyakit seperti tifus, disentri, kolera, malaria, dan demam dengue dapat meledak kapan saja mengingat kondisi sanitasi yang buruk di Aceh setelah bencana tersebut.
Pada tanggal 2 Januari, tim penilaian awal yang dibentuk pemerintah pusat Taiwan dan Pemerintah Kota Taipei menyebut kata "Penuh kehancuran" saja tidak cukup untuk menggambarkan kondisi Aceh. Dengan banyaknya korban yang membutuhkan bantuan serta pemandangan reruntuhan bangunan di mana-mana, tim mendeskripsikan situasi di lokasi bencana layaknya "Neraka dunia."
Saat itu, tim mengusulkan agar bantuan diprioritaskan pada donasi uang dan barang serta perlunya tim mengadopsi satu wilayah untuk membantu membersihkan dan membangun kembali daerah tersebut.
MOFA menunjukkan bahwa tim dari Taiwan adalah tim internasional kedua yang memasuki Aceh, dan yang pertama kali masuk ke daerah terdampak bencana.
Selesai/